Usia pernikahan Rahma dan Ridwan sudah menginjak angka 10 tahun, tapi mereka belum di karuniai anak. Orang tua Ridwan terus mendesak anaknya untuk menikah lagi, mampukah Rahma dan Ridwan mempertahankan rumah tangga mereka?
View More“Istrimu kok nggak hamil-hamil, Wan?” tanya seorang kerabat kepada mas Ridwan suamiku.
Mas Ridwan tak menjawab, bahkan senyum yang biasa menghiasi bibir tipisnya sirna entah kemana.
Aku yang tadinya berniat menghampiri dan menyapa mereka, akhirnya tak jadi. Memilih mundur pelan-pelan lalu berbalik.
“Rahma, mau kemana?!” tanya sebuah suara dari belakang. Saat menoleh, ternyata ibu mertua.
“Mau ke mana? Masa nggak menyapa tamu, mereka ini kan keluarga Mama, kamu jadi mantu kok nggak ada sopan-sopannya,” omel ibu mertua di depan keluarganya.
Hari ini ulang tahun mama mertua yang ke lima puluh lima tahun, walaupun umurnya sudah lebih dari setengah abad, tapi penampilannya masih seperti umur empat puluhan, sangat modis. Hampir tiap tahun selama aku menjadi menantu di keluarga mas Ridwan, Mama mertua selalu membuat acara yang mewah di saat hari lahirnya.
“Mau ke kamar mandi sebentar, Ma!” jawabku berbohong.
“Nanti saja, tahan saja dulu, ” larang Mama Anita.
Dia menarik tanganku kemudian bergabung dengan mas Ridwan dan beberapa keluarga mama.
“Ehh, Rahma. Apa kabar?” ucap tante Ani, saudara sepupu mama.
“Alhamdulillah baik, tante,” jawabku sambil tersenyum.
“Kamu belum hamil juga? Kamu nggak mandul kan?” tanya tante Ani bertubi-tubi.
Wajahku yang tadinya tersenyum, kini berubah masam, bisa ku pastikan mukaku pun telah memerah menahan amarah. Ku palingkan muka tak ingin melihat wajah tante Ani.
“Tentu tidaklah tante, kami berdua sehat kok,” sela mas Ridwan. Terlihat wajahnya pun memerah menahan kesal.
“Jangan marah dulu, Wan. Tante Cuma bertanya, kamu menikah kan sudah sepuluh tahun, tapi kok istrimu belum hamil, Rika anak tante saja sudah lagi hamil anak ke tiga.” Tante Ani mulai lagi membandingkan antara kami dan anaknya. Sejak cucu pertamanya sampai cucunya yang masih dalam kandungan.
“Nit, coba degh kamu bawa menantumu ini ke dokter spesialis supaya di cek kesuburan nya lagi, kasian loh. Ridwan itu anak tunggal, kalau sampai dia tak punya anak, bisa putus silsilah keluarga Adi Brata.” Mulut tante Ani tak berhenti berbicara.
“Aduh, An. Sudah berkali-kali aku mengajak Rahma untuk ke dokter kandungan, tapi dasar anaknya aja yang nggak mau menurut, dia nggak pernah mau ikut kata-kata,” keluh mama kepada sepupunya itu.
“Atau kamu nikahkan Ridwan lagi, aku punya calonnya. Anaknya baik, cantik, pintar, dari keluarga terpandang dan yang pasti dia bakalan bisa ngasih kamu cucu,” ucap tante Ani.
“Tante, Stop! Kalau tante masih sibuk dengan urusan rumah tangga saya, lebih baik tante pulang saja,” usir mas Ridwan.
Wajah tante Ani berubah pucat, dia tak menyangka kalau mas Ridwan akan berkata seperti itu kepadanya.
“Wan, kamu ngomong apa? Dia itu tante kamu, masa kamu usir.” Mama menegur mas Ridwan.
Beberapa keluarga yang tadinya cuek, kini mulai memperhatikan kami, ku dekati mas Ridwan dan memegang lengannya.
“Mas, sudah! nggak enak di liat banyak orang,” bisikku.
“Ma, ingetin sama sepupu Mama itu, kalau nggak usah urusin rumah tangga aku, urusin saja rumah tangga Rika, masa suaminya sudah hampir setahun nggak pulang tapi kok bisa hamil lagi,” ucap mas Ridwan.
Aku mencubit lengan mas Ridwan, supaya dia diam tak memperpanjang masalah. Muka tante Ani berganti menjadi merah, entah menahan amarah atau malu.
“Sudah, kalian ini apa-apaan sih! Ayo, lebih baik acaranya segera di mulai,” perintah papa Adi.
