Aku duduk termenung di depan jendela, memikirkan keputusan apa yang harus aku ambil. Haruskah menerima Hilman dalam hidupku, apakah aku egois jika melakukannya, lalu bagaimana dengan wanita-wanita yang menginginkannya?"Aku harus apa, ya Allah!" lirihku.Dadaku terasa sesak, bayangan kebersamanku dengan Mas Attar selalu saja terlintas di dalam pikiranku. Selama tujuh tahun lamanya, kami tidak pernah ada masalah berarti dalam mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga. Tiba-tiba seorang gadis magang mengubah duaniaku, dari yang sangat bahagia menjadi terluka dan menderita. Aku tidak berani memulai hubungan baru dengan siapapun, meski sudah ada banyak yang mendukung."Apa aku harus pergi dari sini, ya! Merantau mungkin?" gumamku.Benar-benar dilema saat ini, apa yang harus aku jalani. Meningalkan Aqila aku tidak tega, dekat dengan Hilman aku takut terluka."Boleh ibu masuk?" tanya ibu dari luar kamar, yang pintunya sengaja tidak kututup."Iya, Bu." jawabku.Ibu masuk dengan membawa Aqila
Hari ini, Aqila berulang tahun. Usianya sudah menginjak tahun kedua. Dia sudah pandai berjalan dan berlari kecil, selalu saja memanggilku dengan berteriak, MAMA! Inilah kebahagiaan yang tidak terkira yang kurasakan di balaik rasa gusar yang sedang melanda."Sudah jam berapa ini, kamu belum mandi juga?" tegur bapak."Sedikit lagi ini, Pak." Aku membereskan hadiah untuk anak-anak seusia Aqila.Membagikan sedikit harta Aqila untuk sesama, aku ingin mengajarkan pada anakku untuk berbagi sedini mungkin. Agar kelak, saat sudah dewasa tangannya sudah terbiasa berbagi untuk sesamaa."Beres!" ucapku senang.Lalu, mengibas-ibaskan kedua tangan yang terasa sangat pegal. Semua sudah tertata rapih, dan juga jumlah parselnya sudah melebihi dari undangan yang disebar. Aku melangkah ke kamar untuk membersihkan diri dan mengganti penampilan yang lebih sopan. Aku menajamkan telinga, ketika di depan terdengar suara riuh orang-orang. Tidak mungkin, kan para tamu sudah datang sedangkan sekarang masih ter
Pesta sederhana Aqila yang kuharapkan akan meriah, malah membuatku bermuram durja. Wajah-wajah tegang dan tidak bersahabat, nampak sangat jelas. Terlebih mantan mertuaku yang diam saja, setelah aku berkata cukup keras padanya. Aku tahu aku salah, tapi tidak bisakah mereka mengerti apayang ada dalam hatiku. Apakah mereka tidak tahu betapa sakitnya hatiku, setelah dikhianati oleh Mas Attar."Acara sudah selesai berhari-hari, tapi kamu masih bersikap seperti ini!" ujar bapak yang membuat lamunanku buyar."Tapi aku tidak ingin menikah lagi, Pak!" ujarku lirih."Apa ada yang memaksamu untuk segera menikah?" tanya bapak dengan wajah datarnya.Aku menggelengkan kepala,, setelah dipikir-pikir, tidak ada satupun yang memaksaku untuk kembali merajut benang kehidupan berumah tangga. Apa aku yang terlalu overthinking, sehingga apa yang mereka bicaralkan selalu saja kukaitkan dengan permintaan mereka, agar aku cepat menikah. Atau ini karena lamaran Hilman yang selalu terpikirkan olehku?"Semua ora
"Maaf?" tanyaku. "Maaf buat apa, Tan?" imbuhku bingung.Bagai mana tidak terkejut, tiba-tiba Tante Rumi duduk di sampingku dan langsung memegang erat tanganku. Matanya sudah berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar."Ada apa sih, Tan?" tanyaku makin bingung dengan tingkahnya."Ibu kamu sudah menceritakan semuanya, dan apa yang kamu rasakan saat Hilman di rumah sakit, juga sikap tante yang terkesan mengabaikanmu. Tante tidak mengabaikanmu, Yumna. Tante hanya terlalu fokus dengan satu hal, tidak bisa dibagi dalam waktu yang bersamaan. Tante ingin berbicara denganmu waktu itu, tapi kondisi yang tidak memungkinkan. Saat tante siap, kamu gantian yang terbaring tidak berdaya di rumah sakit!" terang Tante Rumi, membuatku sedikit lega, tapi juga sesak.Tidak, aku tidak mengharapkan ada pembahasan ini lagi. Harusnya aku menepati janjiku pada bapak dan ibu, untuk memperbaiki semuanya."Udahlah, Tan. Aku juga udah lupain masalah itu!" Yakinku.Tante Rumi terlihat tidak senang dengan jawabanku, dia me
Hilman dengan santai melepaskan kungkungannya, dan duduk di sofa yang agak jauh dariku. Kemudian dagunya disangga dengan kedua tangan, sedangkan kedua tangannya bertumpu pada kedua kaki. Matanya menatap lurus ke arahku dengan senyum yang sangat manis, untung saja aku tidak diabetes."Aku permisi!" Berpamitan, dan langsung berpaling darinya."Kamu lupa, Yumna?" tanya Hilman, dan aku langsung berbalik.Hilman memperlihatkan sebuah kunci, yang dia apit dengan dua jari dan diayun-ayunkan seperti mainan. Kemudian, menaik turunkan kedua alisnya yang nampak sangat menjengkelkan bagiku.."Berikan," pintaku dengan menyodorkan tangan, untuk meminta kunci yang masih dibuat mainan oleh Hilman.Aku berusaha merampas kunci itu dari Hilman, terlalu kesal dengan kejahilan yang sangat dinikamati oleh lelaki berjanbang tipis itu"Aku senang, ternyata kamu mau menikah denganku,"uajr hilman serius dan kembali memasukkan kunci itu ke dalam celananya."Ini sudah lebih dari sepuluh menit, berikan kuncinya!"
"Ya, pasti aku pernah berpaling dari namamu dalam doa-doaku, karena waktu itu aku merasa tidak mungkin akan bersamamu. Namun, semua nama yang kusebut selalu saja menjauh atau pergi meninggalkanku, ada juga yang berjodoh dengan orang lain. Sehingga aku kembali menyebutkan namamu dalam doa-doaku, apa lagi setelah aku mengetahui suamimu memiliki waita lain!" lanjut Hilman. Aku hanya bisa diam, mendengarkan apa yang diucapkannya. Ingin menyangkal, tapi Hilman memang selalu sendiri selama aku mengenalnya sejak dulu. Mungkin dia pernah dekat dengan wanita, tapi hanya sekedarnya saja. Dikarenakan Tante Rumi pun jarang menceritakan tentang wanita yang dekat dengan Hilman. Semua cerita berisi tentang diriku dan kelucuan Aqila. Ada getar aneh yang menelusup dalam hatiku. Apakah aku sudah mulai bersimpati dengan cintanya yang begitu besar, ataukah hanya rasa iba yang mengusik jiwaku. "Berhentilah mencintai Attar, bukalah hatimu untukku! Attar sudah bahagia dengan pilihannya, aku pun akan member
"Kenapa kamu meninggalkan aku sih, Mas!" sungut wanita cantik di belakang Mas Attar, dengan napas tersengal-sengal. Mas Attar meliriknya sejenak, dan mengacuhkannya begitu saja. Kembali menatap sayu ke arahku, perlahan langkahnya pasti mendekatiku. Hilman yang melihat reaksi Mas Attar, langsung bergeser ke hadapanku. Menghalangi, lelaki yang pernah membersamaiku selama lebih dari tujuh tahun. "Yumna! Jangan mau menikah dengan lelaki brengsek itu, dia ular berbisa!" rayu Mas Attar dan mencoba meraihku. "Kamu hanya tercipta untukku dan hanya akan bahagia, jika bersama denganku!" imbuhnya dengan suara tinggi. "Mas, sebelum kamu mengatakan hal itu, apa kamu enggak lihat anak dan istri kamu?" tanya Shanum yang menghempaskan tas tenteng yang sejak tadi dipegangnya. Kemudian berjalan masuk dan duduk di sofa tanpa ada yang menyuruhnya. Sungguh muka tembok wanita di depanku ini, tanpa canggung dia menidurkan bayinya di sofa dan duduk dengan santai untuk melepas lelah. "Mas, aku menerima si
Aku terduduk lesu di sofa, memijat kepala yang terasa mau meledak. Apakah Mas Attar tidak bisa menghilang saja. Agar aku bisa bahagia, atau dia pergi tidak pernah kembali."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Hilman mengejutkanku."Iya!" jawabku lirih dan menunduk dalam. "Man, apa kamu ...." Ucapanku terhenti karena jari telunjuk Hilman berada di bibirku."Jangan meminta hal yang sudah kita sepakati, berilah aku waktu untuk membahagiakanmu hingga akhir hayatku!" ujar Hilman, yang membuatku merasa terenyuh.Ingin sekali aku memintanya menjauh dariku, tapi sepertinya tidak akan mungkin. Selama ini, begitu banyak yang dia korbankan untuk cintanya yang bodoh. Atau aku yang bodoh, mengabaikan cintanya sebelum kehadiran Mas Attar.***"Kamu yakin kita berangkat duluan, tidak bersama besan dan Hilman?" tanya bapak heran."Yakin, Pak. Hilman dan Yumna sudah membicarakan hal ini." Aku meyakinkan bapak."Ya sudah, ayo!" ajak bapak.Ibu menggendong Aqila, sedangkan aku berjalan berdampingan dengan b