"Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut
Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k
Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d
Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka
Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan
"Naksir Bang Ayas?" Aku tergelak. "Maaf ya, Cha, seleraku bukan om-om!"Enak saja. Biarpun jomblo, aku tidak seputus asa itu untuk berganti selera. Mana mungkin aku tertarik kepada laki-laki yang sembilan tahun lebih tua dariku. Gila! "Tapi, Bang Ayas ganteng," kata Acha. "Kali aja kamu naksir.""Gantengan juga JungKook," sahutku. Mau seganteng apa pun kalau usianya terpaut jauh pasti akan dianggap jalan sama om-om. Selain itu, berhubungan dengan laki-laki yang lebih tua pasti tidak akan nyambung karena pemikirannya kolot. ukannya romantis malah akan didikte dalam segala urusan. Acha tidak sedang mencomblangkan aku dengan kakak sulungnya. Tidak. Malahan dari kemarin dia gusar karena takut aku akan terpesona dengan Bang Ayas. "Pokoknya awas aja kalo kamu naksir Bang Ayas. Aku nggak mau kita jadi ipar dan rebutan warisan dari Mama." Tidak tanggung-tanggung, Acha sampai mengetukkan ujung sendok ke permukaan meja ketika memberi peringatan yang kesekian kalinya kepadaku. Kuah bakso di
Sepulangnya dari rumah Acha, aku berdoa agar tidak dipertemukan lagi dengan Bang Ayas. Kalian tahu kenapa? Karena selain mulutnya sepedas Bon Cabe, tampangnya yang sedatar papan gilesan itu membuat aku rasanya ingin membenturkannya ke meja makan. "Tapi, ganteng kan, Va?"Aku tidak tahu kenapa Acha terus-terusan meminta pendapatku tentang abang sulungnya yang menyebalkan itu. Salahku sendiri, semalam mengatakan kalau tampang Bang Ayas lumayan. Ya memang, laki-laki itu tidak jelek, tidak akan memalukan jika diajak ke kondangan. Tapi, mengingat mulutnya sepedas Bon Cabe, membuat aku ilfeel setengah mati. "Kalo cantik, bukan cowok dong, Cha," sahutku sekenanya. Aku tidak mungkin mengatakan kepada Acha kalau abang yang selalu dibangga-banggakan itu sangat menyebalkan. Setelah mengutuk agar tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku, ketika makan malam bersama pun Bang Ayas sesekali menyeringai setiap kali mata kami berserobok. Boro-boro ada love at the first sight, yang ada justru en
Siapa pun tolong jelaskan padaku, apa batasan ramah terhadap seseorang? Apakah membalas senyum dan menerima ajakan menonton bisa dikatakan genit? Bukankah genit adalah ketika kita sengaja mencari perhatian dari orang lain dan berusaha menggodanya? Bang Ayas adalah makhluk paling aneh yang aku temui sepanjang hidup dua puluh dua tahun di dunia ini. Baru bertemu dua kali, dia sudah berani ikut campur dan seolah menjadi orang yang paling tahu tentang aku. "Jangan ge-er," ucap Bang Ayas. "Saya tidak cemburu."Dih. Siapa juga yang ge-er! Kalaupun dia cemburu, bukankah sangat aneh? Ingat, kami baru kenal. Ya, walaupun namanya sudah tidak asing lagi bagiku, tapi tetap saja dia adalah alien yang tidak seharusnya muncul ke kehidupanku. "Saya nggak mau Acha terkontaminasi kegenitan kamu."Sumpah. Menyumpal mulut om-om dosa nggak, sih? Asal tahu saja, Acha jauh lebih ekspresif dan antusias jika berinteraksi dengan lawan jenis. Sifatnya yang supel membuat dia mudah bergaul dan memiliki banyak