Giselle benci hari Jumat malam. Terutama Jumat malam seperti ini.
Di saat seluruh rekan kerjanya bersuka cita menyambut akhir pekan dan melepaskan diri dari kepenatan beban dan tumpukan kerja, Giselle kini malah memilih menyibukkan diri dengan membaca ulang kontrak yang baru saja dia amankan dan dapatkan dengan Sudibyo Corporation.
Sudibyo Corporation adalah salah satu perusahaan yang bisnis utamanya bergerak di bidang real estate. Meskipun tidak sebesar Danudihadjo Enterprise yang memang diakui sebagai perusahaan privat terbesar di Indonesia. Setidaknya Sudibyo Corporation memiliki rekam jejak yang baik dengan kekuatan finansial yang stabil, cenderung meningkat dan yang terpenting cukup sehat.
Meskipun kini terdengar desas desus bahwa akan ada proses merger dan akuisisi antara Sudibyo Coproration dengan raksasa bisnis di Indonesia, Danudihardjo Enterprise. Salah satu mega proyek dan beberapa konsultan besar sudah siap berdiri di belakang untuk mengambil kesempatan bersejarah dalam dunia korporasi di Indonesia.
Dia menguap, lalu secara refleks melirik jam digital kecil yang terpampang di sudut mejanya sudah menunjukkan pukul 19.30 malam. Ini tentu saja masih pagi dalam kamus pekerja gila
macam Giselle.Beberapa bulan sebelumnya dia bahkan sanggup bekerja hingga jam 3 dini hari, menunggu hasil kerja anak buahnya yang juga terpaksa lembur untuk mengejar deadline yang ditetapkan oleh salah satu klien mereka.
Giselle Putri Natapradja – seorang konsultan di sebuah kantor bonafit The Converge seringkali disapa dengan sebutan The Queen Bee. Sebuah panggilan nama yang layak Giselle sandang, menurut pribadinya sendiri.
Dia adalah salah satu senior konsultan di perusahaan ini dengan umur termuda dibanding rekan kerja lainnya. Sudah 26 tahun Giselle merayakan ulang tahunnya sejak dia pertama kali dilahirkan di tanggal 20 Januari dua puluh enam tahun lalu.
Kenapa disebut The Queen Bee? Ya karena Giselle adalah satu-satunya perempuan menonjol dan ambisius dalam The Converge. Banyak proyek yang gol di bawah kendali Giselle.
Secara sederhananya, Giselle adalah the IT GIRL dalam kantor ini. Semua orang terpesona kepadanya. Tidak hanya tertarik karena fisik, namun juga karena otaknya yang begitu cerdas dan penampilannya yang menawan.
Lulusan sekolah bisnis dengan full ride atau beasiswa penuh di salah satu Ivy League Unversity, yaitu The Wharton School of The University of Pennsylvania. Secara pendidikan dia memang menjadi salah satu tumpuan bagi perusahaan tempatnya bernaung dan memulai karirnya di Indonesia.
Brain, Beauty and Behaviour.
Kecerdasan, kecantikan, dan berkelas. Tiga kriteria yang membuat banyak orang iri.
Semua ada dalam diri Giselle.
“Coba saja lo ikut ajang pemilihan ratu kecantikan model Putri Indonesia, pasti gue jamin lo bisa menang. Atau minimal, bisa dapat tiga besar,” ujar salah seorang teman Giselle ketika mereka hangout bersama di sebuah restoran yang sedang viral di ibukota.
Tentu saja Giselle menepis ucapan tersebut dan menanggapinya dengan tawa ringan.
“Aduh, nggak dulu deh. Usia gue sudah segini. Nggak mungkin masuk juga!"
"Lagipula udah sibuk banget ini sama kerjaan. Mana sempat ikut acara begituan,” tepis Giselle santai pada waktu itu.
"Bu Giselle, ini anak-anak mau cabut ke Senopati. Mau ikutan nggak? Kayaknya ada yang mau buka table deh. Ada acara ulang tahun di salah satu divisi, Bu." Suara salah satu stafnya membuyarkan ingatannya.
