Bab 3
"A–aku tidak tahu!"
Aku tertawa mendengar itu. "Tidak tahu? Bagaimana mungkin kamu tidak tahu apa isi tasmu sendiri?!" geramku.
Kamu pikir istrimu sebod*h itu, Mas?
"Mungkin temanku salah memasukkannya, karena istrinya memang sedang hamil. Aku juga belum memeriksa lagi tas kerja."
Dia bicara seperti sedang bicara pada anak ingusan saja. Mas Hasbi mulai berbohong. Aku memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan, bukan karena aku percaya padanya tapi aku tidak ingin mendengar kebohongan lagi darinya. Lebih baik mencari bukti sendiri, daripada aku lelah terus mendesaknya.
"Saat ini aku percaya sama kamu tapi kalau sampai kamu ketahuan selingkuh, kamu akan tahu akibatnya!" Ucapanku ini tidak main-main, aku akan membuatnya menyesal.
Aku mengalah untuk maju lebih jauh lagi. Kamu jangan senang dulu, Mas!
Dia menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku ya. Aku membuat kamu curiga seperti ini, sungguh aku tidak selingkuh."
Tanganku dengan berat terangkat membalas pelukannya, untuk sekarang aku akan bersikap biasa saja. Aku ingin tahu juga sejauh apa kebohonganmu.
"Aku ingin tidur di sini ya," ucapku lalu melepaskan pelukannya.
Dia mengangguk dengan senyum manisnya. Raut wajahnya kembali normal, ia pintar sekali menguasai dirinya dengan cepat.
Mas Hasbi menarikku ke atas ranjang, dia kembali memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan kecupan di puncak kepala.
"Saat aku bericint* dengannya, wajah kamu yang terbayang. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati."
Hatiku berdenyut nyeri kala mengingat apa yang mas Hasbi katakan tadi. Air mataku rasanya sulit terbendung, aku memilih untuk memeluknya dengan erat bukan karena nyaman tapi agar dia tidak melihat jika aku menangis.
Kugigit bibir bawahku agar suara tangisan tertahan tapi gagal, tubuhku bergetar karena menahan isak tangis.
"Kenapa, sayang?" Mas Hasbi bertanya lalu melepaskan pelukannya.
"Ja–jangan tinggalkan aku, Mas!" Apa yang ada dibenak dan apa yang kuucapkan tidak sama. Padahal aku sangat ingin berteriak, memaki dirinya yang dengan lancang mempermainkan perasaanku.
"Aku tidak akan meninggalkanmu, aku di sini." Dia memelukku semakin erat. Bukannya tenang tapi hatiku semakin remuk.
Semalaman aku sulit untuk tidur, berbeda dengan mas Hasbi yang terpejam dengan dengkuran halus. Bisa-bisanya dia tidur di tengah masalah seperti ini, apa dia tidak merasa bersalah? Entahlah!
Aku sebenarnya menunggu wanita itu kembali, jika memang sembunyi pasti tidak akan bertahan lama di tempat persembunyiannya.
Mas Hasbi juga tidak kulihat memegang ponsel. Berarti tidak ada komunikasi diantara mereka. Aku terjaga hanya untuk tahu, apakah wanita itu akan keluar dari persembunyiannya atau tidak.
Masih tidak menyangka suamiku membawa selingkuhannya ke sini, ke tempat kakaknya sendiri dan saat ada aku juga di sini. Kenapa aku sangat yakin wanita itu ada disini? Karena aku bisa mencium parfum dari baju mas Hasbi, aku kenal betul itu parfum wanita, buka parfum yang biasa dipakai suamiku.
***
Suara dari luar membuatku langsung terjaga. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi, dengan cepat aku bangkit menuju kamar mandi. Mas Hasbi sudah tidak ada di sampingku, dia pasti sudah ada di luar.
Wajahku terlihat di pantulan cermin, mata sembab karena semalam menangis. Hanya dengan membasuh wajah tidak mungkin langsung menghilangkan sembab bekas tangisan tapi dengan makeup pasti akan sedikit tertutupi
Kau harus bertindak dengan hati-hati, Ambar! Jangan biarkan suamimu dan pelakor itu bahagia. Kau akan kalah kalau sampai membiarkan mereka bersama. Kau harus bisa mengembalikan suamimu ke jalan yang benar. Pelakor itu adalah setan betina yang mengganggu suamimu.
Aku bicara di depan cermin menguatkan diriku sendiri. Jika bukan diri sendiri, siapa lagi yang akan menguatkan aku.
Tidak ingin membuat ayah dan ibuku sedih jika tahu menantu kesayangan mereka sudah berkhianat. Lebih baik menyimpan masalah ini sendiri, mungkin jika tidak mampu baru aku akan buka suara.
Tok! Tok! Tok!
Aku terlonjak kaget mendengar ketukan pintu.
"Sayang, ayo sarapan dulu." Itu suara Mas Hasbi.
"Iya, Mas. Nanti aku menyusul," sahutku.
Jangan sampai aku terlihat lemah di depannya.
"Sebenarnya apa kurangnya aku? Apa wanita itu lebih kaya dariku atau lebih cantik dariku? Aku semakin penasaran, seperti apa wanita itu," geramku sambil mengepalkan tangan menahan gejolak amarah dalam dada.
Setelah menggosok gigi aku langsung keluar. Malas rasanya jika mandi pagi seperti ini apalagi jika tidak berangkat ke kantor. Biasanya jika hari libur atau tanggal merah pasti aku dan Mas Hasbi akan menghabiskan waktu bersama. Entah itu menghabiskan waktu di rumah atau jalan-jalan sekitar taman dan pergi ke mall.
Untuk saat ini tidak ada sama sekali pikiran itu dalam benak. Aku hanya ingin segera tahu siapa wanita itu, berani-beraninya dia menggoda suaminya. Bukankah lelaki tidak akan terpancing jika bukan wanita yang lebih dulu mendekati?
"Mas, aku mau ke rumah ibu dulu ya. Aku sebenarnya sudah janji minggu kemarin untuk datang ke sana," ujarku saat sampai di meja makan.
"Kita kesana sama-sama ya," balasnya.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak usah, aku pergi sendiri. Sekalian mau temani ibu bertemu dengan teman arisannya. Memang kamu mau ikut?"
"Sebagai suami siaga memang seharusnya Hasbi ikut, Mbar! Kamu itu jangan sampai membiarkan istrimu pergi-pergi sendirian," timpal Mbak Tyas sambil menatap galak pada suamiku.
Saat ini aku tidak setuju dengan kakak iparku, karena aku memiliki rencana lain.
"Untuk saat ini aku memang harus pergi sendiri, Mbak. Aku juga kasihan pada Mas Hasbi jika dia harus menunggu ibu-ibu bergosip," gurauku dengan tawa yang dipaksakan.
"Ya sudah, kalau begitu aku akan antar sampai ke tempat tujuan saja biar nanti aku jemput lagi," tawar Mas Hasbi.
"Lebih baik kamu istirahat di rumah, Mas. Kamu 'kan baru saja pulang dari luar kota. Seandainya nanti ibu minta aku menginap boleh tidak?"
Dia terlihat berpikir, sepertinya takut jika aku akan menceritakannya kecurigaan ku ini pada ayah dan ibu.
Mencoba meyakinkan dia dengan menggenggam tangannya.
"Kamu percaya padaku 'kan, Mas? Kamu tahu aku seperti apa." Aku memang bukan orang yang akan mudah mengadu soal masalah rumah tangga karena ibu sudah sering mewanti-wanti untuk tidak membuka aib rumah tangga meskipun pada orang tua sendiri.
"Baiklah. Nanti kalau memang kamu menginap di sana, kabari saja ya."
Akhirnya ia menyetujui. Aku harap hari ini dia akan menemui wanita itu.
***
Aku tidak lagi memakai mobil, tapi motor yang disewa. Mobilku disimpan di rumah ibu agar aman. Kebetulan ibu memang sedang pergi bertemu dengan teman-teman arisannya.
"Bu, kalau ada Mas Hasbi menelpon, bilang saja aku ada bersama ibu. Aku ingin membuat kejutan untuknya." Itu yang tadi kukatakan pada ibu.
Maafkan anakmu ini, Bu. Aku sebenarnya tidak suka berbohong tapi untuk kali ini aku melakukannya.
Mobil Mas Hasbi kulihat masih terparkir di rumah Mbak Tyas. Bisa saja sebenarnya aku membayar orang untuk melakukan ini tapi aku ingin menyaksikan sendiri apa yang dilakukan Mas Hasbi di belakangku.
Tidak lama dia keluar dari rumah seorang diri, aku yang bersembunyi di dekat pohon mulai mengikutinya dari jarak agak jauh agar tidak ketahuan.
"Mas Hasbi mau kemana? Ini 'kan bukan jalan ke arah rumah kami," gumamku.
Aku terus mengikutinya hingga mobil hitam itu berhenti di sebuah rumah minimalis modern. Tidak seperti tamu yang biasanya menunggu dibukakan pagar, Mas Hasbi masuk begitu saja. Sudah dipastikan dia sering datang ke rumah ini.
"Apa ini rumah yang dibelikan Mas Hasbi untuk wanita itu?"
Kesempatan untukku saat melihat pagar itu tidak ditutup dengan sempurna, aku simpan motor di tempat yang agak jauh dan berjalan kaki ke rumah itu. Kebetulan perumahan tidak terlalu ramai.
