“Aki, bagaimana sekolah dan baletmu?” tanya Akira setelah selesai menyantap makan malamnya. Kini dia berpindah dan mengambil satu bagian cheesecake dan mulai mencicipinya. Memang cheesecake dari Dore adalah salah satu kek kesukaan mereka. Setelah kek dari toko kue Chateraise yang biasa dibeli Akira ketika masih tinggal di Tokyo. Untung saja di sini sudah ada cabangnya, sehingga dia bisa menuntaskan sweet tooth-nya jika Akira dan keluarga sedang mengidam-idamkan kek yang asli diimpor dari Jepang tersebut. Aki – nama panggilan Akina yang biasa dia gunakan untuk menyebut adik perempuannya itu – mengedikkan bahunya. “Ya begitu saja, nggak ada yang cukup menarik di sekolah. Terkadang aku bosan pergi ke sekolah,” ujar Aki dengan sedikit malas. “Tapi kalau soal balet, minggu depan aku sudah siap untuk resital baletku! Aku berharap ini bisa menambah portfolioku untuk seleksi di Juilliard Dance School kelak,” ujar Aki dengan menggebu-gebu. Jika berbicara tentang balet, wajah Aki langsung b
GISELLE “Papi, kita besok ke Singapura bisa nggak ya?” suara Elina, ibu tiri Giselle terdengar nyaring dan begitu melengking bagi Giselle. Elina yang merupakan istri ketiga ayah duduk di samping ayahnya yang berada di ujung meja. Sedangkan Giselle duduk di sisi terluar meja makan. Di sampingnya ada kakak tirinya dari istri pertama ayah, Kak Damar. Setiap satu bulan sekali, Giselle harus kembali ke rumah utama dan menjalani rutinitas membosankan ini, makan malam bersama keluarga. Tapi sayangnya, keluarga Natapradja bukanlah keluarga harmonis seperti potret sinetron terkenal Keluarga Cemara. Keluarga Natapradja adalah potret keluarga disfungsional yang membuat setiap anggota keluarga mengeluarkan sisi terburuk mereka saat bertemu dan saling sapa. Elina, istri ketiga ayah berumur 30 tahun. Hanya berbeda empat tahun dari Giselle. Elina dahulu adalah sekretaris pribadi ayah. Mereka berdua berselingkuh dari mama kandung Giselle yang merupakan istri kedua Anton Natapradja – ayah Gi
“Ayah!” teriak Giselle.“Ayah tahu kamu sudah putus dengan mantanmu itu, siapa namanya? Tristan?” Ayah membalikkan tubuhnya dan kembali menghadap Giselle yang melongo mendengar ucapan ayahnya tadi.“Bukan itu masalahnya! Tapi kenapa Ayah tiba-tiba bicara seperti itu? Jangan bilang Ayah berencana untuk menjodohkan aku?” tembak Giselle dengan nada yang keras.“Aku tidak setuju!” Giselle menggelengkan kepalanya.Dia meraih tas Chanel klasik berwarna hitam dan berjalan mendekati ayahnya.Model tasnya jelas saja sudah ketinggalan zaman dibanding milik teman-teman perempuannya, karena dia membelinya tiga tahun lalu saat dia berkunjung ke Amsterdam dalam r
AKIRAHari Minggu sore ini dia baru saja selesai berlatih Aikido bersama adiknya, Akito. Tubuhnya masih mengenakan Aikido Gi atau seragam Aikido berwarna putih dengan hakama, atau celana lebar berwarna hitam. Jika dilihat-lihat, penampilannya dan adiknya kini persis seperti tokoh-tokoh di manga yang sedang sibuk berlatih bela diri. Sudah beberapa kali dia kena banting ketika berlatih bersama adiknya ini. Tapi tentu saja karena dia sudah lama berlatih Aikido dia bisa melakukannya tanpa membuat tubuhnya cedera. “Akito, kulihat kamu semakin mahir dalam aikido, pasti semakin sering latihan, ya?” tanya Akira disela-sela nafasnya yang memburu. Seni bela diri Aikido memang terlihat tidak seagresif bela diri dari Jepang lainnya, namun Akira senang berlatih karena begitu besar membantunya meregulasi emosi dan juga egonya. Mengedepankan cara nonkekerasan untuk menurunkan eskalasi masalah. “Hmm … tidak sesering dulu waktu SMA, Mas Akira. Tapi terkadang aku selingi dengan judo, jadi mungkin