Rindi, salah satu staf di bawahnya yang baru satu tahun bekerja di sini sepertinya mendapatkan tugas dari rekan-rekannya yang lain untuk datang ke ruangannya dan mengundang Giselle untuk datang.
Tentu saja mereka berharap Giselle bisa datang. Di mana ada Giselle, pasti banyak orang yang datang ke meja mereka untuk modus dan sksd ingin berkenalan dengannya.
Tapi sejak dia putus dengan mantan pacarnya tiga bulan lalu, dia sungguh tidak berminat untuk kumpul-kumpul
dan mencari distraksi dari rasa sakit hatinya.Sudah kapok!
Buktinya, ketika dia menuruti kegilaannya, dia berakhir dengan tidur bersama orang asing. Sungguh memalukan. Sebuah kenangan yang ingin segera Giselle enyahkan dari memorinya.
Giselle menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis menyiratkan penyesalan.
"Duh, maaf ya Rindi. Masih banyak kerjaan nih! Nggak bisa ditinggal pula!" tolak Giselle dengan halus.
Dia mengibaskan lembaran kertas yang saat ini dipegangnya. Belum lagi jika Rindi jeli memperhatikan, ada beberapa tumpukan folder di meja luas milik Giselle yang berbentuk Letter L untuk mengakomodasi satu All in One PC dan satu Macbook keluaran terbaru untuk menunjang aktivitas kerjanya.
"Have fun ya di sana. Pasti gue juga bakal ngerasain vibes-nya kok kalau kalian update story atau feeds di i*******m kalian," tutur Giselle sekali lagi dengan sopan.
Tapi sungguh, semakin hari dia semakin malas dengan hiruk pikuk dunia malam dan juga cara teman-teman kantornya melepas penat setelah seharian atau semingguan bekerja keras.
Buka table, minum-minum, dansa gila-gilaan di tengah lantai dansa.
Giselle sejujurnya sudah muak, dan karena itu dia semakin sering menolak ajakan teman-teman atau rekan kerjanya kalau sudah menjurus pada kegiatan tersebut. Lebih baik dia mengerjakan pekerjaan atau jika sudah penat, kabur ke Food Hall atau Ranch Market.
Pergi ke supermarket, window shopping melihat sayuran hijau atau buah-buahan beraneka warna. Rasanya lebih menenangkan
dibanding menghabiskan uang untuk mabuk-mabukan."Sayang banget Bu Giselle." Rindi akhirnya harus berpuas diri karena tidak berhasil membujuk salah satu konsultan senior yang cukup terkenal di seantero gedung tempat kantornya bernaung di daerah Pusat Sentra Bisnis Sudirman ini, atau yang dikenal dengan nama SCBD.
"Ya udah deh, Bu. Saya kabari anak-anak yang lain." Rindi beranjak dari ruangan Giselle dan meninggalkannya yang kembali mencoba berfokus pada lembaran kertas dalam genggaman tangannya.
Sebenarnya ada hal lain juga yang membuat dia kini terlihat lebih seperti pekerja gila
yang selalu bekerja ekstra keras tanpa putus.Posisi partner.
Posisi yang vakum dan kosong dalam dua bulan terakhir ini karena ditinggal resign oleh Mas Dirga. Atasan langsungnya itu memilih untuk menetap di Kanada menemani sang istri yang mendapatkan beasiswa penelitian doktoral di sana.
Mas Dirga adalah mentor sejak pertama kali Giselle masuk ke The Converge 4 tahun silam selepas dia lulus kuliah S1.
Di bawah arahan dan bimbingan Mas Dirga, Giselle berhasil naik menjadi posisi konsultan senior dan hanya satu langkah lagi menjadi partner dalam waktu kurang dari lima tahun.
Pak Hasan, senior partner dan juga Co-Founder The Converge ini sebenarnya tidak mempermasalahkan jika Giselle ingin mengikuti bursa pemilihan untuk posisi partner tersebut.
Tapi Pak Hasan sudah mewanti-wanti bahwa posisi ini adalah prerogatif pilihan Pak Hasan. Yang artinya tentu saja posisi ini tidak seratus persen aman diberikan kepada Giselle yang terhitung masih 'bau kencur' dalam industri jasa ini.
Giselle harus bekerja keras untuk membuktikan kepada bosnya bahwa dia layak untuk mendapatkan posisi Partner.
Dan dia akan melakukannya mulai dengan menyelesaikan proyek Sudibyo yang baru saja berhasil dia dapatkan dan sukses untuk menutup kesepakatan kerja sama konsultasi sekitar dua minggu lalu setelah melalui proses negosiasi yang cukup alot dan juga melelahkan bagi Giselle.
Si perempuan karir ibu kota yang selalu dianggap sebelah mata oleh para pria yang mendominasi industri ini. Dia berhasil sekali lagi membuktikan bahwa dia mumpuni dan mampu bersaing dengan para pria yang hanya menganggapnya sebagai objek seksual.
Atau yang lebih parahnya, menyamakan dirinya dengan stereotype seksis seperti ikon Barbie.
Si cantik tapi tidak ada otak.
Setelah Rindi menginterupsi ke dalam ruangannya, Giselle menjadi sulit untuk mengumpulkan niat dan konsentrasi untuk kembali mempelajari dokumen tebal proyek terbaru.
Gadis itu akhirnya menghela nafas panjangnya.
Kenapa akhir-akhir ini hidupnya begitu membosankan dan hampa? Apa karena dia merasa kesepian?
Apakah dia perlu mencari pacar lagi?
Karena semakin lama semakin sering bayang-bayang samar pria tampan yang dulu pernah menjalani malam bersamanya mengusik batin dan pikirannya.
Jika dia tidak mengalihkan pikiran tersebut lewat pekerjaan, terkadang sekelebat memori tentang satu malam panas di Hotel The Royal Ruby mampir ke dalam pikirannya tanpa diundang.
Tapi buru-buru dia tepis pikiran itu.
“Duh, fokus Giselle! Jangan pikirkan orang itu lagi! Apalagi scarf kesayanganku juga diambil orang itu!” gumam Giselle kesal jika mengingat ada yang hilang dari dirinya setelah kejadian tiga bulan lalu.
Ya, yang hilang bukan hanya scarf hadiah kesayangan dari neneknya, tapi juga akal sehatnya!
Akira Hangga Aryanto memulai Senin pagi kali ini dengan semangat baru. Ini adalah hari pertamanya pindah ke perusahaan konsultasi baru. The Converge. Perusahaan jasa konsultasi dalam negeri yang bersaing secara skala besar dengan perusahaan top 4 konsultan dari luar negeri yang memiliki kantor di Indonesia. Akira Hangga Aryanto, pria lajang berumur 29 tahun dengan darah campuran Jepang dari Ibunya – Miyaki Honda, dan setengah lagi dari ayahnya yang berasal dari desa kecil di Jawa Tengah. Secara penampilan, dia adalah tipikal eksekutif muda yang banyak bertebaran di Jakarta. Mengais rezeki dan meniti karir di berbagai lini bisnis yang ditawarkan oleh Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Citra Akira sebagai eksekutif muda dengan gaji tinggi terukir jelas dari cara berpakaiannya yang biasanya selalu dilengkapi dengan kemeja, dasi sutra dan terkadang memakai jas hitam jika ada acara-acara formal, saat bertemu klien atau petinggi pemerintahan. Jika dia pulang bekerja atau berada di waktu lib
“Uh… se … selamat pagi, uh …” Salah seorang resepsionis yang tergagap ketika melihat Akira datang ke dalam kantor membuat dirinya menahan senyum. Dia beberapa kali mengalami kejadian seperti ini, tapi tetap saja dia selalu tidak terbiasa! “Halo selamat pagi! Saya Akira, ini hari pertama saya di sini. Saya ingin bertemu dengan Pak Hasan …” ucap Akira sambil melempar senyum dan dibalas dengan raut wajah memerah dari sang resepsionis. Setelah memberitahukan namanya dan menyatakan tujuannya untuk bertemu dengan Pak Hasan, dia dibawa ke ruangan pribadi Senior Partner. “Akira! Akhirnya! Selamat datang di The Converge. Senang sekali kamu akhirnya bergabung dalam tim kami.” Pak Hasan yang tadinya sedang duduk sambil membaca sebuah berkas mendadak berdiri dan menyambutnya dengan hangat. “Ayo duduk dulu, kita bisa berbincang sebentar sebelum saya mengenalkan kamu dengan rekan-rekan kerja di sini,” ujar Pak Hasan dengan sumringah. Akira tersenyum dan sukses membuat lesung pipinya tercetak
Pernahkah kalian dilanda kekagetan luar biasa sampai-sampai merasakan sensasi otak membeku, lidah yang menjadi kelu, dan tidak bisa merespon seluruh sensori yang berjalan di setiap momen waktu?Giselle merasakannya sekarang. Dia tadi keluar ruangannya karena dia ingin pergi ke pantry untuk mengisi ulang chamomile tea miliknya yang mulai mendingin karena suhu AC pagi ini yang begitu brutal menurutnya. “Ah, Giselle. Perkenalkan, ini Akira. Mulai hari ini dia akan menjadi bagian dari keluarga besar The Converge sebagai Partner. Dia menggantikan posisi Mas Dirga mulai saat ini.”Suara riang Pak Hasan rasanya bak petir yang menyambar di siang bolong. Ada dua hal besar yang menjadi titik perhatian Giselle seketika dia mendengar berita mengejutkan ini. Pertama, mengenai posisi yang Giselle idam-idamkan.Dan yang kedua, mengenai pria asing namun familiar yang berdiri di hadapannya; Giselle memprediksi bahwa dia sama kagetnya seperti dirinya sekarang. Giselle menggelengkan kepalanya sekal
“Selamat pagi Giselle,” ujar Akira yang disambut dengan delik kesal dari pemilik bulu mata lentik si empunya nama. “Saya sedang tidak ingin berbasa-basi, Akira … ” jawab Giselle memutar bola matanya. Akira bersedekap dan menunggu lanjutan kalimat Giselle yang memang terdengar begitu hostil dan tidak bersahabat. “Kamu tahu itu posisi yang saya incar sejak Mas Dirga resign!” seru gadis itu. Rasa kesalnya tidak dia coba tutupi, dan justru diperjelas dengan dentaman tumbler stainless steel-nya yang beradu dengan meja kerjanya yang kental dengan desain khas Skandinavia lewat potongan bersih dan fungsionalnya. “Tentu saja saya nggak tahu soal itu,” kilah Akira. “Saya rasa itu urusan internal antara kamu dan Pak Hasan yang seharusnya kamu selesaikan internal dengan beliau, bukan gontok-gontokan begini sama saya,” tandas Akira. Giselle tahu itu. Tapi tetap saja dia merasa kesal serta kecewa. Satu orang yang bisa dia jadikan sebagai pelampiasan ya orang yang berada di depannya ini. Berd
Akira mencoba menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali sukses singgah dalam mimpi-mimpi indahnya di malam hari selama tiga bulan terakhir ini. “Siapa bilang aku kikuk! Mungkin dirimu saja yang terlalu kegeeran!” jawab Giselle sambil bersungut-sungut. Dia akhirnya duduk di sofa tunggal dan menghadap Akira yang sudah duduk dengan nyaman. “Kamu … ” ucap Giselle di waktu yang bersamaan ketika Akira berkata, “Giselle …”Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum Akira akhirnya memecah suasana. “Silakan kamu duluan, ingin bicara apa?” tanya Akira seraya melemparkan senyum sopannya. Giselle mengerutkan keningnya, pertanda jika dia masih belum bisa mempercayai Akira seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gestur tubuhnya. Gadis cantik itu akhirnya menghela nafas panjangnya. “Sebelum kita bicara lebih lanjut, saya cuma ingin menekankan, anggap saja malam itu tidak pernah terjadi.” ungkap Giselle dengan tegas. Kali ini giliran Akira yang mengerutka
Meminta maaf adalah satu hal yang cukup menyulitkan bagi ego Giselle. Dia tidak terbiasa untuk meminta maaf, karena apa yang dia lakukan dia rasa tak pernah salah. Dia melakukan berbagai macam hal penuh tekad dan perhitungan. Tujuannya untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang bisa saja berdampak pada orang lain, yang mengakibatkan dia harus meminta maaf sebagai bentuk tanggung jawab. Dan mengutarakan permintaan maaf kepada Akira membuatnya harus menekan egonya dalam-dalam. Dia tahu apa yang dia lakukan malam itu adalah sebuah kesalahan. Dan kini dia dikonfrontasi oleh Akira sendiri, hingga dia harus mengakui kesalahannya dan perbuatannya yang jelas membuat orang sakit hati. Akira pun sepertinya kaget dengan pernyataan maaf yang barusan Giselle ucapkan dengan terbata-bata. Dia menaikkan alis kanannya yang terlihat tebal membingkai tatapan tajamnya. “Apa yang kulakukan waktu itu tindakan pengecut,” ujar Giselle pelan. “Dan aku minta maaf untuk itu, okay?” dia menekankan sekali
“Ah, halo selamat pagi Pak Darius! Bagaimana kabarnya Pak?” ujar Akira saat menerima sambungan telepon. Sorry … Akira merapalkan kata tersebut kepada Giselle, dan menunjuk ponselnya yang menginterupsi percakapan mereka. Giselle hanya bisa menghela nafasnya seraya memijat keningnya. “Ah iya benar, saya resign dari kantor sebelumnya nih, Pak Darius. Sekarang saya di The Converge sebagai partner. Ini hari pertama saya lho Pak,” Akira tertawa membalas ucapan lawan bicaranya. “Oh … boleh Pak, nanti saya atur waktu dengan PA Pak Darius agar bisa menjadwalkan meeting dengan Anda, Pak.” Setelah berbasa-basi sebentar, Akira menutup sambungan ponselnya dan akhirnya menaruh kembali ponsel miliknya di atas meja kaca ruang Giselle. “Okay, kita bisa lanjutkan lagi,” ujar Akira. Tapi sepertinya Giselle sudah malas berdebat dengannya dan menyadari jika sejak pagi tadi, mereka berdua menghabiskan energi untuk berdebat hal-hal yang sebenarnya tidak penting, tapi tetap menguras energi dan emosi
GISELLEGiselle langsung kabur begitu dia mendengar denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai 20 tempat restoran Jepang kesukaannya berada. Pertanyaan singkat yang Akira lontarkan sebenarnya membuat Giselle kelabakan. Kenapa dia membenci Akira?Sebenarnya kata membenci terlalu kuat untuk menjelaskan emosi yang Giselle rasakan jika dia berhadapan dengan Akira. Dia tidak membencinya, hanya saja dia merasa perasaannya menjadi campur aduk ketika bertemu partner ons yang ternyata kini menjadi bos barunya, terlebih lagi mengambil posisi yang sudah Giselle incar untuk kenaikan jenjang karirnya. “Bu Giselle, berarti nanti kerja bareng Pak Akira dong ya?” Rindi bertanya kepada Giselle di sela-sela waktu mereka menunggu untuk mendapatkan ruang khusus di restoran ini yang mengakomodir rombongan The Converge yang mencapai sekitar sepuluh orang. Giselle hanya tersenyum rikuh. Ya memang dia akan bekerja bersama lelaki itu. Dan itu pula sumber bad moodnya sejak tadi pagi. “Kok bis