LOGINPagi itu, di sebuah kafe mewah yang tersembunyi dari hiruk pikuk Jakarta, Tante Ani, Mama Anita, dan Siska duduk mengelilingi meja marmer. Tante Ani tampak bersemangat, sementara Mama Anita terlihat gelisah, memainkan cincin kawinnya. Siska, di sisi lain, memancarkan aura percaya diri yang tenang.
“Jadi, bagaimana hari pertama Siska, Nit?” tanya Tante Ani, menyilangkan kakinya dengan elegan.
Mama Anita menghela napas. “Ridwan sedikit keberatan, Ani. Dia bilang Siska tidak berpengalaman. Tapi tentu saja, aku menekannya. Dia tidak punya pilihan selain menerima.”
“Bagus. Ridwan selalu patuh pada perintahmu, Anita. Itu kartu as kita,” Tante Ani menyeringai, lalu menoleh ke Siska. “Dan kamu, Siska? Apakah Ridwan menunjukkan respons?”
Siska menyesap kopi lattenya dengan gerakan yang disengaja. “Aku sudah menempatkan diri dengan baik. Ruanganku persis di sebelah ruangannya. Aku sudah mengirimkan tiket konser.
Rahma berdiri kaku di puncak tangga. Detik-detik bergulirnya tubuh Alana terasa lambat, seperti adegan film bisu yang diputar ulang dalam kecepatan rendah. Rahma melihat bagaimana Alana, dalam posisi jatuh yang terencana, memastikan benturan itu dramatis tanpa melukai dirinya secara fatal. Teriakan itu, melengking dan penuh kesakitan, terasa seperti nada sumbang yang menghancurkan keheningan rumah.Di bawah, Ridwan menjatuhkan tas kerjanya. Suara tas yang menghantam lantai marmer itu seperti tembakan pistol yang memulai sebuah drama. Ia bergegas mendekati Alana yang kini tergeletak di tiga anak tangga terbawah, tubuhnya meringkuk seperti daun kering yang rapuh.“Alana! Ya Tuhan, Alana! Apa yang terjadi?!” Ridwan berlutut, wajahnya pucat pasi, kedua tangannya gemetar saat menyentuh bahu Alana.Alana tidak segera menjawab. Ia hanya terisak, suaranya tercekat dan menahan napas, seolah rasa sakit fisik dan emosional mencekiknya. Ia memejamkan mata, membi
Malam itu, sesuai jadwal bergilir, Ridwan berada di kamar Alana. Rahma tidur sendirian, memeluk bantal, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia masih memiliki tempat di hati suaminya.Keesokan paginya, Alana memulai aksinya. Waktu sarapan adalah waktu yang tepat, di mana Ridwan biasanya sedang membaca koran dan suasana masih tenang.Rahma sedang menuangkan teh panas ke dalam cangkir Ridwan. Uap panas mengepul di udara. Alana mendekati meja, wajahnya tampak cemas seolah ingin mengatakan sesuatu yang mendesak."Mas, boleh aku bicara sebentar?" panggil Alana, suaranya sedikit meninggi. Ia melangkah terlalu dekat ke tempat Rahma berdiri, seolah-olah ia tidak melihat keberadaan teko panas di tangan Rahma.Rahma yang terkejut, sedikit mundur untuk memberi ruang, tetapi Alana terus maju, gerakannya terlalu cepat.Tiba-tiba, Alana berteriak kecil. *Sret!* Air panas dari teko itu tumpah, bukan seluruhnya, hanya sedikit, namun cukup untuk membasahi punggung tang
Alana menarik napas panjang, memasang wajah sedih dan terintimidasi. "Dia bilang, dia adalah tunangan Mas Ridwan. Dia bilang dia berhak atas Mas Ridwan, dan aku hanyalah penghalang. Dia bahkan bilang dia akan melakukan apa pun agar Mas Ridwan mau tidur dengannya di luar kota."Mama Anita tersentak. "Apa?! Siska bicara begitu?""Iya, Ma," kata Alana, air mata mengalir. "Aku tahu aku tidak boleh cemburu. Tapi dia terus menggodaku. Dia menumpahkan minuman ke kemeja Mas Ridwan, lalu dia membersihkannya dengan cara yang... tidak pantas. Aku panik, Ma. Aku takut Mas Ridwan tergoda, makanya aku menyusul. Aku hanya ingin melindungi suamiku, tapi malah berakhir begini."Alana tidak berbohong tentang adegan di restoran, tetapi ia memutarbalikan narasi. Ia menghilangkan fakta bahwa ia yang menyerang duluan, dan ia memposisikan Siska sebagai predator yang mengancam kehormatan Ridwan.Wajah Tante Ani berubah merah padam. Ia merasa malu dan marah. Siska adalah wanita y
Rahma menoleh. Alana tersenyum lagi, senyum yang kali ini terasa lebih palsu dari sebelumnya, seolah ia sedang menguji seberapa jauh ia bisa memanipulasi situasi."Aku tahu Mas Ridwan akan segera pulang ke rumah. Tapi biarkan aku di sini dulu, ya? Aku benar-benar butuh Mama Anita. Aku takut, Mas. Aku takut sendirian," pinta Alana, membuat Ridwan mengangguk setuju di sampingnya.Rahma mengerti. Itu adalah sebuah ultimatum yang manis: Ridwan akan tetap bersamanya, tetapi dia tidak akan pulang ke rumah mereka selama Alana masih membutuhkan 'perlindungan'.Rahma hanya bisa mengangguk pasrah. "Tentu, Alana. Kamu tinggal saja di sini sampai pulih."Ia keluar dari kamar, meninggalkan Alana yang sedang tersenyum kepada Ridwan. Tetapi, begitu Rahma menghilang, mata Alana kembali menajam, dan ia mengeratkan genggamannya pada tangan Ridwan.*Aku tidak akan kembali ke rumah itu,* janji Alana dalam hati, sementara Ridwan sibuk menenangkannya. *Aku akan memastik
Setelah diusir secara halus oleh Ridwan, Rahma kembali dalam keadaan hancur. Bukan karena ia cemburu melihat Ridwan merawat Alana, Ia sudah lama berjanji untuk ikhlas dengan takdir poligami, tetapi karena tatapan Ridwan. Tatapan yang menuduh, yang menjauh, seolah ia adalah sumber dari segala bencana.Rahma menghabiskan dua hari berikutnya dalam pusaran kebingungan dan kesedihan. Ridwan tidak menghubunginya, dan setiap kali Rahma mencoba menelepon, Ridwan hanya menjawab singkat, "Aku sedang sibuk mengurus Alana. Jangan ganggu dulu, Rahma."Rahma tahu, jika ia membiarkan kesalahpahaman ini berlarut-larut, jarak di antara mereka akan semakin lebar. Ia harus bertindak. Ia harus menunjukkan ketulusannya, menunjukkan bahwa ia tidak memiliki kebencian sedikit pun kepada Alana.Pada hari ketiga, Rahma kembali ke rumah mertuanya. Kali ini, ia tidak datang tanpa pemberitahuan. Ia menghubungi Mama Anita lebih dulu, meminta izin untuk menjenguk Alana. Mama Anita, yang kini sangat protektif terhad
Alana tersenyum tipis, senyum kemenangan yang hanya terlihat oleh langit-langit kamar rumah sakit. Ia kini memiliki dukungan mertua. Ia kini telah menciptakan garis pemisah antara dirinya dan Rahma, dan yang terpenting, ia telah berhasil menanamkan benih kebencian Ridwan terhadap Rahma. Kehancuran ini telah mengubahnya. Rasa sakitnya kini bermetamorfosis menjadi senjata. Ia adalah korban yang paling efektif.*Aku tidak bisa membiarkanmu menang, Rahma,* bisik suara di dalam kepala Alana, dingin dan tanpa emosi. *Anakku meninggal karena kecerobohan yang kau picu. Sekarang, giliranmu yang akan membayar.*Alana tahu, statusnya sebagai istri siri yang keguguran sangatlah rentan. Ridwan bisa saja menceraikannya setelah ini karena tidak ada lagi ikatan janin. Tetapi simpati Mama Anita dan rasa bersalah Ridwan memberinya waktu. Waktu yang ia butuhkan untuk merencanakan pembalasan, dan memastikan bahwa Ridwan akan menceraikan Rahma, bukan dirinya.Ia memejamkan mata lagi







