Aku Dinara Alverina Wiratama, berpura-pura tidak mengetahui perselingkuhan suamiku, Evan Xavier. Aku tetap bersikap baik sebagaimana seorang istri pada umumnya. Namun, diam-diam aku menyiapkan sebuah perpisahan yang tidak akan pernah dia duga. Gugatan perceraian? Ah, itu terlalu biasa. Ini adalah sebuah perpisahan terindah yang akan selalu dikenangnya.
View MoreTing!
Denting notifikasi ponsel yang terdengar, membuatku meletakkan majalah dan beranjak dari sofa. Kuayunkan langkah menuju nakas yang berada tepat di samping ranjang. Kuraih benda pipih yang ada di atasnya dan kuperhatikan layar. Nomor baru? Aku tak bisa menebak nomor siapa itu. Tapi kata-kata yang terlihat pada bar notifikasi sudah cukup membuatku mengernyitkan dahi.
[Suamimu sangat pandai dalam hal memuaskan. Aku dibuat mendesah keenakan di atas ranjang]
Seketika jantungku berdebar kencang, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang. Aku juga berpikir positif bahwa mungkin saja itu hanyalah orang iseng atau pesan salah kirim. Apalagi tak ada nama suamiku ataupun foto yang bisa menjadi bukti untuk menguatkan isi pesan.
Namun tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Lalu kucoba melihat foto profilnya, namun sayang hanya menampakkan buket bunga dengan selembar kartu ucapan. Dan setelah fotonya kuperbesar, nama toko bunga yang tertera pada kartu ucapan adalah toko bunga langganan suamiku, Mas Evan.
“Aura Flower,” gumamku menyebut nama toko bunga tersebut.
Tanpa sadar, jemariku meremat ponsel yang kugenggam. Rasa gelisah menyelinap begitu saja. Namun, aku memilih megabaikannya meski jemariku juga gatal untuk mengirim pesan balasan. Ingin sekali kupastikan bahwa pesan itu hanya salah sasaran. Dan nama toko bunga itu hanyalah suatu kebetulan.
Ting!
Belum sempat kuletakkan lagi ponselku ke atas nakas, sebuah pesan kembali masuk dari nomor yang sama. Segera saja kubuka dan menajamkan penglihatanku untuk membacanya.
[Servisku juga sangat memuaskan hingga membuat suamimu ketagihan. Bersiaplah bahwa dia tidak akan pulang nanti malam]
Entah mengapa pesan kedua itu membuat tubuhku langsung gemetar. Jantungku berdebar semakin kencang. Napas pun terasa tercekat di tenggorokan. Aku ingat jika Mas Evan pulang larut semalam. Mungkinkah?
Tidak! Tidak!
Aku menggeleng cepat, menolak akan dugaan yang muncul dalam benak. Dengan keberanian yang sedikit kupaksakan, aku mulai mengetik untuk membalas pesan dari nomor asing yang sudah berhasil mengusik ketenangan.
[Siapa kamu? Dan apa maksudmu mengirim pesan seperti itu padaku?]
Setelah pesanku terkirim, sedikit pun aku tak mengalihkan tatapanku dari ponsel. Rasanya tak sabar mengetahui jawaban yang akan diberikan oleh si pemilik nomor asing. Hingga tak berapa lama sebuah pesan kembali masuk. Aku pun bergegas membacanya.
[Evan Xavier. Bukankah itu nama suamimu, Dinara Alverina Wiratama?]
Degh!
Seketika napasku memburu. Dada terasa sesak bagai kehilangan oksigen untuk bernapas. Tubuhku lemas, namun genggaman ponsel di tanganku semakin erat.
Kutatap lagi layar ponselku. Kubaca dan kupastikan lagi bahwa aku tak salah mengeja. Evan Xavier. Itu benar-benar nama suamiku yang sudah menemani hidupku selama tiga tahun lamanya.
Dengan tubuh yang seolah kehilangan tulangnya, tangan meraba ranjang dan menjadikannya pegangan sebelum akhirnya aku duduk dengan tatapan nanar. Mataku berkaca-kaca, masih enggan hatiku untuk percaya.
***
Langkahku mondar-mandir di ruang tamu. Sejak mendapat pesan pagi itu, jelas rasa gelisah kini menyelimutiku. Sejujurnya ingin kutanyakan langsung pada suamiku, tapi aku takut dia justru berbohong dan sengaja menutupinya dariku. Karena itulah aku memilih bungkam, hanya sementara waktu, sambil aku menyelidikinya lebih jauh.
Kulihat jam di dinding, sudah pukul sepuluh. Aku masih menunggu kepulangan suamiku. Bukan tanpa alasan. Mas Evan sudah menghubungiku akan pulang terlambat hari ini. Dan aku ingin membuktikan bahwa Mas Evan tidak berbohong, juga pesan itu tidak benar.
Cklek!
Pintu terbuka perlahan, sontak aku menoleh dan kulihat Mas Evan masuk dengan wajah kelelahan. Jantungku berdebar, lega kurasakan. Dengan senyum hangat aku menghampirinya.
