Aku diam, mengingat kembali ucapan mas Ramdan."Segera kemobil mbak Dina, segera kerumah sakit""Segera kemobil mbak Dina, segera kerumah sakit"Kuulang berkali-kali kalimat itu, sebuah kesimpulan terkumpul di kepalaku."Kemobil? Kerumah sakit?"Apa itu petunjuk untuk rencananya? Tanpa fikir panjang aku berlari kedalam mobilku."Terkunci!" Kunci, dimana mas Ramdan meletakkan kuncinya?Aku mengingat kebiasaan mas Ramdan setelah membawa kunci, dia akan meletakkannya di?"Saku celana!"Aku terkejut. Jika dia memintaku kemobil, namun kunci masih disakunya, artinya aku harus mengambilnya."Rock, keluarkan mobilmu!""Kenapa?""Cepatlah. Kita kejar mereka"Rock segera berlari kemobil. Sky mengunci pintu rumahku dan ikut berlari masuk kedalam mobil Rock yang sudah mundur kejalan.Aku duduk dibelakang. Sky menutup pinti dengan kencang. "Apa yang terjadi Queen?""Entahlah, namun mereka sepertinya bukan polisi! Cari mobil tadi. Cepat!"Rock duduk di belakang kemudi. Kami berusaha mengejar mere
Kami terus memutari Purwakarta, namun tak juga menemukan petunjuk apapun. Dalam kegentingan yang sangat membuat kami tertekan, ponselku berbunyi."Halo" Aku mengangkatnya dengan suara datar."Kau beruntung Dina Arleta, gadis si*lan itu melindungimu" Suara Mala terdengar kesal di seberang sana."Jangan libatkan orang lain Mala, ini urusan antara kau dan aku!" Aku memperingatkan dirinya, dia juga harus tau posisinya di rumah ini."Bagaimana, aku juga bisa bermain sepertimu kan Dina?Suara Mala terdengar meledekku, perempuan tak waras ini masih saja tak sadar diri, dia kira bisa dengan gampangnya mempermainkan hidupku!"Apa maksud ucapanmu, ha!" Aku sedikit terbawa emosi."Apa lagi, aku tau selama ini kau memata-matai hidupku Dina, jadi ini baru awal permainanku padamu. Dengarkan aku Dina Arleta, aku akan membuatmu membayar semua yang kau lakukan padaku!"Suaranya terdengar meyakinkan. Lucu sekali, aku kini berurusan dengan gadis yang dalam pemeriksaan bahkan mengalami gangguan jiwa, jik
Jangan bilang Khayalanku tinggi. Karena nyatanya, aku seorang Dina memang naik Helikopter ini ke Jogja. Dan yang lebih mengejutkan lagi king yang membawanya.Sampai di sana, kami turun disalah satu lapangan. Jauh dari pemukiman, namun dekat dengan pantai.Dua mobil sudah menunggu kami di sana dan kami di bawa menuju rumah King di Jogja.Rumah King cukup besar, berpagar putih, rumah ini nampak seperti rumah peninggalan belanda. Seorang wanita paruh baya keluar menyambut kami. Dari wajahnya, aku bisa tau dia bukan orang asli indonesia.King memeluk wanita itu, dan membawa kami masuk ke dalamnya. Rumah dengan kaca-kaca besar dan langit-langit menjulang tinggi."Ini mamaku. Mama kandungku!"Kami saling pandang. King tak pernah cerita, bila ibunya seorang wanita blesteran dan sekarang kami pun tau, wajah siapa yang melekat pada wajah King. Kami tersenyum, wanita itu juga tersenyum, lalu membelai wajahku perlahan."Dina ya?"Aku terkejut, memandang King penuh tanya. Darimana dia tau namaku
Aku tak sabar. Duduk saja dirumah ini membuatku justru semakin kehabisan akal. Namun mengingat yang kami hadapi bukan sebuah geng main-main, aku terpaksa harus menunggu kabar.Mobil hitam kembali masuk kepekarangan. Kali ini mas Aris tidak sendiri. Beberapa mobil lain datang setelahnya. Mas Aris menemui Pakde Har dan langsung berbisik.Mengapa harus berbisik? Aku juga ingin dengar kabar apa yang mereka bawa. Hingga kugeser duduk kedekat pakde, bukan informasi yang kudapat. Justru lirikan tajam pakde padaku.Aku hanya mampu tersenyum dan kembali keposisi semula. Andai aku tak banyak merahasiakan sesuatu. Sekarang aku pasti sudah merengek pada pakde Har dan tak mungkin bisa pakde marah. Tapi sejak awal aku sudah salah. Jadi aku takut bersikap manja.Setelah bisikan itu, wajah pakde berubah marah. Namun ada senyum tipis tersungging diujung bibir. Sangat misterius."Kalian tau dimana Ramdan?""Yaa pakde. Kami tau" Sky langsung menjawab."Ayo kita jemput dia!"Pakde Har berjalan keluar. Ak
Aku harus melihat keadaan mas Ramdan, dengan cepat aku mendekat pada King, wajah Mas Ramdan penuh memar dan darah."Apa yang mereka lakukan padamu mas?"Aku bertanya ketakutan, namun aku masih bisa melihat senyumnya. Syukurlah, seketika kekhawatiranku menguap, dia masih bisa tersenyum meledek, Itu artinya dia baik-baik saja.Pakde Har masih berdiri dibdepan kami, lelaki botak itu menatap kami penuh tanya."Jangan menatapnya!"Teriakan Pakde Har membuat kami semua terkejut, king J dan Rock membantu Black berdiri. Sky memeluk Rose dan tertatih mendekati kami. Kini kami berjajar di tengah pasukan Pakde Har.Pakde mengetuk-ngetukan tongkatnya, tongkat penyangga yang meski tak membantunya berjalan namun tetap selalu dia bawa."Aris, bawa mereka semua pergi dari sini!"Pakde memberi titah, kami melangkah mengikuti perintah Pakde.DOORR!Tembakan kembali terdengar, lelaki botak itu mengacungkan senjata. Aku terkejut, dan orang-orang Pakde berdiri membentuk barisan. Bahkan kini mereka semua m
Kami membawa Anik ke Solo, aku sudah menghubungi Bapak dan mas Pandu. Mas Pandu bilang, Rumah Sakit sudah siap menerima Anik. Gadis itu belum juga sadar sejak kami bawa ke Rumah sakit di Purwakarta, Dokter bilang ada pendarahan pada kepalanya dan itu membuat kami sangat khawatir.Aku duduk di dalam ambulan bersama seorang perawat yang mengantarkan. Hatiku berdesir nyeri saat melihat gadis ceria yang kukenal kini terkulai tanpa daya dan tak sadarkan diri, sepanjang jalan terus kuamati wajahnya yang tak lagi terseny saat di dekatku.Masuk pelataran Rumah Sakit, anik di bawa masuk IGD. Aku mengikutinya dari belangan dan melihat mas Pandu sudah berdiri menunggu di pintu luar. Mas Pandu ikut masuk mendorong Anik ia memberi isyarat padaku untuk menunggu di luar dan ku hanya mampu diam melihat pintu IGD tertutup.Rose dan lainya datang setelahnya, mereka ikut menunggu bersamaku di depan IGD. Kami mencari tempat untuk duduk yang kini hanya bisa duduk di lantai. Aku menyandarkan punggung pada
Ada yang mau menjelaskan sesuatu pada orang tua ini?" Kalimat Bapak terdengar seperti eksekusi mati di telingaku.Setelah makan malam, kami semua di panggil Bapak duduk di ruang tengah. Bapak menatap kami satu persatu. Menunggu siapa yang akan menjawab pertanyaannya. Bahkan mas Ramdan yang harusnya ikut bicara terlihat juga tenggah mengatur takutnya sendiri. Aku mengatur napas dan mempersiapka diri sebelum menjawab pertanyaan Bapak. Takut jika sedikit saja salah, ini akan menjadi panjang."Kami teman bermain game, teman bercerita, bahkan teman menyelesaikan masalah apapun"Rock dengan percaya diri menjelaskan. Dia tak tau saja bagaimana watak Bapakku. Dia kira lelaki didepannya itu mudah di taklukkan?"Teman game? Sejak kapan?"Mata marah itu kembali menatap kami satu persatu."Tujuh tahun lebih pak. Kami minta maaf jika Bapak baru tau"King kini menjelaskan. Aku juga yang salah, merahasiakan mereka semua dari Bapak. Aku tau Bapak marah karena aku terlalu banyak merahasiakan mereka.
Hay semesta, masih bisakah aku melukis cinta?Sebab sayatan lara telah mengoresnya.Adakah aku akan percaya rasa?Bila lukanya masih terasa nyata.Aku, sedang bicara ruang yang pernah tercabik.Yang sembuh karena waktu, namun bekasnya tak juga hilang dari rasaku.Hay semesta. katakan, siapa yang mampu membawaku terbang. Merendakan kisah baru yang menutupi lukaku.Menjahit cinta baru yang menata hatiku.Bawa kemari jika dia mampu, membawa sayap patah ini terbang ,merajut mimpi baru yang tak berduri.***Kuremas surat putusan pengadilan di tangan, surat ini datang bersama gugatan harta dari mas Haris dan ibunya. Seperti lelucon memang, mereka datang dengan tangan kosong dan berharap pergi membawa banyak bagian. Konyol! Namun begitulah watak pencuri bukan?Aku menghela napas berat, kini resmi sudah aku menjadi janda, status yang tak pernah terbayang akan ada dalam takdirku. Namun nyatanya, diantara semua pilihan aku justeru memilih yang terpahit untuk di lalui.Mungkin ini yang dirasak