"Maafkan mas, sayang. Kamu jadi harus pulang sendiri tadi malam."
Deg!
Suara Mas Hasbi. Hatiku seperti dihantam palu godam, terasa sesak dan menyakitkan. Berarti benar, tadi malam aku tidak salah dengar. Wanita itu ada di kamar bersama Mas Hasbi.
"Tidak apa, Mas. Aku juga memang seharusnya tidak ada di sana," jawab wanita itu.
Aku mengendap-endap dan mengintip lewat jendela. Mas Hasbi duduk di sofa membelakangi dan wajah wanita itu tertutup oleh tubuh besar suamiku. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.
"Mas khawatir apalagi kamu pulang sendiri, mas takut terjadi sesuatu padamu dan bayi kita."
Tes!
Air mata mengalir begitu saja saat mendengar dengan jelas dari mulut suamiku jika dia memiliki anak dari wanita lain.
"Mas terlalu berlebihan, lihat 'kan sekarang aku ada di depan mas dan baik-baik saja." Terdengar kembali suara wanita itu dengan tawanya yang renyah.
Brak!
Aku menendang keras pintu yang tidak terkunci itu. Keduanya terlonjak kaget, Mas Hasbi sampai pucat karena melihatku ada di depannya.
Wanita itu, dia yang kemarin ada di rumah Mbak Tyas.
"Sa–sayang …." Mas Hasbi berjalan mendekatiku.
Kuhapus dengan kasar air mata ini, pura-pura kuat tidak bisa membuat semuanya baik-baik saja.
"Sejak kapan? Sejak kapan kamu melakukan hal rendahan seperti ini, Mas?" tanyaku. "Sejak kapan?" Suaraku mulai meninggi tidak bisa menahan emosi.
Aku maju dan menjambak rambut jal*ng itu dengan keras, mencakar wajahnya sampai kulit wajah mulus wanita itu menempel di kuku. Mas Hasbi bahkan tidak bisa melepaskan aku yang kepalang emosi ini. Siapa yang tidak akan emosi jika melihat suaminya selingkuh di depan mata.
Bersambung ….
POV Ambar“A-apa ini?”“Perlu aku bacakan?” Aku meraih kertas itu dari tangan Mas Hasbi, “ini surat cerai, kita akan berpisah! Apa masih kurang jelas, Mas?”Mas Hasbi menggeleng, “ti-tidak, aku tidak ingin kita berpisah. Bukankah kita sudah memulai semuanya dari awal, kamu sudah memaafkanku bukan?”"Ya, aku memang sudah memaafkanmu, Mas. Tapi bukan berarti aku mau menerimamu kembali. Awalnya memang aku pernah berpikir seperti itu namun saat aku akan melakukannya semakin banyak kebusukanmu yang terbongkar jadi aku tidak bisa mengambil keputusan lain selain berpisah.Aku juga lelah selalu dihubungi oleh istri mudamu itu, dia menelpon kadang memaki kadang juga mohon-mohon agar membujukmu untuk bisa rujuk dengannya.”Ya, Nafisha meang melakukan itu. Terlihat jelas jika dia tidak ingin berpisah dari Mas Hasbi, aku pun tidak ingin memperebutkan lelaki seperti Mas Hasbi. Dia sudah pernah berkhianat sekali dan masih ada kemungkinan dia melakukan hal yang sama kedepannya dan aku tidak mau samp
POV Hasbi“Ka-kamu ….”“Hari juga aku menjatuhkan talak padamu, kamu bukan istriku lagi.” Sekian lama menahan akhirnya bisa juga aku mengucapkan itu.“Mas.”“Maaf, Nafisha. Tapi selama ini aku sudah sabar, dari awal ini memang salah. Jangan khawatir soal anak, aku tidak akan lepas tanggung jawab. Tolong segera urus sertifikat itu, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Ambar jika tahu kamu menggadaikan sertifikat itu.”Nafisha menahan tanganku, “mas, aku tidak mau berpisah denganmu. Aku sudah mengorbankan segalanya untukmu.”Aku tersenyum sinis, “kau yang mau mengorbankan dirimu sendiri, bukan aku yang meminta.”Tidak peduli melihat Nafisha yang menangis sesegukan. Aku sudah sangat pusing, dia begitu menyusahkan. Tidak pernah sekalipun dia berubah. Jika bukan karena ancaman, dan juga anak aku mungkin dari dulu sudah meninggalkannya.Pulang ke rumah Ambar sudah menungguku, menyambut dengan senyum manis.“Mas mau dibuatkan minum apa?”Bukannya bertanya soal sertifikat dia malah menawark
POV Hasbi“Ya, keluargaku semua tahu soal ini. Aku … membelikannya rumah. Tapi aku akan mengambilnya kembali. Aku mengakui semua kesalahanku.”Tak berani menatapnya, aku menunduk. Pasrah dengan apa reaksi Ambar.Apa yang sudah kulakukan memang sangat keterlaluan. Dia pasti berpikir aku tidak tahu diri.Aku tersentak saat dia tiba-tiba kembali menggenggam tanganku, “Aku kecewa padamu dan juga pada keluargamu, Mas. Kuberikan waktu untukmu mengembalikan apa yang bukan hakmu. Aku tidak akan marah dan mengadukan ini pada ayah.”Kondisi ayah mertuaku memang terlihat baik tapi jika dia tahu hal seperti ini bisa saja kondisi kesehatannya langsung menurun.“Aku akan mengambilnya sekarang juga.”Ambar menahan tanganku, “Kamu sudah lelah dari tadi pulang pergi terus, Mas. Masih ada besok.”Senyumnya membuatku lega.Aku malu, sangat malu karena menyia-nyiakan wanita sebaik Ambar. Setelah ini aku tidak akan lagi berbuat hal yang macam-macam, tidak peduli dengan ancaman Nafisha. Jika memang dia ing
Bab 13Menikahi Ambar bukan keinginanku, atas desakan Ibu dan juga Mbak Tyas aku melakukan ini. Bahkan aku harus rela meninggalkan Nafisha.Mendiang ayahku memiliki banyak hutang pada rentenir membuat keluargaku hidup serba kekurangan.Di tengah himpitan ekonomi ibu meminta agar aku mendekati Ambar, wanita yang sama sekali tidak kukenal sebelumnya. Ambar adalah anak semata wayang Pak Suseno, pemilik usaha properti yang cabangnya sudah ada dimana-mana.Awalnya aku menolak karena memiliki Nafisha, tapi tidak tega melihat kondisi keluargaku sendiri yang bisa dibilang sudah sangat memprihatinkan. Berpikir mungkin ini memang jalan yang terbaik, bukan tidak pernah mencoba mencari pinjaman ke tempat lain tapi siapa yang mau memberikan pinjaman tanpa ada jaminan, saat itu kami hanya tinggal di rumah kontrakan.Mendekati Ambar tidaklah mudah, dia bukan wanita yang luluh oleh sebuah rayuan. Aku sendiri bahkan kagum padanya karena tidak seperti wanita pada umumnya yang akan luluh oleh ketampanan.
Tidak habis pikir dengan apa yang dilakukannya, kenapa aku harus dipertemukan dengan manusia sampah macam dia. Tapi fakta tak bisa kupungkiri, lelaki itu adalah ayah dari anakku.Kuhela nafas berkali-kali, memikirkan ini bisa membuat tekanan darah naik. Bagaimana pun sekarang kesehatanku lebih penting, jangan sampai kehamilan ini bermasalah gara-gara dia.Sekarang yang terpenting aku harus membuatnya percaya jika aku memang sudah menerimanya kembali, jika tidak seperti itu akan sulit bagiku merebut sertifikat rumahnya.[Sayang, pedangan rujak tidak jualan. Bagaimana?] Dia mengirimkan pesan disertai foto tempat biasa penjual rujak itu mangkal.Baru saja akan membalas pesannya, aku malah mendapat panggilan video dari Mas Hasbi.Layar ponsel penuh dengan wajahnya sebelum kamera beralih ke kamera belakang dan memperlihatkan dengan jelas lapak itu yang kosong.“Apa aku harus cari di tempat lain?” tanyanya.“Hm, cari yang dekat pasar kalau begitu.” Itu jelas lebih jauh tapi resikonya memang
[Aku tidak membelikan apapun untuk Ambar!]Akhirnya pesan balasan dari Mas Hasbi muncul juga. Sudah pasti akan ada adu mulut diantara mereka jika saja salah satu tidak ada yang mengalah.[Tidak apanya. Jelas-jelas dia memamerkan gelangnya itu, dia bilang itu pemberian darimu.] -Nafisha.[Aku tidak membelikannya, paling dia beli sendiri. Sudahlah jangan meributkan hal seperti ini, kalau mau ya tinggal beli.] -Mas Hasbi.[Kirim uangnya, uang yang kemarin kamu kirim sudah habis.] -Nafisha.[Habis? Kamu menggunakannya untuk apa? Seharusnya cukup untuk satu bulan, jangan terlalu boros.Aku sudah keluar banyak uang untuk rumah itu.] -Mas Hasbi.Apa jangan-jangan uang tabungan kami yang dipakainya untuk membelikan rumah wanita itu. Aku tidak akan ikhlas.Aku yang menemani Mas Hasbi dari bawah dan dia yang menikmati hasil kerja keras suamiku? Enak saja.Soal barang-barang yang sudah kuberikan pada ibu mertua dan juga saudara Mas Hasbi yang lain tak akan kuambil kembali karena memang pantang ba