"Kamu nggak nyuruh aku duduk, Mas? Apa karena udah nikah terus sekarang kamu gini?"
Jihan bertanya dengan wajah yang masih tersenyum manis sehingga menambah kecantikannya, tapi tatapan mata lentiknya menyorot Nilam dengan tajam.
"Oh? Ah! Silakan duduk, Han. Nilam, geser."
Keenan dengan kejam menyuruh istrinya Nilam untuk pindah tempat duduk, sehingga kursi yang menghadap Keenan, yang tadi ditempati Nilam, kini diduduki Jihan.
"Mas Keenan nggak usah repot repot kayak gini, aku jadi malu. Gimana kalo istri baru mas Keenan nanti ngiranya mas Keenan masih suka aku?"
Jihan bertanya dengan tatapan menggoda ke arah Keenan, yang membuat pria itu menjadi tergagap-gagap, mengabaikan Nilam sama sekali.
"Mas.... "
Nilam membuka suara, mencoba mengatakan bahwa dia tak nyaman di sini dengan kedatangan Jihan, tapi Keenan malah melotot ke arahnya.
"Habiskan makanan kamu dan jangan banyak protes. Aku sedang sibuk bicara sama Jihan!"
Mendengar Nilam dimarahi suaminya, Jihan tersenyum lebar dengan tatapan sinis kepada Nilam. Membuat Nilam menbelalakkan matanya dengan kaget.
Ekspresi sinis milik Jihan itu serta merta menghilang begitu dia menatap Keenan, wajah cantiknya berubah menjadi manis, manja dan menggemaskan.
"Mas, aku kangen lho sama kamu. Kamu nggak pernah menghubungi aku lagi dan tahu-tahu malah udah nikah. Kenapa pas nikah nggak ngundang aku, Mas? Jahat sekarang ya kamu!"
Jihan protes dengan manja, yang anehnya Keenan tidak terganggu sama sekali dengan protes manja dari Jihan, malah nyaman dan menghibur wanita itu.
Perilaku ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan Keenan pada Nilam yang saat ini istri sahnya. Bahkan sekarang, keduanya asyik bercengkrama sambil benar-benar mengabaikan Nilam.
Nilam tidak tahu apa maksud Jihan tiba-tiba datang ke sini, mengganggu makan malam mereka dan bersikap seperti istri manja saat dulu dia yang kabur meninggalkan Keenan, tapi yang pasti, Jihan seperti berniat memanasi Nilam.
Nilam yang diabaikan, merasa perutnya sangat sakit.
"Mas, perutku sakit banget. Ayo pulang, yuk," ajak Nilam kepada sang suami yang terus terlibat percakapan seru dengan Jihan, benar-benar seperti lupa bahwa istrinya adalah Nilam, bukan Jihan.
Keenan menoleh kepada Nilam dengan ekspresi terganggu. Kemarahan jelas tercetak di wajahnya yang tampan.
"Aku sedang sibuk sama Jihan ini! Kamu tuh nggak bisa emang ya lihat orang seneng sedikit aja! Kalo perut kamu sakit, ya pulang sana!"
Keenan tidak ragu-ragu membentak Nilam di depan Jihan. Membuat Jihan tersenyum menang kepada Nilam yang sedang mengernyitkan dahi menahan sakit di perutnya.
"T-tapi, Mas. Gimana aku bisa pulang? Aku nggak bawa uang."
Nilam mengatakan itu dengan wajah memelas, berharap sang suami merasa simpati sedikit saja dan setuju untuk pulang. Sayangnya apa yang diharapkan Nilam hanyalah harapan kosong karena Keenan malah melotot marah padanya.
"Kamu ini kok ngerepotin aja kerjaannya, sih! Nih, uang! Pesan taksi sana! Aku masih lama!"
Keenan menaruh satu lembar merah di meja dengan sedikit menggebrak meja, memandang Nilam dengan jijik.
"Mas, jangan kasar gitu dong sama istri. Dia kan sekarang istri kamu, Mas."
Jihan mengatakan hal itu dengan tatapan sok simpati kepada Nilam, tapi Nilam yang sedang memegangi perutnya tidak merasakan simpati sama sekali.
"Istri apa! Aku nggak sudi nganggap dia istri! Bisanya bikin malu saja!"
