Resva sama sekali tidak percaya dengan yang namanya kutukan. Apalagi jika yang mengutuknya adalah perjaka tua seperti Ayas. Namun, serentetan kejadian membuat Resva mendadak ketakutan kalau di dunia ini memang tidak akan ada laki-laki yang mau menikah dengannya. Apakah Resva akan menerima Ayas, atau memilih menjomblo seumur hidup?
View More"Naksir Bang Ayas?" Aku tergelak. "Maaf ya, Cha, seleraku bukan om-om!"
Enak saja. Biarpun jomblo, aku tidak seputus asa itu untuk berganti selera. Mana mungkin aku tertarik kepada laki-laki yang sembilan tahun lebih tua dariku. Gila! "Tapi, Bang Ayas ganteng," kata Acha. "Kali aja kamu naksir.""Gantengan juga JungKook," sahutku. Mau seganteng apa pun kalau usianya terpaut jauh pasti akan dianggap jalan sama om-om. Selain itu, berhubungan dengan laki-laki yang lebih tua pasti tidak akan nyambung karena pemikirannya kolot. ukannya romantis malah akan didikte dalam segala urusan. Acha tidak sedang mencomblangkan aku dengan kakak sulungnya. Tidak. Malahan dari kemarin dia gusar karena takut aku akan terpesona dengan Bang Ayas. "Pokoknya awas aja kalo kamu naksir Bang Ayas. Aku nggak mau kita jadi ipar dan rebutan warisan dari Mama." Tidak tanggung-tanggung, Acha sampai mengetukkan ujung sendok ke permukaan meja ketika memberi peringatan yang kesekian kalinya kepadaku. Kuah bakso di mangkuknya nyaris tumpah akibat ulahnya itu. Dengan entengnya aku mengangguk sembari mengunyah mie goreng. Walaupun belum pernah bertemu langsung dengan Bang Ayas, tapi aku yakin kalau tampang lelaki itu tidak seganteng aktor-aktor Korea. Lagi pula, semempesona apa orang yang sudah berkepala tiga? Pasti gayanya sudah seperti bapak-bapak yang perutnya buncit. Nama Ayas tidak asing di telingaku sejak berteman dengan Acha tiga tahun lalu. Bahkan dari apa yang Acha ceritakan, aku sedikit tahu bagaimana kehidupan abang sulungnya itu. Bang Ayas—mau tak mau aku ikut menyebut demikian—sudah bertahun-tahun hidup di Kalimantan. Laki-laki itu bekerja di sebuah perusahaan tambang dan katanya sekarang memutuskan untuk resign agar bisa meneruskan usaha kedua orang tuanya. Sudah menjadi rahasia umum kalau orang tua Acha adalah juragan tekstil. Jadi, sangat wajar kalau Bang Ayas kemudian memilih resign ketimbang menjadi karyawan terus-terusan meski jabatannya di perusahaan tambang cukup mentereng. Kata Acha, abangnya itu sudah lelah berkelana dan ingin dekat dengan keluarga. Acha memang berasal dari keluarga yang berkecukupan. Meski begitu dia tipe orang yang humble dan mau berteman dengan siapa saja termasuk rakyat jelata sepertiku. Ibaratnya, aku dan Acha itu seperti bumi dan langit. Hidupnya dipenuhi gemerlap bintang, sedangkan aku harus puas tinggal di kos-kosan setelah Ayah meninggal dan Ibu memilih hidup di Semarang. Mungkin karena itu juga orang tua Acha sangat menyayangiku. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik dan sering memintaku datang berkunjung ke rumahnya. Seperti malam ini, Tante Fatma meminta Acha untuk mengajak aku mampir. Katanya, beliau masak banyak. Tidak hanya kali ini saja Tante Fatma memintaku mampir hanya untuk sekadar makan malam. Terkadang beliau malah menitipkan kudapan kepada Acha saking takutnya aku kelaparan di kos-kosan. Aku jadi bertanya-tanya, apa tampangku seperti orang yang jarang makan? Tante Fatma menyambut dengan senyum semringah begitu aku dan Acha datang. Wanita yang jarang di rumah itu mengajak aku duduk di ruang tengah sembari menunggu waktu makan malam tiba. Selama hampir tiga puluh menit berbincang, tiba-tiba Tante Fatma pamit untuk menerima telepon. Sementara Acha masih berada di kamar karena sedang mandi terlebih dahulu. Layar televisi yang sebelumnya dinyalakan Tante Fatma masih menampilkan acara talk show. Namun, karena tidak suka menonton acara-acara televisi seperti itu, aku memilih untuk bermain ponsel, membaca beberapa komentar di sebuah foto yang aku unggah tadi siang. Derap langkah seseorang menuruni tangga membuat aku mendongak. Dari caranya melangkah, sebenarnya aku tahu itu bukan Acha. Namun, sebagai tamu, tentu aku tidak mungkin akan tetap bermain ponsel jika nanti ada orang lain di ruangan ini. Aku sudah mengenal sebagian besar anggota keluarga Acha. Dari abangnya yang nomor dua sampai adik bungsunya yang masih duduk di bangku SMP. Jadi, aku menebak kalau laki-laki yang saat ini sedang menuruni tangga adalah Bang Ayas. Aku bangkit dari duduk dan mengulas senyum semanis mungkin ketika orang yang aku tebak sebagai Bang Ayas itu menghentikan langkah di undakan tangga paling bawah. "Bang Ayas, ya?" sapaku penuh percaya diri. "Aku Resva, temannya Acha."Laki-laki itu berdiri kaku. Hanya bola matanya saja yang bergerak seolah-olah memindaiku dari atas sampai bawah. Jujur saja dipandangi seperti itu membuat aku risi dan salah tingkah. Aku refleks pmerapikan rambut dan juga memandangi pakaian yang kukenakan, barangkali ada hal aneh. Tapi, aku merasa penampilanku layak untuk bertamu. Aku mengenakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kardigan. Jadi salahnya di mana? "Temannya Acha?" tanya Bang Ayas dengan suaranya yang terdengar dingin dan datar. Dengan gugup, aku mengangguk. "Iya, Bang," jawabku dengan senyum yang tetap berkembang. Namun, detik berikutnya sudut bibirku menciut karena laki-laki itu kembali bersuara. "Saya bukan abang kamu." Tadinya, aku pikir ucapan itu hanya candaan. Jadi, aku malah tertawa. Tapi, ternyata tatapan Bang Ayas terasa lebih tajam ketimbang sebelumnya. Bang Ayas seakan menunggu tawaku benar-benar hilang sebelum akhirnya dia kembali mengayunkan kaki. Ketika melintas tepat di depanku, dia bergumam, "Ganjen."Tidak terlalu keras, tapi telingaku masih berfungsi dengan baik sehingga bisa mendengarnya. Dan dipastikan ucapannya barusan ditujukan kepadaku. Memangnya untuk siapa lagi? Kalau tidak sedang bertamu, atau diperlakukan seperti itu di luar rumah, tentu aku tidak segan-segan untuk berteriak dan melempar kepala Bang Ayas menggunakan vas bunga. Memangnya dia siapa? Berani-beraninya mengataiku ganjen! Pantas saja tidak laku-laku. Hanya perempuan gila yang mau hidup dengan laki-laki mulutnya sepedas Bon Cabe. Saking kesalnya dibilang ganjen, tanpa sadar aku berujar, "Dasar bangkotan!"Aku pikir, Bang Ayas tidak mendengar karena dia sudah meninggalkan ruang tengah. Namun, ternyata dia berhenti di ambang pintu yang terhubung ke ruang tamu. Laki-laki itu berbalik. Menatapku lebih tajam, seperti burung elang yang hendak memangsa anak ayam. Nyaliku mendadak seciut daun kelor. Bisa-bisanya aku seceroboh ini, mengumpati tuan rumah yang sedang aku singgahi. Kalau Acha atau Tante Fatma tahu, pasti mereka akan sangat kecewa kepadaku. Aku mengusap tengkuk yang tiba-tiba meremang. Sumpah, tampang Bang Ayas jauh lebih seram ketimbang hantu jeruk purut. "Tadi bilang apa?" tanya Bang Ayas. "Saya bangkotan?"Bodoh sekali kalau aku mengangguk, kan? Tapi, bukankah akan lebih konyol kalau aku mengelak karena jelas-jelas tadi memang berkata begitu? Lagi pula, bukankah seharusnya kami impas? Wajar kan kalau aku emosi dikatai ganjen? Bang Ayas mendekat dan berhenti sekitar tiga langkah dari tempatku berdiri. Sementara, aku hanya bisa menunduk. "Dengar baik-baik." Walaupun pelan, tapi suara laki-laki itu terdengar seperti sedang mengancam. "Nggak akan ada laki-laki yang mau menikahi kamu kecuali saya."Aku refleks mendongak, tapi laki-laki itu lebih dulu melenggang pergi.Sialan! Memangnya dia pikir, ucapannya itu akan dikabulkan Tuhan? Aku yakin, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tidak mungkin memberiku jodoh perjaka tua! Dan kalaupun di dunia ini tidak ada laki-laki yang mau menikahiku, aku lebih baik jomblo seumur hidup ketimbang harus menikah dengan manusia seperti Bang Ayas! ***Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan
Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka
Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d
Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k
"Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut
Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments