"Maaf?" tanyaku. "Maaf buat apa, Tan?" imbuhku bingung.Bagai mana tidak terkejut, tiba-tiba Tante Rumi duduk di sampingku dan langsung memegang erat tanganku. Matanya sudah berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar."Ada apa sih, Tan?" tanyaku makin bingung dengan tingkahnya."Ibu kamu sudah menceritakan semuanya, dan apa yang kamu rasakan saat Hilman di rumah sakit, juga sikap tante yang terkesan mengabaikanmu. Tante tidak mengabaikanmu, Yumna. Tante hanya terlalu fokus dengan satu hal, tidak bisa dibagi dalam waktu yang bersamaan. Tante ingin berbicara denganmu waktu itu, tapi kondisi yang tidak memungkinkan. Saat tante siap, kamu gantian yang terbaring tidak berdaya di rumah sakit!" terang Tante Rumi, membuatku sedikit lega, tapi juga sesak.Tidak, aku tidak mengharapkan ada pembahasan ini lagi. Harusnya aku menepati janjiku pada bapak dan ibu, untuk memperbaiki semuanya."Udahlah, Tan. Aku juga udah lupain masalah itu!" Yakinku.Tante Rumi terlihat tidak senang dengan jawabanku, dia me
Hilman dengan santai melepaskan kungkungannya, dan duduk di sofa yang agak jauh dariku. Kemudian dagunya disangga dengan kedua tangan, sedangkan kedua tangannya bertumpu pada kedua kaki. Matanya menatap lurus ke arahku dengan senyum yang sangat manis, untung saja aku tidak diabetes."Aku permisi!" Berpamitan, dan langsung berpaling darinya."Kamu lupa, Yumna?" tanya Hilman, dan aku langsung berbalik.Hilman memperlihatkan sebuah kunci, yang dia apit dengan dua jari dan diayun-ayunkan seperti mainan. Kemudian, menaik turunkan kedua alisnya yang nampak sangat menjengkelkan bagiku.."Berikan," pintaku dengan menyodorkan tangan, untuk meminta kunci yang masih dibuat mainan oleh Hilman.Aku berusaha merampas kunci itu dari Hilman, terlalu kesal dengan kejahilan yang sangat dinikamati oleh lelaki berjanbang tipis itu"Aku senang, ternyata kamu mau menikah denganku,"uajr hilman serius dan kembali memasukkan kunci itu ke dalam celananya."Ini sudah lebih dari sepuluh menit, berikan kuncinya!"
"Ya, pasti aku pernah berpaling dari namamu dalam doa-doaku, karena waktu itu aku merasa tidak mungkin akan bersamamu. Namun, semua nama yang kusebut selalu saja menjauh atau pergi meninggalkanku, ada juga yang berjodoh dengan orang lain. Sehingga aku kembali menyebutkan namamu dalam doa-doaku, apa lagi setelah aku mengetahui suamimu memiliki waita lain!" lanjut Hilman. Aku hanya bisa diam, mendengarkan apa yang diucapkannya. Ingin menyangkal, tapi Hilman memang selalu sendiri selama aku mengenalnya sejak dulu. Mungkin dia pernah dekat dengan wanita, tapi hanya sekedarnya saja. Dikarenakan Tante Rumi pun jarang menceritakan tentang wanita yang dekat dengan Hilman. Semua cerita berisi tentang diriku dan kelucuan Aqila. Ada getar aneh yang menelusup dalam hatiku. Apakah aku sudah mulai bersimpati dengan cintanya yang begitu besar, ataukah hanya rasa iba yang mengusik jiwaku. "Berhentilah mencintai Attar, bukalah hatimu untukku! Attar sudah bahagia dengan pilihannya, aku pun akan member
"Kenapa kamu meninggalkan aku sih, Mas!" sungut wanita cantik di belakang Mas Attar, dengan napas tersengal-sengal. Mas Attar meliriknya sejenak, dan mengacuhkannya begitu saja. Kembali menatap sayu ke arahku, perlahan langkahnya pasti mendekatiku. Hilman yang melihat reaksi Mas Attar, langsung bergeser ke hadapanku. Menghalangi, lelaki yang pernah membersamaiku selama lebih dari tujuh tahun. "Yumna! Jangan mau menikah dengan lelaki brengsek itu, dia ular berbisa!" rayu Mas Attar dan mencoba meraihku. "Kamu hanya tercipta untukku dan hanya akan bahagia, jika bersama denganku!" imbuhnya dengan suara tinggi. "Mas, sebelum kamu mengatakan hal itu, apa kamu enggak lihat anak dan istri kamu?" tanya Shanum yang menghempaskan tas tenteng yang sejak tadi dipegangnya. Kemudian berjalan masuk dan duduk di sofa tanpa ada yang menyuruhnya. Sungguh muka tembok wanita di depanku ini, tanpa canggung dia menidurkan bayinya di sofa dan duduk dengan santai untuk melepas lelah. "Mas, aku menerima si