Keenan kembali menghina fisik tubuh Nilam yang dekil tanpa henti, membedakan Nilam dengan Jihan yang seperti langit dan bumi.
Nilam hanya meringis dihina sedemikian rupa oleh Keenan, sedangkan Jihan tertawa dengan malu-malu karena Keenan terus memujinya.
Nilam akhirnya memutuskan pergi dengan langkah pelan meninggalkan restoran. Di balik punggungnya, Keenan dan Jihan tetap bercengkrama mesra satu sama lain, tak memedulikan Nilam sama sekali.
Nilam merasa hatinya nyeri, seperti apa sebenarnya pernikahan itu? Dia bertanya-tanya.
"Kenapa mas Keenan sangat jahat padaku? Sejelek itukah aku?"
Nilam bergumam dengan memegang dadanya yang terasa sakit. Sampai rumah, dia langsung masuk kamar karena takut ditanya mertua kenapa pulang lebih dulu daripada Keenan.
Nilam sendiri heran dengan Keenan, katanya ditinggal Jihan kabur, tapi kenapa saat bertemu wanita itu lagi, Keenan terlihat sangat senang?
Saat mereka berhubungan badan kemarin pun, Keenan menyebutkan nama Jihan, bukan namanya. Sepertinya sang suami masih sangat mencintai mantan istrinya.
Nilam hanya bisa menyimpan rasa sesak itu sendirian, mau bagaimana lagi. Dia tak bisa pergi ke mana pun, meski sifat suaminya seperti ini.
Nilam berbaring di ranjang, mencoba tidur untuk melupakan semua yang terjadi tadi di restoran.
Saat dia hampir tertidur, seseorang masuk, sepertinya Keenan sudah pulang.
"Mas Keenan?"
Nilam spontan berbalik untuk menyapa suaminya, tapi saat tatapan mereka bertemu, Keenan langsung mengalihkan pandangan dan mematikan saklar lampu.
"Mas, apa yang kamu.... "
"Diam, nggak usah ngomong! Sekarang lepasin semua baju kamu! Aku matikan lampu karena nggak mau lihat wajah kamu yang jelek dan kulit kamu yang kasar. Jadi nurut!"
Di tengah kamar yang gelap gulita, Nilam hanya bisa mengangguk.
Nilam dengan patuh melepas semua pakaian yang melekat di tubuhnya, sementara itu Keenan yang sepertinya sudah melepaskan celana, naik ke atas ranjang.
"Ouhh! Mas!"
Keenan yang seperti sudah tak sabar, membaringkan tubuh Nilam dengan kasar dan naik ke atasnya.
"Kubilang jangan bersuara kalo kamu nggak mau ku tendang pergi dari rumah ini dan menjadi gelandangan! Aku melakukan ini karena melampiaskan hasratku yang nggak kesampaian kepada Jihan setelah ngobrol sama dia tadi, jadi kamu Jihan sekarang!"
Keenan memuntahkan kata-kata jahat itu dengan tanpa penyesalan, lalu mulai melakukan hubungan aktivitas yang hanya membuat pipi Nilam berlelehan air mata.
Nilam hanya bisa mencengkeram sprei dengan mata menahan tangis, bagaimana bisa suaminya menyuruh dia berperan sebagai mantan istrinya di atas ranjang?
Ini membuat hati Nilam sangat sakit.
"Jihan, ah, Jihan.... "
Saat pusaka sang suami menembus pintu masuk Nilam, Keenan terus menyebutkan nama Jihan.
Setiap satu hentakan tubuh bagian bawah, Keenan tak henti hentinya menyebut nama Jihan, seperti sedang membayangkan benar-benar ber cinta dengan wanita itu.
Dia juga menutupi mulut Nilam dengan kain sehingga kain sehingga wanita itu tak bisa bersuara.
Saat ini Keenan benar-benar menganggap Nilam adalah Jihan, apalagi kamar mereka gelap gulita sehingga Keenan tidak perlu melihat wajah sang istri yang menurutnya sangat jelek karena dia masih belum bisa melupakan Jihan.
Nilam hanya bisa meneteskan air mata tanpa suara saat Keenan semakin liar dan kasar memperlakukan dirinya dan terus menerus menyebut nama Jihan. Menganggap dirinya sedang melakukan aktivitas itu bersama wanita bersama Jihan.
"Ahhh, Jihan. Tubuhmu sangat luar biasa! Aku, aku mau keluar, Jihan! Ini sangat enak..."
Goyangan Keenan semakin kuat, membuat tubuh Nilam sedikit terpantul pantul, pusaka milik Keenan juga menusuk pintu masuknya dengan ganas sementara tangan Keenan meremas kedua gundukan Nilam dengan kasar, menandakan bahwa pria itu sepertinya hendak mencapai puncak kenikmatan.
Tangan Nilam mencengkeram sprei dengan kuat menahan sakit saat gerakan Keenan semakin kasar dan kasar, dia tak bisa berteriak atau protes karena mulutnya yang tersumpal kain.
Beberapa saat kemudian, pusaka milik Keenan terasa berkedut di dalam lubang Nilam yang basah, setelah mencapai puncak kenikmatan, tubuh tegap Keenan ambruk di sampingnya.
"Pergi dari sini! Kamu cuma ganggu!"
Setelah memakai tubuhnya sedemikian rupa, Keenan dengan jahat menendang tubuh Nilam dari ranjang mereka.
Nilam hanya bisa merangkak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dengan pipi berlelehan air mata.
Haruskah dia mempertahankan pernikahan ini? Haruskah?
"Siapa yang sedang menggoda—"Nilam tidak bisa melanjutkan ucapannya karena telunjuk Gallen yang kini berada di bibirnya, memberi isyarat pada wanita itu agar diam. "Di mataku, kamu sedang menggoda seorang pria tadi," jawab Gallen, berbisik di samping telinga Nilam. Karena jarak di antara mereka yang begitu dekat, Nilam merasa kesusahan bernapas, apalagi saat aroma harum khas Gallen menyerbu indra penciumannya. "Hey, Nil."Gallen yang masih memenjara tubuh Nilam dengan kedua tangan, memanggil wanita itu dengan suara dingin."Ya, Mas?"Gallen memegang dagu Nilam sehingga membuat Nilam mendongak untuk menatap tengah matanya, begitu pandangan mereka saling bertemu, Gallen yang tampaknya masih marah, berkata dengan mata sedikit menyipit."Jangan senyum-senyum genit ke pria lain selain aku. Sugar Daddy-mu ini nggak terima, ngerti?" titahnya dengan suara tajam tanpa bisa dibantah.Kening Nilam berkerut mendengar ucapannya tersebut, dia pun menatap mata yang kelihatan marah itu dengan pen
Anehnya, jauh di dalam lubuk hati Nilam, dia malah menunggu lagi moment seperti malam itu.Wanita itu juga merasa jika di pertemuan kedua ini Gallen meminta dilayani lebih jauh, maka dia mungkin dengan rela akan memberikannya.Bagaimana pun juga, sebagai sugar baby, Nilam sudah menghabiskan uang Gallen puluhan juta, jadi dia merasa tak enak hati kalau tidak memberi imbalan apa pun.Sayangnya, sampai detik ini, Gallen tak pernah membutuhkan jasanya lagi.Dia seperti dibuang untuk kedua kalinya."Hey, Nil. Kamu ini nggak butuh apa pun apa giman? Kenapa kamu hanya menggunakan uangku untuk makan, gunakanlah berbelanja baju dan yang lainnya sekali-kali."Suatu hari Gallen mengirim pesan yang lumayan panjang untuk Nilam, kesempatan itu tidak diabaikan oleh Nilam yang yang secara aneh merindukan pesan-pesan singkat pria tersebut.Beberapa hari ini memang Gallen tak mengirim chat apa pun, mungkin dia sangat sibuk. Pria seperti Gallen kan super sibuk, jadi Nilam memahami keadaannya.Nilam buru
Gallen menyeringai senang saat bibir Nilam menyentuh bibirnya sekilas ketika hendak mengambil black card, sementara gigi wanita itu kini menggigit ujung black card di mulut Gallen untuk mengambilnya."Gunakan sepuasmu."Ucapannya tersebut dilontarkan oleh Gallen dengan senyum lebar, sementara Nilam menatap black card yang kini berada di tangannya tersebut dengan mata berbinar-binar.Dulu saat menikah dengan Keenan, dia hanya pernah memegang kartu seperti ini tanpa bisa menggunakannya karena Keenan suami yang pelit, tapi sekarang dia bisa mendapatkannya dengan mudah, benda di tangannya itu seperti harta karun baginya.Seandainya dia sudah melupakan rasa malu, mungkin Nilam akan menciumi black card pemberian Gallen, tapi tentu saja Nilam masih memikirkan image-nya yang mungkin sudah tak tersisa di mata Gallen setelah dia menggigit black card dari mulut pria arogan yang memiliki kepribadian aneh ini. Gallen yang menatap puas Nilam karena berhasil menjatuhkan harga diri perempuan sombong
"Kau kayaknya lagi butuh uang banget, ya? Karena itu kamu datang ke sini begitu cepat?"Gallen, berbisik dengan suara rendah di belakang Nilam. Nilam segera berbalik dan memandang wajah tampan dengan hidung mancung tersebut seraya menelan ludah."L, lalu, apa yang harus kulakukan agar mendapatkan uang darimu?"Dia tergagap, sejujurnya, sampai detik ini tak tahu apa yang membuat Gallen tertarik padanya.Wajah cantiknya?Nilam memang cantik sejak rajin memakai make up dan skincare, tapi tak secantik itu sampai membuat seorang Gallen, pria muda kaya raya yang sudah biasa dikelilingi wanita super cantik, tertarik padanya.Buktinya, beberapa hari ini Gallen telah mengabaikan dirinya. Mungkin pria itu sudah menemukan partner yang lebih cantik. Atau trauma nya sudah sembuh. Lalu apa yang sebenarnya membuat pria ini tertarik dan memanggilnya kembali malam ini?Body-nya?Ah, buah dada yang dimiliki Nilam memang sedikit besar, tapi juga tak sebesar itu sehingga membuat pria tergila-gila.Lalu
Namun, hidup seperti surga bagi Nilam, di mana dia hanya perlu menyodorkan bibir pada Gallen dan mendapatkan uang yang banyak, tidaklah berlangsung lama.Entah karena apa, pria muda tampan itu seakan membuangnya dan tak pernah mengenal dirinya sama sekali.Bahkan ketika Nilam kebetulan di tempat yang sama, Gallen sama sekali tak menoleh kepada Nilam, tatapannya dingin dan menganggap Nilam seperti lalat atau apa pun yang mengganggu dirinya.Padahal Nilam pernah, sudah berdandan secantik dan semenarik mungkin, tapi tetap saja, Gallen tidak menoleh padanya.Ini sangat aneh.Apakah dia sudah bosan?Apakah dia melakukan kesalahan yang tak disadari dan menyinggung perasaan pria itu?Pertanyaan itu terus berputar, tapi tak menemukan jawaban.Tatapan dingin dan acuh tak acuh, disertai wajah muram seperti tak tertarik, adalah tatapan khas Gallen pada orang yang menurut dirinya tak penting, Nilam merasa sedikit sakit hati saat akhirnya ditatap seperti itu oleh Presdir muda tersebut.Padahal saa
"Tentu saja," jawab Gallen dengan enteng, menatap Nilam dengan ekspresi malas."Kamu sama saja telah kubeli seharga 600 juta, setelah dipotong 100 juta atas permintaan ganti rugimu tadi. Jadi, bukankah posisimu sekarang nggak lebih dari sebuah barang di mataku?"Mendengar itu, Nilam tak bisa berkata-kata, melihat ke arah Gallen sebelum kemudian menatap pakaiannya sendiri."Kamu sungguh-sungguh ingin aku melepas semua ini?"Gallen hanya mengangkat satu alis, duduk di kursinya dengan menopang dagu."Yah, sisakan pakaian dalam, aku nggak ingin mataku yang suci ini ternodai."Nilam hanya mendengus sesaat ketika mendengar Gallen menyebut bahwa areas sensitifnya membuat matanya ternoda.Belajar dari pengalaman sebelumnya, semakin dia mengelak maka si berengsek ini akan menghukum lebih kejam, karena itu, tanpa mengajukan protes, Nilam mulai membuka kancing kemejanya satu persatu.Meski dengan perasaan dongkol bukan main.Satu kancing, dua kancing, sudah terbuka, ketika tangan Nilam menyentuh