Share

Kusiapkan Perpisahan Terindah
Kusiapkan Perpisahan Terindah
Penulis: RIANNA ZELINE

Bab 1

Penulis: RIANNA ZELINE
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-19 14:28:38

Ting!

Denting notifikasi ponsel yang terdengar, membuatku meletakkan majalah dan beranjak dari sofa. Kuayunkan langkah menuju nakas yang berada tepat di samping ranjang. Kuraih benda pipih yang ada di atasnya dan kuperhatikan layar. Nomor baru? Aku tak bisa menebak nomor siapa itu. Tapi kata-kata yang terlihat pada bar notifikasi sudah cukup membuatku mengernyitkan dahi.

[Suamimu sangat pandai dalam hal memuaskan. Aku dibuat mendesah keenakan di atas ranjang]

Seketika jantungku berdebar kencang, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang. Aku juga berpikir positif bahwa mungkin saja itu hanyalah orang iseng atau pesan salah kirim. Apalagi tak ada nama suamiku ataupun foto yang bisa menjadi bukti untuk menguatkan isi pesan.

Namun tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Lalu kucoba melihat foto profilnya, namun sayang hanya menampakkan buket bunga dengan selembar kartu ucapan. Dan setelah fotonya kuperbesar, nama toko bunga yang tertera pada kartu ucapan adalah toko bunga langganan suamiku, Mas Evan.

“Aura Flower,” gumamku menyebut nama toko bunga tersebut.

Tanpa sadar, jemariku meremat ponsel yang kugenggam. Rasa gelisah menyelinap begitu saja. Namun, aku memilih megabaikannya meski jemariku juga gatal untuk mengirim pesan balasan. Ingin sekali kupastikan bahwa pesan itu hanya salah sasaran. Dan nama toko bunga itu hanyalah suatu kebetulan.

Ting!

Belum sempat kuletakkan lagi ponselku ke atas nakas, sebuah pesan kembali masuk dari nomor yang sama. Segera saja kubuka dan menajamkan penglihatanku untuk membacanya.

[Servisku juga sangat memuaskan hingga membuat suamimu ketagihan. Bersiaplah bahwa dia tidak akan pulang nanti malam]

Entah mengapa pesan kedua itu membuat tubuhku langsung gemetar. Jantungku berdebar semakin kencang. Napas pun terasa tercekat di tenggorokan. Aku ingat jika Mas Evan pulang larut semalam. Mungkinkah?

Tidak! Tidak!

Aku menggeleng cepat, menolak akan dugaan yang muncul dalam benak. Dengan keberanian yang sedikit kupaksakan, aku mulai mengetik untuk membalas pesan dari nomor asing yang sudah berhasil mengusik ketenangan.

[Siapa kamu? Dan apa maksudmu mengirim pesan seperti itu padaku?]

Setelah pesanku terkirim, sedikit pun aku tak mengalihkan tatapanku dari ponsel. Rasanya tak sabar mengetahui jawaban yang akan diberikan oleh si pemilik nomor asing. Hingga tak berapa lama sebuah pesan kembali masuk. Aku pun bergegas membacanya.

[Evan Xavier. Bukankah itu nama suamimu, Dinara Alverina Wiratama?]

Degh!

Seketika napasku memburu. Dada terasa sesak bagai kehilangan oksigen untuk bernapas. Tubuhku lemas, namun genggaman ponsel di tanganku semakin erat.

Kutatap lagi layar ponselku. Kubaca dan kupastikan lagi bahwa aku tak salah mengeja. Evan Xavier. Itu benar-benar nama suamiku yang sudah menemani hidupku selama tiga tahun lamanya.

Dengan tubuh yang seolah kehilangan tulangnya, tangan meraba ranjang dan menjadikannya pegangan sebelum akhirnya aku duduk dengan tatapan nanar. Mataku berkaca-kaca, masih enggan hatiku untuk percaya.

***

Langkahku mondar-mandir di ruang tamu. Sejak mendapat pesan pagi itu, jelas rasa gelisah kini menyelimutiku. Sejujurnya ingin kutanyakan langsung pada suamiku, tapi aku takut dia justru berbohong dan sengaja menutupinya dariku. Karena itulah aku memilih bungkam, hanya sementara waktu, sambil aku menyelidikinya lebih jauh.

Kulihat jam di dinding, sudah pukul sepuluh. Aku masih menunggu kepulangan suamiku. Bukan tanpa alasan. Mas Evan sudah menghubungiku akan pulang terlambat hari ini. Dan aku ingin membuktikan bahwa Mas Evan tidak berbohong, juga pesan itu tidak benar.

Cklek!

Pintu terbuka perlahan, sontak aku menoleh dan kulihat Mas Evan masuk dengan wajah kelelahan. Jantungku berdebar, lega kurasakan. Dengan senyum hangat aku menghampirinya.

“Kamu belum tidur, Sayang?” tanya Mas Evan padaku. Tangannya terulur membelai kepalaku dengan senyum hangat yang selalu membuatku merasa disayangi.

“Aku sengaja menunggu kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sering lembur, pasti sangat melelahkan, bukan?”

Mas Evan tersenyum. Lalu menarikku dan mengecup keningku dengan penuh perasaan. Suatu hal yang sering kali ia lakukan. Membuatku selalu merasa bahwa cinta dan kesetiannya padaku begitu besar.

Seketika kecurigaan yang sudah mengganggu pikiran, membuatku diliputi keraguan. Benarkah dia berselingkuh? Apa yang membuatnya berselingkuh, padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin menjaga penampilan dan adabku terhadap pasangan. Apalagi tidak ada masalah serius sampai membuat kami bertengkar. Bahkan perihal momongan, Mas Evan sama sekali tak mempermasalahkan.

“Kamu sudah makan, Mas?” tanyaku lembut sembari melangkah menuju kamar bersamanya. Aku membawakan tas kerjanya, sementara Mas Evan melingkarkan tangannya di pinggangku.

“Iya, Mas tadi pesan di restoran langganan kita. Maaf, ya, Mas jadinya gak makan di rumah,” sesalnya.

“Nggak apa-apa, Mas. Aku gak mempermasalahkannya. Yang penting kamu bisa makan dan jaga kesehatan, itu udah cukup buat aku tenang,” jawabku, mencoba memahami jika posisinya saat itu memang sedang lembur. Hal yang wajar jika dia memilih pesan makanan dari luar.

“Terima kasih, Sayang. Besok Mas usahakan untuk gak lembur lagi, supaya kita bisa makan malam bersama, ya.”

“Serius, Mas? Kalau begitu besok aku akan masak makanan kesukaan kamu, ya.”

Mas Evan tersenyum bahagia, lalu menjawab, “Apapun masakan kamu, pasti akan Mas makan.”

Setibanya di dalam kamar, aku meminta Mas Evan untuk segera mandi, sementara aku menyiapkan pakaian ganti. Namun sebelum itu, kubawa tas kerjanya menuju lemari rak kaca. Kuletakkan di bagian paling atas seperti biasanya. Entah karena kurang hati-hati atau apa, tas itu terguling. Beruntung tidak sampai jatuh ke lantai, hanya posisinya saja yang berubah. Dan bersamaan dengan itu, sebuah benda kecil jatuh dari dalam sakunya.

Aku mendekat dan segera kupungut benda kecil itu.

“Lipstick?” gumamku penuh tanya. Seketika jantungku kembali berdebar kencang, tanganku pun gemetar memegang lipstick mahal dengan warna merah menyala itu. Sebab yang pasti… itu bukan punyaku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 59

    Di bagian sudut terjauh cafe, Vania duduk mesra dengan pria yang pernah menemaninya belanja. Pria yang dikenalkan sebagai sepupunya di hadapanku. Tapi kedekatan itu, terasa ganjil di mataku.Mereka tertawa bersama. Kadang kepala Vania bersandar sejenak di pundak pria itu. Bahkan ia juga disuapi dengan penuh kelembutan bak pasangan muda yang sedang kasmaran. Tapi, jelas itu bukan hal yang wajar. Mungkinkah pria itu sebenarnya adalah seorang selingkuhan?Ingin aku abaikan dan tak peduli urusan mereka. Tapi mataku seolah enggan berpaling dan terus mencuri pandang. Sampai akhirnya aku mengambil ponsel. Lalu dengan hati-hati aku merekam aktivitas mereka di kejauhan. Entah akan kuberikan pada Mas Evan atau tidak, tapi semoga ini akan berguna di kemudian hari.Setelah merekam dan kupastikan jika wajah keduanya cukup jelas di dalam layar, aku mengirim rekaman itu pada Selina. "Selidiki pria yang ada dalam video itu. Termasuk hubungannya dengan wanita di sampingnya," titahku d

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 58

    Hembusan napas panjang keluar perlahan. Kucoba tenang meski ada ketakutan yang menjalar. Tapi rasa penasaran itu semakin membesar. "Kalau boleh tahu, sedekat apa kamu dengannya?" tanyaku menyelidik. Selina semakin menautkan dua alisnya. Jelas dia curiga dari caraku bertanya. "Tidak dekat, Bu. Hanya sekedar tahu saja. Memangnya kenapa Anda menanyakan hal itu? Apa ada masalah?" "Tidak apa-apa. Aku lihat akhir-akhir ini dia dekat dengan Kak Rafael. Mungkin kamu tahu sesuatu tentang mereka? Aku sengaja tak langsung mengungkap niatku yang sebenarnya. Mencoba memancing seberapa jauh Selina mengenal Amelia. Kutatap dan kuperhatikan Selina dengan serius untuk membaca ekspresi di wajahnya. Namun, Selina justru tersenyum penuh arti menatapku. Seketika aku sadar akan apa yang saat ini dipikirkan Selina tentangku. "Sepertinya ada benih cemburu, nih!" godanya. Aku mendelik, lalu segera menyangkalnya. "Bukan itu maksudku. Jangan menuduh yang tidak-tidak," kataku sambil memalingkan wajah. Se

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 57

    Hujan baru saja reda. Sisa-sisa rintiknya masih menempel di dedaunan, dan aroma tanah basah menggantung di udara. Suasana malam begitu sunyi ketika bel rumahku berbunyi. Aku melirik jam dinding. Hampir pukul sembilan. Siapa yang datang malam-malam begini?Langkahku pelan menapaki lorong menuju pintu utama. Begitu kubuka, sosok tinggi berbalut jaket hitam berdiri di bawah teras, cahaya lampu kuning mengguratkan garis-garis letih di wajahnya."Kak Rafael?"Dia mengangguk pelan. Matanya menatapku, tenang namun penuh kegelisahan yang tak bisa dia sembunyikan.“Aku nggak ganggu, 'kan?” tanyanya.Aku membuka pintu lebih lebar. “Nggak. Masuklah.”Tapi Kak Rafael menggeleng. “Aku nggak akan lama. Boleh kalau kita ngobrol di teras saja?”Aku mengangguk, mencoba menenangkan gelombang kecil di dada yang tiba-tiba muncul. Kami duduk berseberangan, hanya dipisahkan meja kecil dan dua cangkir teh yang baru saja kubuat.“Aku datang bukan untuk membuat segalanya lebih rumit,” katanya memulai. “Aku cu

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 56

    Pagi itu masih menyisakan jejak dari pesan semalam. Aku menatap layar ponselku yang kosong, berharap pesan ancaman itu masuk ke nomorku. Meski Kak Rafael sudah memintaku untuk tenang karena dia akan menyelidikinya, tapi rasa penasaranku tak bisa diredam begitu saja.Aku juga berharap bahwa pesan itu hanyalah mimpi buruk yang kebetulan terasa nyata. Tapi tidak. Ancaman itu nyata, dan entah siapa yang mengirimnya.Revan duduk di meja makan, menggambar sesuatu dengan krayon warna-warni. Tangannya kecil, tapi imajinasinya besar. Aku berusaha tersenyum, meski mataku menyimpan gelisah yang sulit disembunyikan."Mama, lihat!" serunya riang sambil menunjukkan gambar. Sebuah lingkaran dengan beberapa kotak di bagian kelilingnya."Apa ini bianglala yang kita naiki kemarin?" tanyaku, berusaha menebak gambarnya sekaligus mengalihkan pikiranku untuk fokus pada keluarga.Revan mengangguk dengan senyum lebar. Lalu melanjutkan lagi menggambar permainan lain yang ada dalam imajinasinya.Sejujurnya aku

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 55

    Dan itu pukulan telak.Aku tak bisa menolak Revan. Anak itu terlalu manis, terlalu polos untuk jadi korban dalam sandiwara orang dewasa. Maka, meski batinku berkecamuk, aku mengangguk perlahan."Baiklah," jawabku akhirnya.Kak Rafael tersenyum lega. Membuatku ikut merasakan hal yang sama. Tapi sayangnya masih ada sesuatu yang mengganjal dalam perasaanku, yaitu Amelia.***Akhir pekan datang dengan langit cerah dan tawa anak-anak yang riuh di sekitar taman hiburan. Aku berdiri di samping Kak Rafael dan Revan yang sedang mengantre untuk naik komidi putar. Revan melompat-lompat kecil, menggenggam tangan Kak Rafael, lalu menarikku agar ikut bersama mereka."Aku mau duduk di kereta!" katanya ceria.Aku tersenyum, mengangguk, lalu mengikuti mereka. Di sepanjang wahana, Kak Rafael tak henti-hentinya menunjukkan perhatian—menawarkan air minum, memakaikan topi Revan, bahkan beberapa kali dengan sengaja menyentuh pundakku saat berjalan terlalu dekat.Aku mencoba menjauh, menjaga jarak. Tapi Rev

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 54

    "Halo, Ra."Suaranya terdengar, tapi kegugupanku masih belum sepenuhnya hilang.Kuhembus napas panjang lalu dengan nada pelan aku bertanya, "Halo, Kak Rafael. Apa bisa kita bertemu hari ini? Sepertinya ada masalah kecil yang harus kita selesaikan bersama."Aku menggigit bibir ragu. Masih tidak yakin dengan apa yang baru saja kukatakan padanya. Padahal aku berusaha keras menghindar agar tidak lagi melibatkannya dalam masalahku. Tapi tetap saja, aku memang tak punya pilihan untuk menyelesaikannya sendiri. Aku butuh pendapatnya untuk masalah ini."Masalah kecil?" tanyanya dengan nada penasaran di seberang telepon."Aku akan jelaskan saat kita bertemu," jawabku dengan suara bergetar ragu.Entahlah, setelah berusaha keras menghindar dan kini harus kembali mendekat, aku merasa sulit mengontrol debaran jantungku yang terus berdegup kencang. Aku merasa seperti orang jahat yang hanya butuh bantuannya saat terdesak."Baiklah, di cafe seperti biasa siang ini. Bagaimana?" tanyanya."Tidak masalah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status