Kalau boleh memilih, aku tidak ingin terjebak dalam situasi sulit seperti ini, pura-pura tidak tahu tentang Bang Ayas padahal kemarin malam kami bertemu. Aku merasa jahat sekali karena diam saja ketika Acha terus-terusan mengeluhkan kerinduannya pada kakak sulungnya itu. "Bang Ayas kan udah gede, Cha. Dia pasti tau mana yang terbaik buat dirinya." Hanya kalimat bernada seperti itu yang aku ucapkan untuk menenangkan Acha. Gadis bermata belo itu menghela napasnya dalam-dalam. "Kamu nggak tau rasanya punya abang sih, Va."Aku tersenyum getir. Sekeras apa pun aku berusaha menyelami hati Acha, aku tak akan pernah merasakan sedalam apa kesedihannya saat ini. Tapi, kalau tentang rindu, aku juga rindu ingin punya kakak yang bisa mengayomi dan menasehatiku layaknya teman sebaya. Aku adalah anak pertama yang dilahirkan Ibu, meski bukan pertama yang hadir di rahimnya. Ibu pernah mengalami keguguran sebanyak dua kali sebelum akhirnya aku hadir melengkapi kebahagiaannya. Dan setelah itu, karena
Aku pikir, Bang Ayas hanya bercanda. Dia tidak mungkin pulang ke rumah orang tuanya hanya karena kusuruh. Tapi, kenyataannya, lelaki itu memang tidak bohong. Pagi ini, dia mengantar Acha ke kos-kosanku untuk berangkat ke kampus bersama. "Memangnya Bang Ayas pulang kapan?" tanyaku sesaat setelah Acha memberitahu kalau dia ke sini diantar oleh Bang Ayas. "Semalam," jawab Acha dengan entengnya. Dia duduk di kasur, menungguku yang sedang memakai parfum. Aku yang tadinya menghadap cermin, refleks menoleh, "Semalam?" Dengan entengnya, Acha mengangguk. "Iya. Jam sebelas kalo nggak salah."Aku meletakkan botol parfum ke meja sembari mengingat-ingat kejadian semalam. Kalau tidak salah, Bang Ayas mengakhiri video call sekitar pukul setengah sebelas, tepat setelah aku pamit tidur. Apa itu artinya Bang Ayas langsung pulang ke rumah orang tuanya? Aku tidak GR. Aku hanya ikut senang melihat wajah Acha pagi ini berseri-seri. Senyumnya mengembang sepanjang jalan, bahkan saat menuruni tangga kos-
Kata Pak Kyai, bohong itu dosa. Bisa membuat kita masuk neraka. Aku juga takut berbohong karena kalau ketahuan, Ibu akan mencubit lenganku sampai memar. Eits … tapi hal itu tidak berlaku kalau sedang dalam keadaan kepepet. Seperti sekarang ini, jujur sama saja hancur. Maka, dengan sangat terpaksa aku berdusta kepada Acha. Janji, besok nggak lagi-lagi ya Allah ….Aku tahu, aku bukan pembohong ulung. Jadi alasan yang kuberikan kepada Acha terkesan tidak masuk akal. "Bang Ayas cuma mau lihat kuteksku kok. Iya kan, Bang?"Acha memicing, menatap penuh curiga. Sialnya, Bang Ayas hanya diam saja. Boro-boro menimpali, dia malah sibuk mengemudi seolah-olah tidak mendengar apa yang tadi kukatakan. Tentu saja Acha tidak percaya begitu saja. Tapi, setelah melihat aku menggunakan warna cat kuku yang berbeda dari biasanya, dia ikut berkomentar, "Oh, iya. Cakep."Huh! Tidak sia-sia aku ganti warna cat kuku dari yang biasanya nude atau kuning muda, sekarang putih. Meski Acha sepertinya masih puny
Menurutku, kekhawatiran Bang Ayas mungkin sama seperti apa yang dirasakan Tante Fatma. Wanita itu pun mengatakan selalu mencemaskan aku yang hidup sendirian di Jakarta. Makanya, beliau sering mengirim makanan agar aku tidak kelaparan. Seperti sore ini, Tante Fatma pun repot-repot mampir ke kosan hanya untuk mengantar bittersweet dari sebuah toko kue kenamaan. Wanita itu mengaku ingat padaku ketika membelikannya untuk Acha. "Wah, repot-repot, Tante." Aku menerima paper bag dari tangan Tante Fatma dengan canggung. "Enggak. Kebetulan Tante ada arisan di dekat sini, jadi sekalian mampir sambil nengok kamu. Sudah lama lho kita nggak ketemu," kata wanita itu dengan ramah, kemudian menyentuh lenganku. "Kok, nggak pernah main ke rumah?"Di lobi kos-kosan ini cukup lengang. Hanya dilintasi beberapa penghuni yang baru pulang kuliah dan langsung naik ke lantai atas. Bukan suatu hal yang aneh kalau ada tamu di lobi karena sudah terbiasa bagi kami. Jadi, kehadiran Tante Fatma tidak menyedot per
