Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.
Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.
Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.
“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.
Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”
Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan yang terlihat di raut wajahnya.
“Oh, ini tadi Mas nemu di parkiran. Mas pikir mungkin milik karyawan yang terjatuh, makanya Mas ambil. Rencananya besok Mas akan minta bantuan Vania untuk mencari pemiliknya,” jawab Mas Evan disertai dengan senyuman, seolah itu bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan.
Mas Evan melangkah mendekati ranjang dan mengambil piyama yang sudah kusiapkan. Tanpa ke kamar mandi, ia melepas handuk yang melilit di pinggangnya dan langsung memakai piyama di hadapanku saat itu juga. Sedangkan aku masih terdiam. Bukan karena terpaku melihat pemandangan yang sudah biasa Mas Evan lakukan, tapi aku masih memikirkan lipstick yang sampai saat ini justru membuatku semakin penasaran.
Setelah menggantung handuk, Mas Evan naik ke atas ranjang. Menatapku dengan senyuman hangat, lalu menepuk tempat kosong di sampingnya. Isyarat untuk memintaku berbaring bersamanya.
Aku tak bisa menolak. Kuukir senyum lembut lalu mengambil tempat untuk berbaring di sisinya. Dengan penuh kasih sayang seperti hari-hari biasanya, Mas Evan meletakkan lengannya untuk kujadikan bantal. Dan begitu kepalaku sudah berbaring di atas lengannya, tangan Mas Evan yang lain langsung melingkar di pinggangku dan memelukku dengan begitu erat.
“Kamu pasti kepikiran soal lipstick itu, ‘kan?” tebaknya.
Aku mengangguk kecil dalam dekapannya, seketika pelukan Mas Evan semakin erat kurasa.
“Apa kamu curiga, hm?” tanyanya sembari mengecup puncak kepalaku berkali-kali. “Atau kamu mau juga yang warna seperti itu?” tambahnya.
“Aku tidak suka warna seperti itu. Merah menyala, rasanya terlalu mencolok bagiku,” jawabku. Memang sejak dulu aku tidak menyukai warna itu, dan Mas Evan pun sudah tahu.
“Siapa tahu kamu ingin mencobanya,” ucapnya dengan kekehan kecil. “Kalau kamu penasaran, kamu bisa membawanya ke kantor dan bertanya langsung pada para staf,” lanjutnya. Terdengar tenang tapi sangat serius, seolah itu bukan masalah.
Aku tak menjawab. Kulingkarkan tanganku memeluk tubuhnya erat. Kuhirup aroma tubuhnya yang selalu membuatku merasa nyaman. Berharap hal itu bisa mengusir setiap kegundahan yang kurasakan. Namun, tetap saja hati dan pikiranku terus berperang meski mataku sudah terpejam. Antara curiga dan percaya, bagai dua mata uang yang saat ini sulit untuk kupisahkan.
*** Pagi ini masih seperti pagi biasanya, aku mengantar Mas Evan sampai di depan rumah saat ia akan berangkat bekerja. Sebagai CEO perusahaan, Mas Evan sangat rajin bekerja dan jarang absen kecuali untuk hal yang sangat mendesak. Sehingga hari-hari yang kujalani pun sudah terbiasa tanpanya.“Hati-hati di rumah, ya? Kalau ingin pergi ke mana pun jangan lupa memberi kabar. Supaya Mas gak khawatir,” ujarnya seperti biasa. Lalu mengecup keningku dengan penuh rasa.
“Iya, Mas. Kamu juga hati-hati, ya? Jangan nakal!” sindirku, tetap dengan senyuman seolah sedang menggodanya.
Mas Evan tertawa kecil sambil mencubit hidungku gemas. “Iya, Sayang. Jangan khawatir,” ujarnya.
Ketika Mas Evan melangkah menuju mobil, aku memandang punggungnya dengan perasaan yang sulit kumengerti. Aku merasa tidak ada yang berubah darinya. Sikapnya tetap lembut, hangat dan penuh perhatian seperti biasa. Apakah tidak keterlaluan jika aku mencurigainya?
Setelah Mas Evan melambaikan tangan dan melajukan mobilnya keluar, aku segera masuk ke dalam rumah. Kuraih ponsel dan segera kuhubungi Selina, tangan kananku di perusahaan tempat Mas Evan bekerja. Perusahaan orang tuaku yang sudah kukembangkan hingga menjadi semakin besar seperti sekarang. Jadi, akulah Co-Founder pada perusahaan tersebut.
“Halo, Bu Dinara. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Selina dari seberang telepon.
“Temui saya di Junior Cafe jam sepuluh pagi ini,”kataku dengan nada tegas.
“Baik, saya akan ke sana. Ada lagi?”
“Tidak, itu saja. Ada hal yang ingin saya bicarakan sama kamu di sana.”
Aku mematikan panggilan begitu selesai bicara dengan Selina. Kugenggam erat ponsel di depan dada. Kuyakinkan diri bahwa aku harus menyelidiki semuanya, sebelum Mas Evan melangkah lebih jauh dari yang aku bayangkan.
Dalam perjalanan, aku lebih banyak diam. Menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Namun, pikiranku rasanya begitu sibuk dengan banyaknya praduga, juga menyusun rencana jika semua kecurigaanku benar adanya.
Ting!
Setelah pesan misterius kemarin, jantungku selalu berdebar setiap kali bunyi notifikasi terdengar. Namun rasa penasaran juga membuatku langsung mengecek siapa yang mengirim pesan. Dan benar saja, nomor asing itu mengirim sebuah foto yang memperlihatkan berbagai macam hidangan mewah di atas meja. Foto itu juga disertai dengan caption: [Makan malam romantis. Terima kasih, Sayang]
Kuhela napas panjang dan mengabaikan pesan. Bagaimanapun aku harus tetap bersikap tenang. Lalu kulihat jam di pergelangan tangan. Pukul 08.30 pagi. Aku sudah tiba di tempat tujuan pertama. Setelah turun dari mobil, aku menatap sopir pribadiku, Pak Edi, lalu berkata, “Tolong jangan beri tahu Mas Evan jika saya datang ke sini.”
“Baik, Bu. Saya mengerti,” jawabnya sambil mengangguk sopan.
Begitu masuk toko bunga, aku disambut seorang karyawan. Dia menyapaku dengan ramah dan sopan. Seperti biasanya dia akan menanyakan keperluan dan juga menawarkan beberapa koleksi bunga terbaru di sana. Namun, sebelum dia berbicara lebih jauh, aku segera memotong ucapannya.
“Begini, bisa saya bertemu dengan Bu Aura? Saya ada perlu dengannya.”
“Oh, jadi Bu Dinara ingin bertemu dengan Bu Aura. Kalau begitu mari saya antar, Bu Aura ada di ruangannya.”
Aku mengikuti langkah karyawan itu hingga tiba di dalam ruangan di mana Bu Aura bekerja. Melihat kedatanganku, wanita yang berusia empat puluhan tahun itu langsung berdiri dan menyambutku dengan senyum ramah.
“Wah, Bu Dinara! Apa kabar? Senang sekali bisa bertemu Anda langsung pagi ini,” serunya. Wajahnya tampak senang melihat kedatanganku.
Aku tersenyum, hampir terkekeh kecil. “Saya juga senang bisa bertemu Bu Aura. Rasanya sudah lama saya tidak datang ke sini, ya?”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya tahu Bu Dinara juga sibuk. Oh ya, apa ada yang bisa saya bantu?”
Aku mengambil napas sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Begini Bu Aura, saya ingin tahu apakah suami saya membeli bunga di sini belakangan ini?”
Di bagian sudut terjauh cafe, Vania duduk mesra dengan pria yang pernah menemaninya belanja. Pria yang dikenalkan sebagai sepupunya di hadapanku. Tapi kedekatan itu, terasa ganjil di mataku.Mereka tertawa bersama. Kadang kepala Vania bersandar sejenak di pundak pria itu. Bahkan ia juga disuapi dengan penuh kelembutan bak pasangan muda yang sedang kasmaran. Tapi, jelas itu bukan hal yang wajar. Mungkinkah pria itu sebenarnya adalah seorang selingkuhan?Ingin aku abaikan dan tak peduli urusan mereka. Tapi mataku seolah enggan berpaling dan terus mencuri pandang. Sampai akhirnya aku mengambil ponsel. Lalu dengan hati-hati aku merekam aktivitas mereka di kejauhan. Entah akan kuberikan pada Mas Evan atau tidak, tapi semoga ini akan berguna di kemudian hari.Setelah merekam dan kupastikan jika wajah keduanya cukup jelas di dalam layar, aku mengirim rekaman itu pada Selina. "Selidiki pria yang ada dalam video itu. Termasuk hubungannya dengan wanita di sampingnya," titahku d
Hembusan napas panjang keluar perlahan. Kucoba tenang meski ada ketakutan yang menjalar. Tapi rasa penasaran itu semakin membesar. "Kalau boleh tahu, sedekat apa kamu dengannya?" tanyaku menyelidik. Selina semakin menautkan dua alisnya. Jelas dia curiga dari caraku bertanya. "Tidak dekat, Bu. Hanya sekedar tahu saja. Memangnya kenapa Anda menanyakan hal itu? Apa ada masalah?" "Tidak apa-apa. Aku lihat akhir-akhir ini dia dekat dengan Kak Rafael. Mungkin kamu tahu sesuatu tentang mereka? Aku sengaja tak langsung mengungkap niatku yang sebenarnya. Mencoba memancing seberapa jauh Selina mengenal Amelia. Kutatap dan kuperhatikan Selina dengan serius untuk membaca ekspresi di wajahnya. Namun, Selina justru tersenyum penuh arti menatapku. Seketika aku sadar akan apa yang saat ini dipikirkan Selina tentangku. "Sepertinya ada benih cemburu, nih!" godanya. Aku mendelik, lalu segera menyangkalnya. "Bukan itu maksudku. Jangan menuduh yang tidak-tidak," kataku sambil memalingkan wajah. Se
Hujan baru saja reda. Sisa-sisa rintiknya masih menempel di dedaunan, dan aroma tanah basah menggantung di udara. Suasana malam begitu sunyi ketika bel rumahku berbunyi. Aku melirik jam dinding. Hampir pukul sembilan. Siapa yang datang malam-malam begini?Langkahku pelan menapaki lorong menuju pintu utama. Begitu kubuka, sosok tinggi berbalut jaket hitam berdiri di bawah teras, cahaya lampu kuning mengguratkan garis-garis letih di wajahnya."Kak Rafael?"Dia mengangguk pelan. Matanya menatapku, tenang namun penuh kegelisahan yang tak bisa dia sembunyikan.“Aku nggak ganggu, 'kan?” tanyanya.Aku membuka pintu lebih lebar. “Nggak. Masuklah.”Tapi Kak Rafael menggeleng. “Aku nggak akan lama. Boleh kalau kita ngobrol di teras saja?”Aku mengangguk, mencoba menenangkan gelombang kecil di dada yang tiba-tiba muncul. Kami duduk berseberangan, hanya dipisahkan meja kecil dan dua cangkir teh yang baru saja kubuat.“Aku datang bukan untuk membuat segalanya lebih rumit,” katanya memulai. “Aku cu
Pagi itu masih menyisakan jejak dari pesan semalam. Aku menatap layar ponselku yang kosong, berharap pesan ancaman itu masuk ke nomorku. Meski Kak Rafael sudah memintaku untuk tenang karena dia akan menyelidikinya, tapi rasa penasaranku tak bisa diredam begitu saja.Aku juga berharap bahwa pesan itu hanyalah mimpi buruk yang kebetulan terasa nyata. Tapi tidak. Ancaman itu nyata, dan entah siapa yang mengirimnya.Revan duduk di meja makan, menggambar sesuatu dengan krayon warna-warni. Tangannya kecil, tapi imajinasinya besar. Aku berusaha tersenyum, meski mataku menyimpan gelisah yang sulit disembunyikan."Mama, lihat!" serunya riang sambil menunjukkan gambar. Sebuah lingkaran dengan beberapa kotak di bagian kelilingnya."Apa ini bianglala yang kita naiki kemarin?" tanyaku, berusaha menebak gambarnya sekaligus mengalihkan pikiranku untuk fokus pada keluarga.Revan mengangguk dengan senyum lebar. Lalu melanjutkan lagi menggambar permainan lain yang ada dalam imajinasinya.Sejujurnya aku
Dan itu pukulan telak.Aku tak bisa menolak Revan. Anak itu terlalu manis, terlalu polos untuk jadi korban dalam sandiwara orang dewasa. Maka, meski batinku berkecamuk, aku mengangguk perlahan."Baiklah," jawabku akhirnya.Kak Rafael tersenyum lega. Membuatku ikut merasakan hal yang sama. Tapi sayangnya masih ada sesuatu yang mengganjal dalam perasaanku, yaitu Amelia.***Akhir pekan datang dengan langit cerah dan tawa anak-anak yang riuh di sekitar taman hiburan. Aku berdiri di samping Kak Rafael dan Revan yang sedang mengantre untuk naik komidi putar. Revan melompat-lompat kecil, menggenggam tangan Kak Rafael, lalu menarikku agar ikut bersama mereka."Aku mau duduk di kereta!" katanya ceria.Aku tersenyum, mengangguk, lalu mengikuti mereka. Di sepanjang wahana, Kak Rafael tak henti-hentinya menunjukkan perhatian—menawarkan air minum, memakaikan topi Revan, bahkan beberapa kali dengan sengaja menyentuh pundakku saat berjalan terlalu dekat.Aku mencoba menjauh, menjaga jarak. Tapi Rev
"Halo, Ra."Suaranya terdengar, tapi kegugupanku masih belum sepenuhnya hilang.Kuhembus napas panjang lalu dengan nada pelan aku bertanya, "Halo, Kak Rafael. Apa bisa kita bertemu hari ini? Sepertinya ada masalah kecil yang harus kita selesaikan bersama."Aku menggigit bibir ragu. Masih tidak yakin dengan apa yang baru saja kukatakan padanya. Padahal aku berusaha keras menghindar agar tidak lagi melibatkannya dalam masalahku. Tapi tetap saja, aku memang tak punya pilihan untuk menyelesaikannya sendiri. Aku butuh pendapatnya untuk masalah ini."Masalah kecil?" tanyanya dengan nada penasaran di seberang telepon."Aku akan jelaskan saat kita bertemu," jawabku dengan suara bergetar ragu.Entahlah, setelah berusaha keras menghindar dan kini harus kembali mendekat, aku merasa sulit mengontrol debaran jantungku yang terus berdegup kencang. Aku merasa seperti orang jahat yang hanya butuh bantuannya saat terdesak."Baiklah, di cafe seperti biasa siang ini. Bagaimana?" tanyanya."Tidak masalah