"Sudah, ya, Mas?"
Nilam memohon kepada Keenan agar berhenti mempermalukan dirinya dengan jalan lenggak lenggok tanpa memakai busana di kamar, Keenan hanya tersenyum sinis sebagai jawaban.
"Aku yang bodoh mengira kamu bisa jadi kayak Jihan!"
Setelah melontarkan kata pedas yang membuat Nilam menelan ludah pahit, Keenan berdiri, mengambil sesuatu di laci meja dekat ranjang dan menyerahkan botol kecil berisi cairan bening kepada Nilam.
"Minum ini!"
Setelah memberi perintah dengan kasar, dia sendiri juga menenggak isi botol kecil itu dalam satu kali tegukan.
"Sekarang, berbaring di sana!"
Nilam yang tidak punya pilihan, hanya bisa patuh dan membaringkan tubuhnya di ranjang sementara Keenan mulai melepas pakaiannya satu persatu.
Keduanya tak menginginkan malam pertama ini, tapi jika hal itu tak dilakukan maka hanya akan merepotkan, dan Keenan benci direpotkan hal sepele seperti itu.
Beberapa saat kemudian, setelah aktivitas yang melelahkan dan berakhir dengan beberapa tetes darah perawan yang membasahi sprei putih kamar pengantin, kegiatan itu pun selesai.
Nilam hanya bisa menangis tersedu-sedu di samping suaminya yang kini tidur mendengkur setelah mereka berhasil malam pertama.
Hati wanita itu terasa diiris-iris saat mengingat bagaimana malam pertama itu terjadi, Keenan dan dia terpaksa minum obat perangsang agar malam pertama berhasil.
Ditambah lagi suaminya tersebut malah terus menyebut nama wanita lain saat mereka sedang bercinta.
"Jihan... Jihan.... "
Itulah nama yang terus keluar dari mulut Keenan, Nilam yang tahu bahwa Jihan adalah nama mantan istrinya yang dulu kabur, hanya bisa menahan sesak sambil terus melayani suaminya.
"Aku ingin kabur, tapi kalo kabur dari ini aku harus ke mana?"
Nilam merintih, mengusap air mata yang meleleh di pipinya.
Teringat ucapan sang kakak saat mengantarkan Nilam ke pernikahannya hari ini.
"Sekarang, keluarga barumu adalah Keenan dan keluarganya. Patuhi mereka tanpa protes, aku sudah bebas tugas dari merawat dan menjamin hidupmu."
Kata-kata kejam kakaknya membuat Nilam hanya bisa menerima kenyataan bahwa dia dijual ke keluarga ini agar sang kakak tak perlu menghidupinya lagi.
Nilam mengira bahwa kehidupan pernikahan yang seperti neraka akan menunggunya.
Namun ternyata perkiraannya salah.
"Makanlah yang banyak, Nak."
Ayah mertua Nilam pagi ini berubah drastis setelah tahu bahwa dia dan Keenan berhasil malam pertama.
Pria setengah baya itu berubah ramah kepada Nilam dan perhatian. Sepertinya dia lega karena musibah yang biasanya menimpa mereka akan hilang.
"Terima kasih, Ayah."
Nilam agak canggung saat membalas ucapan sang mertua, apalagi saat melihat Keenan mendengus jijik padanya.
"Jangan senang hanya karena ayah bersikap baik padamu. Sadarlah gimana posisimu di keluarga ini."
Kata-kata pedas itu dilontarkan Keenan kepada Nilam sebelum dia berangkat bekerja, meski tubuh mereka sudah bersatu tadi malam, Keenan tetap menunjukkan ekspresi tak suka tiap kali menatap wajah Nilam.
Nilam berusaha begitu keras untuk mendapatkan hati mertuanya, meski di dalam kamar Keenan selalu menyakiti hati wanita tak bersalah tersebut.
Dia tetap dengan tulus merawat Keenan sebagai suaminya, merawat ibu mertua yang sakit dan menyelesaikan pekerjaan rumah.
"Nilam menantu yang baik, aku harap Keenan bahagia menikah dengan dia meski tidak secantik Jihan," ucap Ibu mertua Nilam kepada suaminya.
Suatu hari, saat pernikahannya berusia dua bulan, Nilam mendengar kata-kata baik yang membuat hatinya lega.
"Sepertinya aku sudah berhasil mengambil hati orang-orang di sini," gumamnya dengan bahagia.
Memang, semenjak Nilam menjadi istri Keenan, musibah yang menimpa keluarga ini sedikit demi sedikit berkurang.
Beberapa hari lalu Keenan bahkan naik jabatan, itulah kenapa keluarga Keenan semakin menyukai Nilam.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Kamu senyum kayak gitu nggak bikin wajahmu cantik, tapi malah bikin mual tahu!"
Keenan yang baru pulang kerja dan melihat senyum Nilam, malah mengerutkan keningnya dengan jijik.
Meski mereka sudah menikah selama dua bulan, Keenan masih benci kepada Nilam yang menurutnya kampungan.
Mereka tak pernah bercinta lagi setelah malam pertama yang menyedihkan itu.
Keenan masih tak habis pikir kenapa orang-orang rumahnya menyukai Nilam, meski dia pandai bersih-bersih dan masakannya enak, tetap saja wajahnya itu, sangat tidak sebanding dengan Jihan!
Jihan wanita modis dan terlihat sangat terpelajar, hal itu yang membuat Keenan tak bisa melupakan perasaannya meski mereka sudah bercerai.
"Haaah, kenapa aku harus menikah dengan wanita seperti kamu, sih? Melihatmu saja aku nggak selera sama sekali. Apakah aku sudah bilang kalau aku jijik sama kamu yang bibirnya hitam nggak terawat?"
Nilam hanya menundukkan kepala mendengar ejekan Keenan, hal itu membuat Keenan semakin kesal sehingga dia melemparkan bantal ke wajah Nilam dan berjalan keluar kamar.
Begitulah kehidupan pernikahan Nilam selama satu bulan ini, di mana jika dia berada di dalam kamar, Keenan akan buru-buru keluar dengan pandangan jijik yang membuat hati Nilam sakit.
Nilam tak pernah protes meski diperlakukan begitu jahat oleh suaminya sendiri, di dalam hati dia yakin jika suatu saat sikap suaminya ini akan berubah.
"Keenan, kalian kan sudah dua bulan menikah, gimana kalo kamu ajak Nilam sekali-kali keluar jalan-jalan?"
Suatu pagi, ayah Keenan tiba-tiba menyarankan Keenan untuk membawa Nilam jalan-jalan.
Mereka hanya sarapan bertiga karena ibu Keenan kini tinggal bersama kakak Keenan yang baru saja melahirkan.
"Bukannya kamu baru saja naik jabatan? Hal kayak gitu perlu dirayakan pasangan suami istri, kan? Kasihan Nilam belum pernah keluar semenjak nikah sama kamu, Ken."
Keenan yang sedang mengunyah capjay seketika terbatuk-batuk mendengar perintah ayahnya.
"A-apa, Yah? Kenapa aku harus keluar dengan wanita kampung ini? Aku malu, Yah! Gimana kalo teman-teman kantorku lihat? Mau ditaruh di mana mukaku?"
Keenan langsung menolak tawaran ayahnya sambil memelototi Nilam, menuduh jika wanita itulah yang menyuruh ayahnya memberi perintah menyebalkan seperti itu.
Tidak mau disalahpahami oleh Keenan, Nilam buru-buru menggeleng dan menolak usul ayah mertuanya.
"N-nggak usah, Yah. Aku nggak begitu suka jalan-jalan, kok. Mas Keenan juga pasti sudah capek kerja," kilahnya.
Namun, ayah Keenan yang sepertinya tahu sikap dingin Keenan kepada istrinya, segera menggeleng dengan tegas.
"Nggak, Nilam. Suamimu itu sepertinya terlalu sibuk bekerja, jadi aku sudah memutuskan bahwa Keenan harus membawamu jalan-jalan nanti sepulang dia kerja. Kamu dengar ini, Keenan?"
Keenan yang mendapat pelototan ayahnya, membanting sendok ke piring sebagai protes.
"Terserah! Lakukan saja apa mau ayah!"
Setelah mengatakan hal itu, dia berjalan cepat meninggalkan meja makan dan keluar menuju mobilnya.
Ayah Keenan hanya menggelengkan kepala dan menatap Nilam dengan ekspresi lembut.
"Nggak usah dipikirkan, ya, Nak. Keenan memang sedikit kasar tapi sebenarnya dia baik. Aku akan memastikan malam ini kalian makan berdua di luar dengan tenang dan lancar."
Nilam hanya tersenyum tipis mendengar hiburan ayah mertuanya tersebut, meski tak yakin jika makan malamnya nanti benar-benar akan menyenangkan.
"Jangan pikir aku ngajak kamu makan di luar karena suka sama kamu, aku hanya mematuk perintah ayah!"
Keenan menyemburkan kata-kata itu begitu Nilam masuk mobilnya.
Nilam hanya mengangguk dan duduk di samping kemudi tanpa suara.
Diam-diam dia melirik wajahnya di spion, menghela napas panjang.
Sepertinya Keenan benar, dia tak pantas bersanding dengan pria tampan dengan gaya perlente tersebut. Tapi mau bagaimana, dia juga tak punya tempat kembali.
"Jangan banyak bicara, cepat selesaikan makan dan pulang. Aku capek!" gerutu Keenan begitu mereka duduk berhadapan di restoran yang dipesan ayahnya.
Nilam mengangguk dan bertekad menyelesaikan makan malam ini dengan cepat.
Keenan terlihat sangat malu membawa Nilam keluar ke tempat ini, dia terus menggoyangkan kakinya dengan tak sabar dan menyiksa Nilam dengan tatapan penuh permusuhan.
Nilam bahkan sampai tak sanggup menelan makanan di depannya, sementara Keenan bahkan tak menyentuh makanan miliknya sedikit pun.
Makan malam tersebut kacau, Nilam benar-benar ingin segera bebas dari siksaan ini dan pulang, sampai ketika sebuah suara halus menyapa mereka.
"Mas Keenan?"
Baik Nilam dan Keenan langsung mendongak ke arah wanita yang kini berdiri di dekat meja mereka.
Sosok dengan tinggi langsing dan kulit putih seperti susu dengan rambut panjang terawat dan wajah yang begitu cantik seperti boneka, tersenyum lebar kepada Keenan yang langsung membeku.
"J-Jihan?"
Saat nama itu keluar dari mulut suaminya, Nilam yang terpana dengan kecantikan perempuan yang kini dengan anggun duduk di antara mereka, merasakan jantungnya berdenyut sakit.
Jadi... secantik ini wanita yang menjadi mantan istri dan kekasih suaminya? .
Kini Nilam langsung tahu alasan Keenan jijik pada dirinya.
Setahun kemudian...Kota Jakarta tetap sibuk. Gedung-gedung baru menjulang, bisnis-bisnis silih berganti, dan waktu berjalan seperti biasa. Tapi ada satu sudut kota—di sebuah lantai atas gedung kecil lima lantai, dengan logo sederhana bertuliskan RE:VIVE—yang menyimpan cerita tak biasa.Gallen membuka pintu kantor pagi itu, mengenakan hoodie dan celana jeans biasa. Ia bukan lagi direktur gelap, bukan kaki tangan mafia korporat, bukan bayangan dari masa lalu siapa pun. Ia hanya pria yang memulai ulang hidupnya... pelan-pelan.“Pagi, Bos Gallen,” sapa seorang staf muda yang lewat.“Udah berapa kali kubilang, jangan panggil aku bos,” sahut Gallen sambil menyeruput kopi instan.Staf itu hanya tertawa dan pergi.Gallen masuk ke ruangan kecilnya yang lebih mirip studio kerja dibanding kantor. Di dinding, beberapa blueprint dan peta bisnis digital terpampang. Di meja, ada dua laptop terbuka, dan di tengah ruangan, duduk Nilam... dengan rambut diikat tinggi dan ekspresi kusut.“Kamu nggak tid
Tiga hari setelah insiden di rooftop, Jakarta kembali terlihat normal dari luar. Tapi di balik keheningan itu, gelombang baru mulai bergerak. Berkas-berkas kejahatan Jason sudah diproses. Media mulai mengendus skandal besar Mahendra Corp, dan nama Nilam—yang dulunya hanya bayangan—kini muncul di berbagai artikel utama sebagai “pemegang kunci kebangkitan.”Namun, di ruang rawat rumah sakit tempat Gallen terbaring, suasana jauh dari sorotan. Tidak ada wartawan. Tidak ada keramaian. Hanya sunyi... dan rasa lelah yang belum tuntas.“Udah kubilang, aku nggak perlu dirawat inap,” gerutu Gallen pelan, meski bahunya masih diperban.“Kamu pingsan dua kali sejak kemarin. Dan kamu pikir kamu bisa pulang?” sahut Nilam ketus dari kursi sebelah tempat tidur.Gallen tersenyum. “Kamu marah ya?”“Bukan marah. Kesel.”“Beda tipis,” Gallen tertawa kecil. “Tapi tetap aja, kamu di sini.”Nilam melipat tangan di dada. “Karena aku belum selesai sama kamu.”Gallen menatapnya lekat. “Kalau soal masa lalu... k