Aku terduduk lesu di sofa, memijat kepala yang terasa mau meledak. Apakah Mas Attar tidak bisa menghilang saja. Agar aku bisa bahagia, atau dia pergi tidak pernah kembali."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Hilman mengejutkanku."Iya!" jawabku lirih dan menunduk dalam. "Man, apa kamu ...." Ucapanku terhenti karena jari telunjuk Hilman berada di bibirku."Jangan meminta hal yang sudah kita sepakati, berilah aku waktu untuk membahagiakanmu hingga akhir hayatku!" ujar Hilman, yang membuatku merasa terenyuh.Ingin sekali aku memintanya menjauh dariku, tapi sepertinya tidak akan mungkin. Selama ini, begitu banyak yang dia korbankan untuk cintanya yang bodoh. Atau aku yang bodoh, mengabaikan cintanya sebelum kehadiran Mas Attar.***"Kamu yakin kita berangkat duluan, tidak bersama besan dan Hilman?" tanya bapak heran."Yakin, Pak. Hilman dan Yumna sudah membicarakan hal ini." Aku meyakinkan bapak."Ya sudah, ayo!" ajak bapak.Ibu menggendong Aqila, sedangkan aku berjalan berdampingan dengan b
Sepanjang perjalanan, aku menatap wajah Hliman yang berada di pangkuanku. Wajah pucat dan tidak berdaya terlihat sangat tersiksa, membuatku tidak sadar meneteskan air mata."Man, kamu kenapa? Jangan biarkan aku menjanda, untuk kedua kalinya!" isakku dengan mengusap wajahnya dengan lembut."Yumna!" bentak bapak.Bapak terlihat marah dengan ucapaku yang tanpa kupikirkan. Radit membawa mobil dengan kecepatan tinggi, hingga terjadi insiden kecil. Namun, semua dapat diatasi, apalagi kami memang sedang membawa Hilman yang terlihat sedang sekarat."Hati-hati, Dit!" tegur bapak yang berada di sampingnya.Ibu dan yang lainnya, berbeda mobil dengan kami dan berjalan beriringan, hingga sampai di rumah sakit. Semua, segera membantu membawa HIlman ke brankar yang di bawa oleh perawat laki-laki."Kita beri dia dukungan, dan juga doa yang tidak putus agar segera sembuh sedia kala," ujar Tante Rumi, yang memegang tanganku, saat kami berada di ruang tunggu."Tante, ada apa dengannya? Apa dia mau menin
Aku terjatuh, akibat dorongan dari seseorang, membuat bokongku terasa sakit. Kepala kudongakkan untuk melihat siapa yang berani mendorong tubuhku."Kamu!" tunjukku pada wanita yang baru saja datang.Berusaha berdiri, dan menahan nyeri di area bokong yang cukup terasa. Bukan hanya karena terkena lantai, tapi juga terkena sudut meja."Janda yang enggak bosan-bosannya membuat Hilman celaka, mau nunggu sampai dia mati! Pergi dari sisinya dan jangan pernah kembali, jika Hilman mencarimu, maka kamu harus menjauh. Mengerti!" seru wanita yang waktu itu dipanggil dengan nama Mutiara oleh Mama Rumi."Maksud kamu apa, ya? Saya istri Hilman!" ujarku tak kalah sengit.Aku tidak mau lagi, suamiku direbut oleh orang lain. Cukup satu kali, dan tidak akan pernah terulang untuk kedua kalinya. Aku akan mempertahankan rumah tangga yang baru saja kumulai."Cih, mimpi anda terlalu tinggi wahai janda gantel! Pergi, jika kamu berani datang lagi, maka kamu berurusan denganku!" ancamnya dengan menepuk dada ber
Mama Rumi menutup matanya, samil masuk ke dalam ruangan. Sedangkan aku diam terpaku dengan apa yang dilakukan oleh suami baruku itu. Hilman menciumku, menski singkat tapi getarannya mampu membuat jantungku tidak aman."Ya ampun, anak mama! Tunggu sembuh dulu! baru buat cucu untuk mama!" ujar Mama Rumi dengan senyum tersipu.Sedangkan aku, bingung harus ngapain. Ini bukan pertama kalinya aku disentuh laki-laki, tapi ada rasa tidak nyaman. Meski Hilman sudah menjadi suamiku sekarang."Ma, aku mau keluar dulu," ijinku.Mama Rumi hanya mengangguk, sedangkan Hilman menitip pesan padaku untuk tidak berlama-lama meninggalkan dia sendiri. Apa dia tidak sadar, jika dia sedang bersama ibunya. Aku hanya mengiyakan dengan senyuman."Kamu ini, masih sakit aja bisa terlalu bucin!" tegur Mama Rini.Aku tidak langsung pergi dari depan ruangan, hanya ingin mendengar tentang masalah Mutiara tadi. Berharap, mereka membicarakannya. Bukan bermaksud tidak percaya, tapi aku pernah terluka. Tidak ingin mengu