Ayah mas Ridwan memang orang yang bijak, tak suka ikut campur urusan orang lain, biasanya jika aku di pojokkan oleh keluarga suami, maka dia yang akan menengahi. Beda dengan mas Ridwan yang akan cepat sekali tersulut emosinya.
Mama mengikuti kemauan papa, dia segera menarik tante Ani menuju ruang tamu, sedangkan aku menarik mas Ridwan agar ke dapur, ku dudukan dia di kursi makan, lalu ku ambilkan air putih dari dalam kulkas, ku sodorkan air es ke mulutnya. Awalnya dia menolak, tapi tetap saja ku paksa sampai dia meminumnya.
“Kamu kok sabar banget sih di bully kayak gitu?” tanya mas Ridwan dengan suara bergetar.
Aku tahu dia masih menahan amarahnya, ku usap lembut rambutnya yang hitam legam, lalu mengecup pucuk kepala kekasih halalku itu. Dia melingkarkan tangan di pinggangku, menyandarkan kepala di perutku, lalu berbisik.
“Cepat hadir di perut ini yah, nak! Kami menantikanmu.”
Ku hapus air mata yang tiba-tiba saja lolos dari pelupuk mata, aku tau bagaimana usaha mas Ridwan merayu Allah untuk di beri amanah berupa anak. Namun, sepertinya Allah masih ingin mas Ridwan terus meminta, sehingga sampai sepuluh tahun usia pernikahan. Kami tak juga di beri amanah itu.
“Ayo, Mas. Kita keluar, nanti Mama nyariin.” Ku tarik tangan mas Ridwan yang enggan berdiri.
Kami melangkah ke halaman belakang, tempat pesta berlangsung, kami berkumpul menyanyikan lagu selamat ulang tahun, lalu ikut bergabung dengan para tamu, tak ada yang aneh, semua berjalan lancar, hanya tante Ani yang selalu membuang pandangannya ketika melihat kami. Pesta berlangsung dengan meriah, selama dua jam para tamu yang datang di suguhkan dengan berbagai acara, mulai dari potong kue, games, menyanyi sampai makan-makan. Pesta selesai tepat jam sepuluh malam, mama melarang kami pulang karena ada hal yang ingin di bicarakan katanya.
Aku dan mas Ridwan sedang menunggu mama yang sedang berganti pakaian, sedangkan papa Adi tengah sibuk dengan hapenya.
Tak lama, mama Anita keluar dari kamar dan berkumpul dengan kami di ruang keluarga.
“Selamat ulang tahun, Ma! Ini kado dari kami berdua,” ucap mas Ridwan, dia berdiri lalu berjalan ke arah mamanya, mereka berpelukan.
“Makasih, sayang,” ucap mama dengan wajah tersenyum. Dia membuka kado dari kami, wajahnya kaget melihat sebuah jam merek Rokel kesukaannya. Langsung saja, jam itu di pakai dan dia foto untuk dia bagikan di akun media sosialnya. Papa mertua menggeleng melihat istrinya yang begitu narsis.
“Ma, nanti aja pamernya, sekarang Mama ngumpulin kami di sini untuk apa?” tanya papa.
“Baiklah, karena kita semua sudah kumpul, Mama mau membahas perkataan tante Ani yang tadi,” ucap mama.
“Ucapan yang mana, Ma?” tanya mas Ridwan.
“Yang soal cari istri lagi buat kamu,” ucap mama enteng.
Hape yang sedari tadi ku pegang terlepas, aku kaget mendengar ucapan mama Anita. Papa dan mas Ridwan menatapku, segera ku bungkukkan badan memungut hapeku kembali.
“Mama ini apa-apaan sih? kok sampai mau mendengar ide gila tante Ani,” sungut mas Ridwan.
“Ide gila dari mana? Tante Ani itu bener loh, Wan. Kalian kan sudah sepuluh tahun menikah, masa Rahma belum hamil juga,” ucap mama.
“Ridwan nggak akan mau nikah lagi, titik!”
“Apa kamu tidak kasihan sama mama dan papa? Kami ini sudah tua, sudah dari dulu merindukan cucu.”
“Tapi tidak harus dengan menikah lagi kan, Ma?!” ucap mas Ridwan frustasi.
Aku hanya terdiam, sudah lama ku persiapkan hati untuk adegan seperti ini. Aku tidak bisa memungkiri jika cepat atau lambat mama atau papa akan memberikan pilihan ini kepada mas Ridwan. Mengingat mas Ridwan anak tunggal.
“Mau cara apa? Adopsi?! Kita lagi bicara penerusnya keluarga Adi Brata, Mama tidak masalah kamu adopsi, tapi Mama tetap ingin darah daging kamu sendiri, apa salah?” ucap mama dengan suara bergetar.
Aku menunduk, tak berani menatap ke arah mereka, aku tau bagaimana Mama Anita. Dia sosok mertua yang baik, selama ini dia memperlakukan ku dengan lembut, tak pernah marah.
“Rahma, apa yang Mama minta ini berlebihan?” tanya mama padaku.
Aku yang tak siap dengan pertanyaan seperti itu, gelagapan. Tak tau harus menjawab apa.
“Sudah! Wan, fikirkanlah apa yang di sampaikan oleh Mamamu, Papa sebenarnya tidak keberatan kalau kamu mengadopsi anak, tapi kalau masih bisa punya anak sendiri, itu lebih bagus, untuk Rahma, tolong fikirkan juga ya, Nak! Dan terakhir untuk Mama, kasih mereka kesempatan, jangan mengambil keputusan yang gegabah apalagi jika itu pendapat dari orang lain,” ucap Papa. Seperti biasa, dia akan menjadi hakim, memutuskan sesuatu, dan tak boleh di bantah.
“Baik, Pa. Nanti kami diskusikan, untuk Mama, maaf kalau belum bisa memberi Mama cucu, do’akan semoga Rahma cepat hamil,” ucapku.
Mama berdiri, mendekat kepadaku dan kami saling berpelukan. Aku tau wanita di depanku ini berhati lembut, hanya saja ada orang-orang di sekitarnya yang selalu berusaha menghasut.
Setelah berbasa-basi sebentar, kami pamit pulang, jam sudah menunjukkan angka dua belas malam ketika sampai di rumah.
Sedari tadi menahan haus, aku langsung melangkah ke dapur setelah memasuki rumah, sedangkan mas Ridwan langsung masuk ke dalam kamar, untuk membersihkan badan.
Baru saja aku membuka kulkas, terdengar teriakan dari mas Ridwan.
“Rahma, ke sini sekarang!”
Rahma terpaku di tempat, ponselnya terasa dingin dan berat di tangannya. Matanya memindai kata-kata Ridwan, membiarkan setiap huruf menusuknya seperti serpihan kaca tajam.Mas Ridwan: Sayang, Alana baru saja masuk ke kamar dan dia menangis histeris. Dia bilang kamu mengancamnya. Ada apa? Kenapa kamu menyakitinya? Mas benar-benar tidak mengerti kenapa kamu melakukan ini. Mas minta maaf, tapi Mas harus bilang—tolong, jangan ganggu dia lagi. Mas harus memilih, dan Mas memilih dia. Malam ini, Mas akan mengunci pintu kamarnya. Jangan pernah—Jangan pernah mendekati kamarnya lagi tanpa izinku.Kalimat itu, yang terpotong di layar, terasa selesai di benak Rahma. Itu adalah deklarasi perang yang jelas, tetapi datang dari suaminya sendiri.Rahma menjatuhkan ponselnya ke atas tempat tidur, suara benda jatuh yang empuk itu terasa memuakkan di tengah keheningan yang menyelimutinya. Ia tidak menangis. Air mata tidak akan datang. Yang ada hanyalah
"Aku sudah melihat daftar vitamin yang harus kamu minum, dan aku sudah menyiapkan jadwal makan yang ketat. Aku juga akan memanggil suster pribadi untuk membantumu, sehingga Ridwan tidak perlu sepenuhnya mengurus semua kebutuhanmu," Rahma menjelaskan, suaranya tegas. "Dan sebagai gantinya aku sebagai penanggung jawab utama kesehatanmu dan anak ini, aku berhak memantau semua kegiatanmu. Tidak ada lagi berjalan-jalan sendirian, tidak ada lagi menerima tamu tanpa izin, dan tidak ada lagi naik tangga."Rahma berjalan mendekat ke kursi Alana, matanya menatap tajam, menembus lapisan kepalsuan Alana. "Kamu adalah tamuku di rumah ini. Kamu harus ingat itu, Alana. Kamu di sini demi anak. Dan aku akan pastikan anak itu lahir dengan selamat, di bawah pengawasanku."Rahma menegaskan batasan, mengubah kamar tamu itu dari markas Alana menjadi penjara emas.Alana terlihat geram, raut wajahnya yang tadinya manis kini berubah masam. "Mbak Rahma terdengar seperti sedang memenjarak