GISELLEGiselle bangun pagi ini dengan kepala yang lebih ringan dibanding saat dia tidur cepat tadi malam karena serangan migrain.Kini jam sembilan pagi, dia telah selesai melakukan pilates, mandi, dan juga menyiapkan sarapan dengan yogurt dan smoothies.Rencananya hari ini dia mau pergi ke Foodhall atau mungkin supermarket khas produk Jepang bernama Papaya untuk mengisi kembali isi kulkasnya. Kegiatan tersebut juga pasti bisa meningkatkan moodnya yang anjlok setelah pertemuan kemarin bersama ayahnya, dan dilanjut dengan perdebatan di telepon bersama mamanya semalam.Supermarket akan buka jam sepuluh pagi. Sambil menunggu waktu, Giselle memutuskan untuk menyalakan netflix dan mencoba mencari tontonan yang bisa dilihat seraya
GISELLEGiselle paham benar jika mamanya tidak menyetujui pakaian yang dia kenakan saat ini.Kemeja putih oversize yang Giselle gulung hingga ke siku, ditambah dengan celana fitted jeans berwarna biru tua, serta sepatu selop sederhana berwarna pastel nude dengan tinggi 5 cm menemaninya kali ini.Wajahnya tidak dipulas make up berlebihan. Hanya merapikan alis, memakai sunscreen dan tinted moisturizer, lalu memakai lipstik yang senada dengan warna bibirnya. Tak ada riasan smokey eyes, atau
Giselle membalas jabat tangan ketiga orang asing yang berdiri di ruang privat restoran ini. Tersenyum dan tertawa penuh kepalsuan. “Jeng Mira … ternyata benar Giselle sangat ayu, sayang sekali saya baru kenal Giselle sekarang,” Nyonya Rahayu menyambut pelukan Giselle dengan hangat diiringi senyum lebar setelah mereka melakukan cipika cipiki ala perempuan ibu kota. “Iya, dia sibuk sekali bekerja Jeng … sulit sekali kalau diajak kumpul-kumpul bersama saya kalau ada acara arisan atau acara sosial begitu,” ujar mama memberikan alasan mengapa Giselle tidak eksis di dunia sosialita Jakarta seperti mamanya. Jika bicara alasan sesungguhnya, tentu saja karena Giselle tidak berminat terjun di dunia tersebut. Tapi kini … karena Akira sudah mengantongi satu nama konglomerat yang akan berpotensi menjadi klien terbesar The Converge, maka Giselle harus menaikkan standar permainannya dan mulai berkiprah dalam dunia penuh gemerlap ini. “Iya Tante, maaf … saya sibuk banget sama kerjaan akhir-akhir
“Gue langsung saja ya ngomong ke inti pembicaraan, nggak perlu basa-basi lagi,” ujar Kelana ketika mereka tiba di lobi depan hotel The Royal Ruby Senayan ini. Giselle berjalan di belakang pemuda itu, dan hanya mengedikkan bahunya santai. Menunggu pria di hadapannya ini melanjutkan pembicaraan. “Gue nggak minat dengan perjodohan atau apa pun ini,” tukas Kelana seraya menghisap rokok mild yang dipantik barusan. Giselle menaikkan sebelah alisnya mendengar penuturan Kelana tadi. Tangannya bersedekap, seakan secara refleks melindungi diri dan hatinya dari pria asing konglomerat yang hari ini berpakaian kasual. Hanya polo shirt hitam dan celana jeans serta sneakers seharga ribuan dolar. Tidak terlalu flashy memamerkan kekayaan, namun Giselle yakin harga jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan pria itu setara dengan harga satu apartemen di pusat kota Jakarta. “Kamu berasumsi kalau saya tertarik dengan semua ini? Dan yang paling penting, kamu pikir saya tertarik sama kamu, gitu?”