“Kamu belum tidur, Sayang?” tanya Mas Evan padaku. Tangannya terulur membelai kepalaku dengan senyum hangat yang selalu membuatku merasa disayangi.
“Aku sengaja menunggu kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sering lembur, pasti sangat melelahkan, bukan?”
Mas Evan tersenyum. Lalu menarikku dan mengecup keningku dengan penuh perasaan. Suatu hal yang sering kali ia lakukan. Membuatku selalu merasa bahwa cinta dan kesetiannya padaku begitu besar.
Seketika kecurigaan yang sudah mengganggu pikiran, membuatku diliputi keraguan. Benarkah dia berselingkuh? Apa yang membuatnya berselingkuh, padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin menjaga penampilan dan adabku terhadap pasangan. Apalagi tidak ada masalah serius sampai membuat kami bertengkar. Bahkan perihal momongan, Mas Evan sama sekali tak mempermasalahkan.
“Kamu sudah makan, Mas?” tanyaku lembut sembari melangkah menuju kamar bersamanya. Aku membawakan tas kerjanya, sementara Mas Evan melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Iya, Mas tadi pesan di restoran langganan kita. Maaf, ya, Mas jadinya gak makan di rumah,” sesalnya.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku gak mempermasalahkannya. Yang penting kamu bisa makan dan jaga kesehatan, itu udah cukup buat aku tenang,” jawabku, mencoba memahami jika posisinya saat itu memang sedang lembur. Hal yang wajar jika dia memilih pesan makanan dari luar.
“Terima kasih, Sayang. Besok Mas usahakan untuk gak lembur lagi, supaya kita bisa makan malam bersama, ya.”
“Serius, Mas? Kalau begitu besok aku akan masak makanan kesukaan kamu, ya.”
Mas Evan tersenyum bahagia, lalu menjawab, “Apapun masakan kamu, pasti akan Mas makan.”
Setibanya di dalam kamar, aku meminta Mas Evan untuk segera mandi, sementara aku menyiapkan pakaian ganti. Namun sebelum itu, kubawa tas kerjanya menuju lemari rak kaca. Kuletakkan di bagian paling atas seperti biasanya. Entah karena kurang hati-hati atau apa, tas itu terguling. Beruntung tidak sampai jatuh ke lantai, hanya posisinya saja yang berubah. Dan bersamaan dengan itu, sebuah benda kecil jatuh dari dalam sakunya.
Aku mendekat dan segera kupungut benda kecil itu.
“Lipstick?” gumamku penuh tanya. Seketika jantungku kembali berdebar kencang, tanganku pun gemetar memegang lipstick mahal dengan warna merah menyala itu. Sebab yang pasti… itu bukan punyaku.
Genggaman kasar di lenganku membuat tubuhku nyaris tak berdaya. Napasku sudah tidak beraturan, tapi mataku terus mencari celah. Hingga sebuah suara lain membuat darahku seakan berhenti mengalir.Klik.Pintu belakang mobilku terbuka. Aku menoleh cepat, jantungku mencelos. Dua pria lain—si perokok dan yang berperawakan ramping—bergerak ke arah kursi belakang mobilku.“Jangan!” suaraku pecah, panik.Terlambat. Tangan besar mereka meraih tubuh kecil Revan yang sedang tertidur pulas di kursi belakang. Satu orang mengangkatnya dengan gerakan cepat, seolah anak itu hanyalah boneka ringan.Revan sempat tergerak, kelopak matanya bergetar. Lalu, begitu tubuhnya berpindah dari kursi nyaman ke gendongan kasar orang asing, ia terbangun. Matanya melebar, bingung, sebelum akhirnya tangisan keras meledak dari mulut mungilnya.“Mamaaaa!” jeritnya, suara yang menghantam jantungku lebih keras daripada apa pun.Aku berteriak, histeris. “Lepaskan dia! Jangan sentuh anakku!”Tubuhku meronta liar, berusaha
Jalanan malam itu sunyi, hanya cahaya lampu jalan yang menyoroti aspal yang basah, entah sisa air dari mana. Jantungku berdentum begitu cepat, seperti berusaha melompat keluar dari dadaku, saat pintu mobil hitam itu terbuka dan satu bayangan besar turun dari dalamnya. Namun ternyata, bukan satu orang.Dua pria menyusul keluar hampir bersamaan. Wajah mereka keras, dingin, tanpa ekspresi ramah sedikit pun. Salah satunya memakai jaket kulit hitam lusuh, tatapannya tajam, sorot matanya seperti binatang buas yang sudah mengunci mangsanya. Yang lain berperawakan lebih ramping, tapi rahangnya mengeras dengan otot-otot wajah yang tegas, seperti orang yang terbiasa memberi perintah. Satu lagi menyalakan rokok, kepulan asap putih keluar dari bibirnya, membuat suasana semakin mencekam.Aku tetap berada di dalam mobil. Tangan kiriku menggenggam erat setir, sementara tangan kanan bergetar di atas tombol kunci otomatis. Aku tahu satu hal: jangan panik.Salah satu dari mereka—pria berjaket kulit—mel
Kiano duduk di kursinya, condong ke arah Vania yang kini sedikit miring menghadapnya. Tangannya terulur, jemari panjangnya mengelus lembut kepala Vania, gerakannya perlahan, intim… terlalu intim. Lalu, tanpa jeda, tangannya bergeser ke pipi wanita itu. Sentuhan itu bukan sekadar sapaan keluarga—terlalu lembut, terlalu penuh makna.Darahku seperti berhenti mengalir saat melihat Vania menutup matanya sesaat, seolah menikmati sentuhan itu. Dan sebelum aku sempat memproses apa yang terjadi, dia bergerak maju, memagut bibir Kiano. Bukan ciuman singkat atau basa-basi. Tidak. Itu adalah ciuman yang sarat gairah—dengan kepala sedikit miring, bibirnya menekan milik Kiano dengan kesadaran penuh akan apa yang ia lakukan.Aku merasa seluruh udara di paru-paruku menguap. Tanganku refleks menggenggam sisi rak pajangan, mencoba menahan getaran di tubuhku. Suara di kepalaku bising—pertanyaan demi pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Bagaimana bisa? Di rumah ini? Di meja makan yang sama? Saat Mas Evan
Seketika aku berhenti mengunyah. Kuangkat sedikit wajah hingga sorot mataku jatuh tepat di mata Vania. Senyumnya menyeringai, jelas ia sedang memancing masalah denganku. Tapi, aku masih tak bisa menebak tujuannya berkata seperti itu. Apalagi harusnya ia tak senang jika tahu anak itu memang darah daging Mas Evan. Tapi kenapa ia justru tersenyum penuh misteri. Apa yang sebenarnya diinginkan Vania?Kulirik Mas Evan yang seketika mengamati wajah Revan dengan serius. Jujur saja hal itu membuat jantungku semakin berdebar kencang. Pikiranku mulai sibuk mencari alasan atau sekedar mengalihkan perhatian."Bagaimana mungkin kamu berpikir seperti itu?" ucapku dengan tenang. "Revan itu mirip denganku. Bukankah tidak aneh jika anak laki-laki lebih mirip dengan ibunya ketimbang ayahnya? Pun sama dengan anak perempuan yang kebanyakan lebih mirip ayahnya ketimbang ibunya."Vania membuang napas kasar, tapi senyum seringai di bibirnya itu sama sekali tidak pudar."Memang itulah yang seharusnya. Sebab a
Di bagian sudut terjauh cafe, Vania duduk mesra dengan pria yang pernah menemaninya belanja. Pria yang dikenalkan sebagai sepupunya di hadapanku. Tapi kedekatan itu, terasa ganjil di mataku.Mereka tertawa bersama. Kadang kepala Vania bersandar sejenak di pundak pria itu. Bahkan ia juga disuapi dengan penuh kelembutan bak pasangan muda yang sedang kasmaran. Tapi, jelas itu bukan hal yang wajar. Mungkinkah pria itu sebenarnya adalah seorang selingkuhan?Ingin aku abaikan dan tak peduli urusan mereka. Tapi mataku seolah enggan berpaling dan terus mencuri pandang. Sampai akhirnya aku mengambil ponsel. Lalu dengan hati-hati aku merekam aktivitas mereka di kejauhan. Entah akan kuberikan pada Mas Evan atau tidak, tapi semoga ini akan berguna di kemudian hari.Setelah merekam dan kupastikan jika wajah keduanya cukup jelas di dalam layar, aku mengirim rekaman itu pada Selina. "Selidiki pria yang ada dalam video itu. Termasuk hubungannya dengan wanita di sampingnya," titahku d
Hembusan napas panjang keluar perlahan. Kucoba tenang meski ada ketakutan yang menjalar. Tapi rasa penasaran itu semakin membesar. "Kalau boleh tahu, sedekat apa kamu dengannya?" tanyaku menyelidik. Selina semakin menautkan dua alisnya. Jelas dia curiga dari caraku bertanya. "Tidak dekat, Bu. Hanya sekedar tahu saja. Memangnya kenapa Anda menanyakan hal itu? Apa ada masalah?" "Tidak apa-apa. Aku lihat akhir-akhir ini dia dekat dengan Kak Rafael. Mungkin kamu tahu sesuatu tentang mereka? Aku sengaja tak langsung mengungkap niatku yang sebenarnya. Mencoba memancing seberapa jauh Selina mengenal Amelia. Kutatap dan kuperhatikan Selina dengan serius untuk membaca ekspresi di wajahnya. Namun, Selina justru tersenyum penuh arti menatapku. Seketika aku sadar akan apa yang saat ini dipikirkan Selina tentangku. "Sepertinya ada benih cemburu, nih!" godanya. Aku mendelik, lalu segera menyangkalnya. "Bukan itu maksudku. Jangan menuduh yang tidak-tidak," kataku sambil memalingkan wajah. Se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments