"Jangan keras-keras, nanti mama dengar!" larangnya lagi. Bukannya menuruti kemauan mas Ridwan, aku malah semakin ingin meninggikan suara, kalau perlu berteriak, sampai mama tau kalau aku sedang tak baik-baik saja.
"Memangnya kenapa? Apa yang harus kita sembunyikan dari mama kamu? Bukannya dia akan senang jika kita ribut?" tanyaku bertubi-tubi. Rasa hormat yang selama ini ku tunjukkan kepada suamiku sekarang tak lagi ada.
"Ma, dengar penjelasanku dulu!" Mas Ridwan memegang tanganku.
"Lepaskan, aku tak sudi di sentuh kamu! Ceraikan aku sekarang!"
"Rahma! Jaga omongan kamu, perkataan itu doa, sampai detik ini aku tidak pernah berniat menceraikanmu dan jangan berharap aku akan memikirkannya!" teriak mas Ridwan, kali ini terlihat wajahnya memerah karena marah.
Aku membuang pandangan, malas melihat wajah lelakiku, setelah kemarin dia hanya diam saja, sekarang dia malah ingin berbicara baik-baik.
"Duduklah, banya
Selama di perjalanan, Mas Ridwan tak melepas tanganku, dia berkali-kali meremas telapak tanganku. Aku hanya diam, pandangan ku menatap lurus ke depan, aku tidak mau menengok ke arah suamiku yang terlihat gagah itu.Mas Ridwan pun tak berkomentar apa-apa, hanya dering telpon yang terdengar selama perjalanan kami. Mama tak berhenti menelpon mas Ridwan.Satu jam kemudian, kami sudah sampai di kantor KUA, tempat suamiku dan Alana akan menikah.Mas Ridwan memarkir mobilnya, sebelum turun dia membawa tanganku yang dia genggaman ke dadanya, terdengar suara jantungnya yang berdetak lebih cepat."Aku masih berharap kamu berubah pikiran," ucapnya.Aku menunduk, rasanya detik itu juga aku ingin mengangguk dan berkata, aku tidak sanggup untuk di duakan. Tapi, ingatanku kembali lagi ke rumah, terbayang wajah mertuaku, sepupunya dan Siska, wanita yang sangat menginginkan mas Ridwan."Aku ikhlas," hanya itu yang bisa ku ucapkan.Mas Ridwan menarik tubuhku, lalu membawaku kedalam pelukannya, kami sal
Siska terbangun ketika mendengar suaraku yang meneriakinya. Namun, bukannya kaget atau merasa bersalah, dia malah tersenyum."Ngapain kamu di sini?" tanyaku lagi."Aku istirahat di sini, memangnya kenapa?" tanya Siska."Kamu nggak punya malu yah? Ini tuh, tempat tidur aku, kamu nggak punya hak masuk dan tidur di kamar aku seenaknya!" seruku. Bahkan tanganku sudah siap terangkat untuk menunjuk-nunjuk wajahnya."Hahahaha, sekarang ini masih kamarmu, tapi sebentar lagi akan jadi kamarku," jawab Siska, bukannya berdiri, di malah kembali merebahkan diri, bahkan berguling di atas kasurku, dia pun seolah menampilkan pose yang memikat. Tapi, rasanya aku ingin muntah."Tidak masalah, kalau nanti kamar ini akan jadi kamarmu, tapi bukan sekarang. Jadi, aku mau kamu pergi dari sini!" Aku meraih kakinya satu, lalu menariknya dengan sekuat tenaga, hingga dia ikut terseret dan jatuh kelantai.BughSuara badannya terjatuh, persis seperti pohon kelapa yang tumbang."Hey, berani yah kamu, awas saja kal
POV. Ridwan."Kamu sudah makan?" tanyaku pada gadis yang sekarang duduk di samping, sedari tadi hening, sejak meninggalkan kantor KUA wanita yang baru saja ku nikahi hanya diam.Aku berusaha mencairkan suasana, walaupun kata Rahma aku orangnya cuek, tapi rasanya tidak nyaman kalau seperti ini."Sudah," ucap Alana singkat.Aku hanya mengangguk, rencana awal ingin mengajaknya makan ternyata tidak bisa terealisasi. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, jarak hotel dan kantor KUA cukup jauh, karena hotel tersebut berada di pinggir kota.Setelah menempuh perjalanan dua jam dalam keheningan, akhirnya kami sampai di sebuah bangunan yang cukup megah, warna putih dengan pilar besar menjadi daya tarik tersendiri, apalagi bangunan tersebut berada di pinggir kota, di mana masih jarang bangunan besar dan bagus.Mobil ku parkir, setelah kami sampai di tempat parkir yang berada di belakang gedung."Ayo," ajakku kepada Alana, dia hanya mengangguk, lalu terlihat memperbaiki jilbab dan merapikan bajuny
POV. RidwanKudekati dia, lalu mengecek kondisi nadinya, sangat lemah, mau tak mau ku angkat gadis itu ke tempat tidur, aku kembali ke kamar ku, mengambil minyak angiy yang selalu di sediakan Rahma di dalam tas, ku oleskan di hidung dan dahi Alana.Wajahku pucat, jantungku berdetak begitu kencang, aku takut dia kenapa-kenapa dan Rahma menyalahkan aku.Tak berapa lama, ku lihat dia mulai membuka mata, segera ku raih botol mineral di atas meja di samping televisi."Minum," perintahku, botol air mineral ku dorong ke depan wajahnya.Dia bergeming, bahkan menatapku saja tidak. "Minum!" ulangku dengan suara keras. Aku paling tidak suka dengan perempuan yang keras kepala, aku suka wanita yang penurut seperti Rahma.Dia masih terdiam, namun air mata mulai menetes di matanya yang sayu."Hey, kenapa kamu menangis? Aku hanya menyuruh mu minum!" seruku.Dia mengalihkan pandangannya ke arahku. "Kalau tidak ingin bertanggungjawab, kenapa harus menikahi ku?" tanyanya.Aku terdiam, melihat sorot mat
POV. Ridwan"Maaf, aku malu," jawabnya singkat.Aku menghembuskan napas kasar, tidak mengerti jalan pikiran gadis yang sudah menjadi istri keduaku ini, bagaimana mungkin dia menahan lapar sehari semalam hanya karena malu. "Rahma, dimana kamu bertemu wanita seperti ini!" protesku dalam hati.Selesai makan, kami meninggalkan hotel, tujuan utamanya adalah berbelanja, tapi karena hotel tempat kami menginap jauh dari pusat kota, akhirnya kami harus menempuh perjalanan dua jam untuk ke toko pakaian.Alana sempat menolak, dia bahkan tak keberatan jika harus memakai mukenah saja jika di kamar. Tentunya aku menolak, selain karena mukenah bukan pakaian, aku juga ragu, apakah nantinya mukenah tersebut akan tetap suci jika di pakai seharian, padahal mukenah di pakai untuk shalat.Sampai do kota, hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk shalat Maghrib terlebih dahulu, baru mencari makan malam, karena perjalanan yang cukup jauh membuat aku cepat lapar.Sepanjang perjalanan, sampai kami makan m
Seminggu berlalu, Ridwan dan Alana sedang duduk di tempat tidur, hari ini adalah hari kepulangan mereka.Terlihat jelas raut gelisah di wajah keduanya. "Apa kamu tidak apa-apa, kalau sebentar aku kembali ke rumah bersama Rahma?" tanya Ridwan. Dia terlihat ragu menyampaikan hal tersebut, setelah seminggu kebersamaan mereka.Ridwan tidak bisa berbohong, kalau selama seminggu bersama Alana, dia jarang memikirkan Rahma, Alana sangat pintar memanjakan dan mensrik perhatiannya."Ya enggaklah, Mas. Mbak Rahma kan istri mu juga, masa aku marah," ucap Alana santai. Walaupun di dalam hatinya ada rasa tidak tega berpisah dengan Ridwan. Tapi, dia sangat tahu diri, kalau apa yang telah dia dapatkan selama ini karena belas kasihan Rahma yang mau berbagi suami dengannya."Nanti aku akan bicarakan kepada Rahma untuk jadwal kalian berdua, tapi kalau kamu punya hari yang kamu inginkan, akan aku beritahu dia," ucap Ridwan lagi."Untuk sekarang, aku ikut keputusan Mbak Rahma aja. Tapi, aku tidak yakin ka
“Istrimu kok nggak hamil-hamil, Wan?” tanya seorang kerabat kepada mas Ridwan suamiku.Mas Ridwan tak menjawab, bahkan senyum yang biasa menghiasi bibir tipisnya sirna entah kemana.Aku yang tadinya berniat menghampiri dan menyapa mereka, akhirnya tak jadi. Memilih mundur pelan-pelan lalu berbalik.“Rahma, mau kemana?!” tanya sebuah suara dari belakang. Saat menoleh, ternyata ibu mertua.“Mau ke mana? Masa nggak menyapa tamu, mereka ini kan keluarga Mama, kamu jadi mantu kok nggak ada sopan-sopannya,” omel ibu mertua di depan keluarganya.Hari ini ulang tahun mama mertua yang ke lima puluh
Aku segera berlari menuju kamar, terlihat mas Ridwan sedang duduk di pinggir tempat tidur, di menutup matanya dengan kedua telapak tangan, terlihat bahunya berguncang. Aku tertegun.“Apa yang membuat suamiku bisa menangis seperti ini?” tanyaku dalam hati.Ku dekati dia, tanganku mengusap kepalanya dia semakin sesenggukan. Dia bangkit lalu memelukku dengan erat.“Selamat sayang, penantian kita berbuah,” bisiknya di telingaku.Aku tak mengerti maksudnya, ku dorong dia lalu menatapnya meminta penjelasan. Dia menunjuk ke tempat tidur, terlihat sebuah testpack. Aku teringat tadi pagi memang memakai testpack karena sudah telat tiga minggu, tapi karena buru-buru hendak ke ru