Sirene digital berdengung dari layar laptop, diikuti deretan kode merah yang berkedip di monitor utama Mahendra Corp. Di ruang pusat keamanan, staf mulai panik.“Semua sistem diretas!”“Ini bukan sekadar pembobolan. Ini… pembekuan otoritas!”Keenan berdiri di balkon ruang VIP gedung utama, sedang bersiap untuk konferensi pers merger.Salah satu asistennya datang tergesa. “Pak! Ada gangguan besar di server pusat. Saham Anda—dibekukan.”“Apa?!” Keenan menoleh tajam.“Asal pembekuan... dari akun lama. Atas nama Nilam Anggraini.”“Dia?” Keenan mencengkeram pagar besi balkon.**Di tempat lain, Jason menatap monitor dengan wajah gelap.“Dia menekan tombol itu,” desisnya. “Gallen benar-benar sudah berubah haluan.”Elisa menelan ludah. “Apa kita langsung serang balik?”Jason mengambil jasnya, berdiri, lalu meraih pistol kecil dari laci. “Tidak. Kita datangi langsung.”**Di rooftop, Gallen dan Nilam masih duduk menatap layar laptop. Notifikasi masuk satu demi satu. Data pengalihan saham berh
Langit Jakarta tampak mendung siang itu, seolah ikut menyerap kekacauan dalam hati Nilam. Ia berdiri di pelataran parkir Mahendra Corp, menarik napas panjang sambil menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari Gallen. Tidak juga dari Keenan. Semuanya hening… setelah ledakan emosi barusan. “Kalau kamu benar-benar tulus… buktikan.” Kata-katanya sendiri terus menggema di kepala. Tapi sekarang, ia justru bertanya dalam hati—siapa yang akan benar-benar membuktikan sesuatu? Atau tidak ada satu pun dari mereka yang bisa dipercaya? Brak! Pintu mobil terbuka kasar dari sisi kanan. Nilam menoleh cepat, waspada. “Naik,” kata suara yang sangat ia kenal. Gallen. “Terlalu banyak mata kalau kita ngobrol di sini.” “Aku nggak mau ikut kamu.” Gallen tidak menjawab. Hanya menatapnya—dan untuk pertama kalinya, tatapan itu tidak penuh kemarahan atau dominasi. Melainkan... kesedihan. “Kamu bener. Aku salah karena nutupin semuanya. Tapi aku di sini bukan buat bela diri. Aku di sini buat nganter ka
Ruang kerja Keenan Mahendra tidak berubah sejak terakhir Nilam datang ke sini. Meja kaca besar, sofa abu di sudut, dan aroma kayu cendana yang dulu selalu membuatnya nyaman—kini malah menyesakkan.“Miss Nilam,” suara asisten Keenan terdengar lembut. “Silakan masuk. Beliau sedang menunggu.”Menunggu?Nilam melangkah pelan, dan begitu pintu terbuka, pria itu berdiri dari kursinya.Keenan.Dengan setelan jas hitam dan ekspresi yang tak bisa ditebak. Tatapannya langsung menelusuri wajah Nilam seolah ingin memastikan wanita di depannya bukan ilusi.“Kamu datang,” katanya pelan.Nilam mengangguk. “Kita perlu bicara.”Keenan menyilakan duduk, tapi tak satupun dari mereka menyentuh kursi.“Langsung saja,” ucap Nilam, suaranya lebih tenang dari hatinya. “Kamu lagi selidiki sesuatu... soal Gallen?”Keenan menyipitkan mata. “Jadi kamu udah tahu.”Nilam tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup sebagai konfirmasi.Keenan menarik napas berat. “Aku dapat laporan dia berhubungan dengan seseorang yang j
Pintu penthouse tertutup rapat. Tapi di dalam sana, dada Nilam masih bergemuruh tak karuan.Jason.Nama itu seperti hantu dari masa lalu, atau mungkin... awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.Ponsel Gallen masih di meja. Layar sudah gelap, tapi isi pesannya tadi seperti terus berputar di kepala Nilam."Keenan mulai curiga...""Semua masih sesuai rencana...""Instruksi selanjutnya..."Tangannya terulur, hampir menyentuh ponsel itu lagi. Tapi detik berikutnya ia menariknya kembali."Apa aku... cuma pion?" bisiknya nyaris tanpa suara.Seketika, suara ketukan di pintu menggema.“Miss Nilam? Saya dari layanan kamar, membawakan sarapan,” ucap seorang wanita dari luar.Nilam buru-buru bangkit, menyembunyikan keresahan di balik senyum palsu. “Ya, silakan taruh di meja.”Pelayan itu masuk, meletakkan nampan makanan dan dua cangkir kopi hangat. “Tuan Gallen minta agar Anda menikmati sarapannya di dalam kamar.”Nilam mengangguk singkat. “Terima kasih.”Begitu pin