"Kenapa kamu mendekati bujangan, bukannya lebih cocok dengan seorang duda?" tanyanya dengan wajah serius. "Sudah ... sudah, kenapa jadi kayak gini, sih. Mutiara, ayo kita pulang, Mama kamu pasti nyariin kamu yang pergi tanpa pamit," Tante Rumi seakan-akan mengalihkan pembicaraan. Gadis itu mencebik kesal dan menghentakkan kakinya, kemudian keluar dari ruang rawat dengan menggerutu. Tante Rumi mengatakan padaku untuk menjaga Hilman sebentar, karena dia dan suaminya akan bertemu dengan orang tua Mutiara dan aku hanya bisa mengangguk pasrah. "Nak, mama tinggal dulu, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon!" ujar Tante Rumi berpamitan dengan anaknya dan hanya ditanggapi dengan anggukkan kepala. "Yumna," sapa Hilman yang tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya, "Kamu sudah bangun? Mama dan papa kamu tadi mengantar Mutiara, nanti juga balik lagi katanya." Aku duduk menjauh dari Hilman, enggan menimbulkan prasangka yang tidak-tidak. Memilih berkirim pesan dengan Mbak Naura yang kutahu
Seorang suster yang tidak memakai hijab ataupun topi perawat masuk dengan keadaan yang mengenaskan, rambut yang tergerai dan baju putih yang makin membuat auranya menakutkan. Hilman menepuk pundakku dan mengatakan, jika itu suster jaga. Aku langsung melihat ke arah suster yang dimaksud, dan benar, suster itu sedang merapihkan rambutnya dan langsun memakai topi yang biasa dikenakan para perawat. "Sus, bisa enggak sih enggak ngagetin orang! Kalau orang jantungan gimana?" Aku terpaksa menghampiri wanita manis yang masih berdiri di ambang pintu. "Tadi kepala saya ada cicaknya, Mbak. Jadi saya lepas dan gerai rambut, karena jijik!" teran suster itu, malah membuatku bergidik membayangkannya. Aku menarik napas beberapa kali dan menghembuskannya dengan perlahan, menetralkan rasa takut akan sesuatu yang tidak ada. Mungkin juga karena grogi dan kesal karena berada satu ruangan dengan Hilman, tanpa ada yang menemani. Suster itu berlalu, setelah mengecek infus yang terpasang di tangan Hilman.
"Ini seharusnya di sini, tapi para tukang memindahkan bagian ini ke sini," jawab Radit menunjuk bagian yang tidak jelas terlihat olehku dan ditanggapi serius oleh Hilman.Sepertinya itu sebuah denah dan aku yakin, itu adalah bangunan cafe yang sedang dibangun oleh mereka berdua. Radit menjelaskan secara detail, dan sesekali melirik ke arahku."Menurutmu gimana, Mbak?" tanya Radit dan aku hanya bisa mengedikkan bahu.Bagaimana mau berpendapat, aku saja tidak melihat dengan jelas itu gambar apa. Ingin berbicara, tapi sedang tidak ingin membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Hilaman, meskipun aku sedang berada bersamanya. Hatiku masih masih tidak terima, bagaimana bisa Hilman mendapatkan hati dari semua orang dengan sangat cepat.Radit melipat kembali kertas itu dan menyimpannya di dalam tas, kemudian mendekatiku. Duduk di sampingku dan menatap dengan sangat lekat, membuatku risih."Mbak Marah denganku?" tanya Radit.Rasanya ingin kujitak kepalanyaa, karena tidak merasa bers
"Tentu saja aku!" jawab Hilman, dan matanya tetap memandangku."Kamu mau menikah dengan siapa Hilman?" tanya wanita yang baru saja datang. "Siapa wanita yang membuat kamu melupakanku? Siapa wanita yang berani mengambilmu dariku?" Sederet pertanyaan dilontarkan oleh wanita yang tidak kuketaui."Sudahlah, Rin. Siapapun yang aku pilih, bukan urusan kamu. Kita sudah sama-sama dewasa, dan kamu sudah tahu keputisanku apa!" jawab Hilman tegas, tanpa menatap wanita itu.Aku merasa berada di tengah-tengah perang dunia kedua, diam salah, ingin pergi pun salah. Aku anya bisa menunduk dan kembali fokus dengan ponselku.Wanita yang di sapa Rin oleh Hilman, masuk ke dalam dan langsung mendekati Hilman. Mungkin wanita itu belum melihatku atau memang sengaja tidak mau melihatku, aku sih enggak begitu memperdulikannya. Lagi pula, itu urusan mereka, setidaknya aku masih ada tanggung jawab di sini."Aku enggak mau putus dari kamu, mamaku sudah merestui kita. Kamu harus melamarku, Hilman," ujar wanita it
Rasa kesalku berpindah pada lelaki berpakaian serba hijau ini, di tambah dengan wajahnya yang datar dan mengesalkan."Dasar cewek gila!" makinya."Dasar cowok aneh!" balasku, dan aku meletakkan kertas yang kupungut ke tangannya dengan kasar.Aku berdiri dan segera berlalu dari yang masih memungut sisa kertas yang bertebaran, tadinya aku ingin membantunya hingga selesai, tapi mulutnya terlalu pedas untuk seorang dokter. Ya, aku tahu dia seorang dokter dari pakaian yang dia kenakan."Yumna, kamu mau ke mana?" tanya Tante Rumi, yang baru datang.Apes sekali diriku, yang ingin menjauh dari Hilman, malah mendapatkan kejadian tidak menyenangkan dua kali. Ditambah harus kembali bertemu dengan mamanya Hilman, aku memilih tenggelam ke dalam dasar bumi untuk saat ini."Aku mau beli minuman dan cemilan, Tan," jawabku bohong."Ini Tante sudah bawain, tadi tante baru ingat. Jadi Tante buru-buru ke sini," ujarnya membuatku menghela napas panjang.Tante Rumi kembali menarik tanganku dan mengajakku u
"Apa kamu yakin?" tanya bapak dengan raut wajah yang tidak percaya dan aku hanya mengangguk saja. Kemudian berlalu dari depan bapak, untuk menemui Aqila. Aku tidak menceritakan tentang bagaimana kondisiku di sana dan apa saja yang terjadi, tidak ingin kembali dicap sebagai pelakor dan tidak ingin membebani pikiran bapak saat ini. Aqila sepertinya sedang rindu padaku, karena dia sangat manja dan tidak mau lepas dari pelukanku. Atau mungkin dia merasakan hatiku yang sedang gundah. Aku tidak memiliki perasaan lebih pada Hilman, hanya saja tidak menyukai kondisi ini. Keadaan yang membuat kami harus dalam situasi yang sangat sulit. "Yumna, boleh ibu masuk," ujar ibu lirih. "Sini, Bu. Aqila sepertinya sedang merindukanku yang beberapa hari ini sangat sibuk," ucapku sebelum ibu menanyakan hal yang membuatku pusing. "Bagaimana usaha kamu?" tanya ibu. "Semua aku serahkan ke Radit, Bu. Biar dia yang mengelola sepenuhnya, untuk urusan cafe. Saat ini, Yumna fokus di usaha yang lain." Aku mem
"Maksud bapak apa?" tanyaku dengan cemberut. "Seperti yang bapak bilang tadi, semua yang menanam modal, ikut bekerja untuk memajukan cafe, lah kamu cuma diem aja," terang bapak dengan gayanya yang cool. Aku tertunduk, memang benar apa yang bapak katakan. Akan tetapi, aku belum siap untuk bertemu kembali dengan Hilman, yang hingga saat ini dia tidak meminta maaf padaku apalagi mencabut keinginanya untuk melepaskan lamarannya. Saat ini, aku tidak tahu apa status kami. "Apa kamu masih mengharapkan Attar?" tanya bapak yang membuat hatiku tersinggung. Bagaimana mungkin, bapak mempunyai pikiran seperti itu padaku. Apa karena aku tidak mau dengan Hilman, meski Radit sudah mengatakan jika aku hanya salah paham? Tidak ada kesalah paham dalam diriku, karena aku yang merasakan dan mengalami. Bukan bapak, ibu atau bahkan Radit. Bisa saja, Hilman berkata aku sedang salah paham, tapi semua yang kulewati bukanlah kesalah pahaman seperti yang mereka katakan. "Atau kamu masih cemburu dengan Hilma
"Mbak kenal saya?" tanyaku.Aku benar-benar tidak mengenalinya sama sekali, tapi sepertinya dia sangat tidak senang bertemu denganku disituasi seperti ini, wajahnya sangat tergambar jelas ketidak sukaannya."Kamu Yumna, istri Attar, kan?" tanyanya lagi, tanpa menjawab pertanyaanku.Benar dugaanku, dia salah satu teman Mas Attar. mata wanita itu menelisik penampilanku dari atas hingga bawah, lalu satu sudut bibirnya dia tarik, membentuk lingkaran sabit. Senyum yang terukir, bukan senyum bahagia, tapi senyum ejekan. Bahkan, matanya terlihat menyipit dan terdengar dengkusan darinya."Bukan istri, Mbak. Tepatnya mantan istri, kami sudah lama berpisah!" celetukku. "Permisi, saya pamit dulu," ujarku kemudian."Apa karena Attar bangkrut, kamu meninggalkan Attar?" cibirnya, membuatku menarik napas panjang. "Jadi cewek jangan terlalu matre, kasian yang jadi suaminya," tambahnya, membuat kaki diam terpaku."Tahu apa mbak, tentang keluarga saya?" tanyaku dengan nada kesal.Kemudian dia berdecih