Kelopak mataku selengket permen karet. Rasanya susah sekali dibuka. Namun, meski masih terpejam aku meraba kasur untuk mencari ponsel. Benda itu rupanya tergeletak tak jauh dari bantal yang kutempati. Karena ingat ponsel dalam kondisi mati, maka aku menekan tombol power. Aku ingat biasanya pagi-pagi sekali grup anak-anak bisnis digital sudah ramai. Entah membahas tugas atau sekadar menggibahi dosen.Ups! Kalau urusan menggibahi dosen sih aku cukup menyimak saja. Takut salah bicara dan ada yang iseng menangkap layar, lalu melaporkan kepada dosen yang bersangkutan. Apa bukan cari mati namanya? Aku mengerjap beberapa kali untuk menatap layar ponsel yang sudah menyala. Beruntung pagi ini tidak ada kelas sehingga aku masih punya waktu untuk bermalas-malasan di kasur. Sewaktu masih sibuk menyimak obrolan teman-teman di grup, tiba-tiba Acha video call. Entah kesambet setan apa anak itu menelepon sepagi ini. Tumben sekali. Aku duduk malas di kasur sebelum akhirnya mengusap ikon hijau di la
Entah mengapa aku merasa bersalah karena sudah memanfaatkan Bang Ayas demi menyelamatkan egoku di depan Agam. Dan sekarang, aku bimbang antara harus jujur dan meminta maaf, atau membiarkan semuanya berlalu begitu saja tanpa diluruskan. Aku menatap dimsum yang dibawa Bang Ayas kemarin sore dan juga bittersweet pemberian Tante Fatma. Keduanya disimpan oleh Tante Elin di lemari pendingin. "Dia pulang jam sembilan, lho, Va." Tante Elin yang kebetulan datang siang ini. Ada senyum tipis yang menghiasi wajahnya. "Lain kali jangan kayak gitu, deh. Kalo ada masalah, cepat selesaikan. Tante lihat sepertinya dia baik dan bertanggung jawab," sambung wanita yang mengenakan midi dress hitam. Aku menyalakan microwave untuk menghangatkan dimsum. Sayang kalau harus dibuang karena masih layak makan. "Kami nggak ada hubungan apa-apa, Tante."Sepertinya, aku harus meluruskan hal ini. Tante Elin tidak boleh terus-terusan menganggap Bang Ayas adalah calon suamiku. "Dia kakaknya Acha. Tante tau Acha, ka
Aku tidak tahu pasti sejak kapan chat dan telepon dari Bang Ayas menjadi hal yang paling aku tunggu sepanjang hari. Aku tidak tahu mengapa obrolan kami menjadi begitu hangat dan menyenangkan setiap malam. Anehnya, aku tidak bisa tidur sampai pagi jika belum mendengar suaranya dan melihat senyumnya. Mungkin, aku sudah gila. Atau terjangkit virus langka yang membuat tempurung kepalaku seperti dijejali bayang-bayang Bang Ayas. Dan yang paling konyol adalah aku ingin menjadi alasan bagi pria jutek itu tersenyum. Entahlah, aku merasa melambung ke nirwana setiap kali Bang Ayas mengulas senyum meskipun hanya setipis kulit ari. Siapa pun, tolong jelaskan apa yang sedang kurasakan sekarang ini? Aku mohon, bilang kalau ini bukanlah cinta. Iya, kan? Aku tidak mungkin jatuh cinta kepada Bang Ayas. Itu adalah mantra yang selalu kurapalkan di setiap pertemuan kami. Aku hanya … merasa nelangsa kalau tidak bisa menjumpainya di mana-mana; di parkiran fakultas ekonomi, di deretan notifikasi, ataupun
"Kita ke dokter, ya?"Sembari memegangi selimut, aku menggeleng. Hanya demam biasa dan sepertinya akan sembuh setelah dibawa tidur. Kalau bukan atas desakan Bang Ayas yang melihatku masih meringkuk di kasur ketika kami video call, aku pun tak akan mengaku sakit. "Terus saya harus gimana biar bisa ketemu kamu? Memangnya boleh masuk ke kamar?"Lagi-lagi pertanyaan Bang Ayas kurespons dengan gelengan. Di kos-kosan ini, Tante Elin melarang keras laki-laki masuk kamar. Bahkan petugas kebersihan yang berada di sini juga perempuan paruh baya yang sudah sangat terpercaya. Berani menerobos masuk kamar sama saja cari mati, satpam tidak akan segan-segan menyeret ke luar. "Resva, saya harus gimana?"Aku bergumam saja. Memangnya harus bagaimana? Bang Ayas tidak perlu melakukan apa pun meski semua ini bisa dibilang karena ulahnya kemarin sore. Jika mengingat itu, rasanya suhu tubuhku semakin naik. Bisa-bisanya aku diam saja waktu dicium. Kami kan tidak pacaran! Oke. Ini aneh sekali. Bang Ayas