Ikatan batin yang kuat antara seorang ayah dan anak seakan tak dapat dipisahkan. Ia merasa gelisah sejak jauh dari Rio. Pikirannya selalu berputar-putar pada anak itu.“Apa yang terjadi dengannya, di sana? Mengapa hatiku menjadi tidak tenang begini?” batinnya.Untuk memastikan yang lebih jelasnya ia akan datang lagi untuk menemui anak itu, esok hari. Tak peduli apakah mereka akan bertengkar lagi, karena Lisa yang mulai mencurigai tindak tanduknya yang aneh.Sudah sepuluh tahun ia berpisah dengan sang anak. Ia tak ingin hal ini terjadi lagi.**Setelah tiga hari di rumah …“Kamu mau pergi lagi, Mas?” Alis Lisa mengusut tatkala melihat sang suami kembali menyusun pakaian ke dalam koper hitam miliknya.“Iya, masih ada urusan di sana!” pungkasnya, lalu langsung menghilang dari ruangan itu. Berjalan menuju mobilnya dan … tancap gas.Lisa berdecak kesal, lagi-lagi suaminya pergi meninggalkannya untuk urusan yang sama sekali tidak jelas.Di sisi lain, Rio masih berada di tempat tidur. Su
“Om, Rio boleh minta sesuatu nggak?” lirihnya seraya menggenggam pergelangan tangan pria berbadan sedikit berisi itu.“Mau minta apa, Sayang. Kalau Om mampu, maka Om akan turutin.” sahutnya yang membelai rambut anak itu. Begitu indah yang ia rasakan. Saat menyentuh sang anak hatinya menjadi bergetar.“Rio pengen jalan-jalan sama Om, dan juga mama.” pintanya, kini kedua tangannya memegang tangan kedua orang tuanya, di kiri dan kanannya.“Tapi, Mama belum ada waktu libur, Rio!”Mendengar kata penolakan itu yang keluar dari mulut ibu kandungnya membuatnya emosi dan menghempaskan tangan wanita itu.“Mama memang selalu sibuk sama pekerjaan! Mama nggak pernah punya waktu buat aku!” sergahnya, kemudian dia berlari entah kemana.“Rio … tunggu Nak!” Pras berusaha mengejar, mengikuti setiap jejak langkah kaki anak itu.Betapa sedih hatinya. Bahkan di saat sedang sakit seperti ini pun wanita itu masih tidak mau meluangkan waktu untuknya. Anak mana yang tidak akan merasa kecewa jika berada di pos
“Kenapa diam Om? Tolong jawab pertanyaan Rio tadi?” Rio merengek setengah memaksa. Ia ingin sebuah penjelasan yang sebenarnya.“Bukan apa-apa kok, Sayang, Om Pras tadi hanya salah sebut.” ucap Nara menyela diantara percakapan mereka.“Nggak! Aku mau dengar dari Om Pras sendiri.” Rio menolak alasan ibunya, ia yakin pria itu tak mungkin berkata sembarangan. Dia pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu yang menyebut dirinya sebagai ‘ayah’.“M-jadi begini, Rio, sebenarnya-”“Kamu jangan percaya ucapan laki-laki ini, Nak. Dia orang jahat.” potong Nara di saat Pras sedang berbicara untuk menjelaskan segalanya.“Stop, Ma! Aku tak ingin mendengarkan apa pun dari mulut Mama. Aku ingin mengetahui yang sebenarnya, Om tolong bicara Om, katakan yang sejujurnya.” Anak itu terus memaksa Pras untuk berterus terang. Seketika pria berusia matang itu pun menghela napasnya dengan berat.“Baiklah, Nak. Kali ini Om akan bicara yang sebenarnya sama Rio. Tapi sebelum itu Om mau tanya dulu, seandainya meman
“Jadi sebenarnya anak saya ini sakit apa, Dok?” tanya Surya pada seorang pria yang baru saja selesai memeriksa.“Hmmm ... begini Pak, menurut pemeriksaan yang telah dilakukan, anak bapak ini sebenarnya tidak sakit, tapi dia ... sedang mengandung,” jelas dokter itu setengah tergagap, karena ia tahu lelaki yang berada di hadapannya itu pasti akan marah besar. Matanya juga sudah terlihat melotot, berwarna merah padam."Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." pamitnya gugup, lalu berjalan menuju pintu keluar.Surya mulai menatap tajam pada wanita yang sedang berbaring tak berdaya itu.Dadanya naik turun mengimbangi napas yang sudah penuh oleh perasaan emosi."Maafin aku, Pa ..." gadis itu beringsut dari ranjang dan terisak me- meluk lutut sang ayah."Aargghh ...!" Surya menarik kakinya dengan kasar, hingga membuat putri satu-satunya itu terjerembab ke lantai."Keluar, sekarang!" sergahnya dengan suara lantang. Matanya membelalak. Jari telunjuknya menunjuk ke arah pintu keluar.Nara menan
“Kita sekarang ke rumah mama ya, biar kujelasin semuanya, tentang keadaan kamu." Nara yang sedang bingung pun pun langsung menyetujui saja saran dari Pras, dan segera naik ke atas motor tua itu.“Tapi aku ragu, Mas ... takut kalau mama kamu marah,” lirihnya menunduk.“Kalau soal itu urusan belakangan yang penting dia tau dulu kalau kamu sedang mengandung anakku. Biar kita segera dinikahkan.” jelasnya lagi untuk menenangkan hati sang kekasih.Motor pun melaju kencang membelah jalan raya. Hati Nara merasa sedikit cemas namun sebisa mungkin ia tepis perasaan itu.***Mereka telah sampai di bangunan yang tak terlalu besar dan bisa dikatakan sangat sederhana. Dengan pagar yang terbuat dari bambu, yang mengelilingi rumah pria berambut ikal itu.Tak berapa lama seorang wanita setengah tua keluar dari pintu kayu berwarna coklat muda, lalu menyapa mereka yang sudah turun dari motor.“Kamu mau kemana bawa tas pakaian begini?” tanya Dinta, ibu dari Pras dengan alis yang bertaut. Dia memang s
Pov PrasAh sial, kalau begini sih namanya nambahin beban. Bener kata mama. Bukan ini yang kuinginkan. Yang kuhayalkan dari dulu saat berpacaran dengan Nara, si anak orang kaya biar aku yang pengangguran ini bisa hidup senang.Ini tidak berjalan sesuai dengan rencanaku.Hayalanku waktu itu adalah ... saat Nara hamil, maka aku akan dinikahkan dengannya lalu ayahnya yang pengusaha itu mengajakku untuk meneruskan bisnis yang ia punya, kebetulan Nara kan putri tunggal, pastilah semua itu akan jatuh ke tanganku, suaminya.Tapi nyatanya kok malah begini?Dia justru diusir dari rumah.Arrggghh ... terus dari mana aku akan mendapatkan biaya pernikahan ini?Uangku hanya tersisa lima ratus ribu? Apakah itu cukup?Kepalaku terasa sangat berat bagai menjunjung batu yang sangat besar.Ini benar-benar menyiksa pikiranku.Sedangkan mama sudah lepas tangan dan tidak mau tau atas masalah ini.Pada siapa lagi aku akan meminta bantuan? Barangkali ada yang bersedia meminjamkanku uang,Aduuh ... pusing se
Dua hari kemudian ...Nara tinggal di rumah Pras sebelum pernikahan itu dilangsungkan.Acara yang akan dibuat, sangat sederhana. Hanya mengundang tetangga dekat rumah saja.Seperti biasa, Dinta sedang sibuk mengambilkan barang permintaan para pembeli."Kok pernikahan Pras mendesak sih Bu? Memangnya ada apa?" celetuk salah seorang pembeli di warung itu."Iya malah yang perempuannya udah nginap di sini lagi." Sambung yang lain.Dinta yang mendengar itu tidak menjawab. Ia hanya bisa menarik napas berat. Keluarga mereka saat ini sedang menjadi bahan gosip satu kampung.Andaikan ia mempunyai dua kepala, mungkin ia sudah membuang salah satunya sekarang, anak lelaki yang ia banggakan selama ini, kini telah berhasil melemparkan kotoran tepat ke mukanya."Ibu-Ibu, maaf sebelumnya ya, warung saya ini bukan tempat untuk menggosip, kalau urusan kalian sudah selesai, Ibu-Ibu semuanya boleh pulang!" halaunya dengan menahan emosi yang bergejolak."Ih, gitu aja marah, Bu. Kami kan cuma nanya, jangan
Mereka telah sampai di bibir pagar rumah Surya. Pras sedikit merasa canggung, sebab ia belum pernah bertemu dengan sang calon mertua sebelumnya.Setiap Nara ingin mengenalkannya pada sang ayah, pria itu tak pernah ada di rumah. Ia selalu sibuk mengurus bisnisnya di sana sini. Sehingga tak memiliki waktu luang untuk bertemu.Nara juga segan mengatakannya kalau ia sudah memiliki kekasih, karena ia menduga, Surya tak terlalu ingin tahu tentang dirinya. Mereka hanya bicara sekedarnya ketika bertemu di meja makan. Selebihnya pria itu super sibuk, hingga sangat jarang ada obrolan basa basi diantara mereka.Saat Nara baru saja ingin mulai berbicara tentang kesehariannya, baru sepatah kata sudah terdengar dering ponsel sang ayah, yang menelpon agar ia segera pergi untuk urusan kerjaan.Seketika Nara menghembuskan napas kasar. Itu bukan hanya sekali. Sudah tak terhitung jumlahnya ia ditinggal seperti itu oleh papanya.Saat gadis itu ngambek, pria itu selalu mengatakan bahwa dirinya seperti itu