Sore itu, Alana datang dengan di antar sopir yang membawa koper-koper kecilnya. Ia terlihat tidak nyaman, tetapi ada kilau puas di matanya saat ia melangkah memasuki ambang pintu rumah mewah itu. Rumah yang ia yakini akan menjadi miliknya dan bayinya sepenuhnya suatu hari nanti.Rahma menyambutnya di ruang tamu dengan penampilan yang sempurna."Selamat datang, Alana," sapa Rahma, senyumnya tidak pernah pudar. "Aku sudah siapkan kamarmu. Aku harap kamu nyaman. Tidak usah sungkan, anggap saja ini rumah sendiri."Alana memaksakan diri untuk tersenyum. "Terima kasih, Mbak Rahma. Maaf sudah merepotkan.""Tidak merepotkan sama sekali. Ini demi anak kita," kata Rahma, menekankan kata 'kita' dengan nada lembut yang membuat Alana sedikit salah tingkah. Alana selalu lebih nyaman menghadapi Rahma yang rapuh, bukan Rahma yang tenang dan mengendalikan.Setelah Alana selesai menata barang-barangnya di kamar tamu yang luas dan mewah, mereka bertiga duduk untuk ma
"Alana, dengar," Ridwan memulai, suaranya serak dan berat, hatinya sakit. "Mas... Mas tidak bisa..." ia menarik napas tajam, mengumpulkan semua keberaniannya yang tersisa. "Mas tidak bisa mengambil risiko kamu pergi. Mas harus tetap di sana. Mas harus menemani kamu malam ini. Demi bayi kita, Sayang. Mas minta maaf."Keheningan kembali menyelimuti saluran telepon, namun kali ini terasa berbeda. Di ujung sana, Alana tidak lagi berteriak, melainkan tertawa pelan, tawa yang dingin dan penuh kemenangan."Baik, Mas," jawab Alana, nadanya tiba-tiba kembali manis. "Aku mengerti. Terima kasih, Mas. Aku tunggu Mas di sini. Jangan lama-lama, ya. Aku butuh Mas sekarang."Ridwan menutup telepon, tangannya gemetar. Ia tidak bisa bergerak dari tempatnya, mobilnya masih terparkir di pinggir jalan, jauh dari rumah utama Rahma, dan jauh dari rumah kontrakan Alana. Ia telah mengambil keputusan. Keputusan yang terasa seperti ia mencabut sebagian jiwanya dan memberikannya kepada ancaman yang paling keras.
...setiap detik terasa bagai setahun."Mas..." Suara Rahma di telepon bergetar, hampir tidak terdengar. Ia menunggu, napasnya tertahan. Ia bisa mendengar Ridwan menghela napas di seberang sana."Sayang," Ridwan memulai, nadanya penuh dilema. "Mas... Mas sudah janji sama Alana. Dia kan lagi hamil, Mas enggak enak kalau...""Mas," Rahma memotong, kali ini air matanya benar-benar tumpah. Ia tidak bisa lagi menahannya. "Rahma tahu, Rahma tahu Mas sudah janji sama Alana. Tapi... Rahma benar-benar merasa tidak enak badan, Mas. Rasanya... rasanya Aku takut sekali kalau sendirian malam ini." Suaranya berubah menjadi isakan yang tak tertahankan. "Rahma... Rahma tidak tahu kenapa, Mas. Tapi ini... ini berat sekali untuk Rahma. Aku hanya ingin Mas ada di sini, di sampingku, malam ini saja."Ada keheningan di ujung telepon. Rahma bisa membayangkan Ridwan di sana, mungkin sedang bingung, mungkin sedang merasa bersalah. Keheningan itu terasa lebih berat daripada penola
...dari malam-malam yang akan memisahkannya dari Ridwan. Rahma memejamkan mata, isakannya tertahan di balik bantal yang ia benamkan wajahnya.Setiap desahan yang ia dengar, setiap tawa kecil yang lolos dari bibir Alana, menusuknya seperti serpihan kaca tajam. Ruangan ini terasa dingin, kosong, dan sangat asing. Bau parfum Ridwan yang seharusnya menenangkan, kini bercampur dengan imajinasinya tentang keintiman mereka, menciptakan aroma pahit di rongga dadanya. Ia memeluk lututnya, meringkuk di atas kasur yang terasa terlalu besar untuknya sendiri. Ini malam pertama. Dan ia tahu, masih akan ada malam-malam selanjutnya. Malam-malam yang akan menguji batas kesabaran dan keikhlasan yang selama ini ia genggam.Malam itu terasa sangat panjang. Rahma tidak bisa tidur. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan Ridwan dan Alana muncul, menari-nari di pelupuk matanya. Ia hanya bisa terbaring, mendengarkan detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang, dan sesekali suara s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments