Beranda / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 4. Memperkenalkan Diri

Share

Bab. 4. Memperkenalkan Diri

Penulis: PopuJia
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-08 03:38:49

Semoga saja tekad untuk menyapa tidak menguap saat tiba di sana. Meski aku dan Berlian sudah berteman sejak lama, bukan berarti aku tidak akan canggung. Perjalanan waktu sudah mengikis keakraban itu, apalagi status sudah berbeda. Dia wanita bersuami, dan aku, lelaki lajang di usia terlampau dewasa.

"Assalamu alaikum, Dok," sapa dokter Andi yang mendampingiku di kamar operasi. 

"Waalaikum salam. Gimana, semua sudah siap?" tanyaku setelah tiba di rumah sakit dan berganti pakaian.

"Sudah, Dok."

"Baik, mari kita mulai. Seperti biasa, kita berdoa semoga Allah memudahkan semuanya. Amiin." 

Setelah itu kami mulai bekerja. Aku mencoba fokus sebelum menyuntikkan anestesi epidural, namun entah kenapa tiba-tiba tanganku gemetar.

"Maaf, Dok. Anda baik-baik saja?" 

Aku menghela napas. "Iya, i'm ok."

Lalu, kami melanjutkan tugas kembali setelah sempat terjeda sekian menit, sebab ingatanku yang tak bisa diajak kompromi. Bertahun-tahun aku melakukan tugas yang sama pada pasien dengan kasus serupa, tetapi, baru kali ini kurasakan pengalaman paling tidak biasa, gemetaran saat tangan sudah memegang jarum suntik. Aneh.

Apa mungkin karena aku memikirkan Berlian? Bisa saja karena dia. Bukan alasan yang lain.

Akhirnya tindakan operasi selesai, aku terduduk di kursi sembari menunduk. Lagi, perawat tadi menanyaiku. "Dok, sepertinya anda sakit, maaf."

"Ehm, tidak, aku baik-baik saja, insya Allah." Aku menepis dugaannya sembari mengangkat wajah dan menegakkan punggung.

"Soalnya, gak biasa Dokter Hasyim begini," Benar sekali, tak pernah aku begini, bahkan dalam kondisi genting sekalipun.

"Iya, mungkin kurang istirahat aja."

"Maaf, kalau begitu, silakan Dokter istirahat dulu, operasi ini kan udah kelar, pasien sudah diambil alih sama Dokter Obgyn."

"Iya. Makasih, Sus."

"Kalau begitu, kami permisi dulu, Dok." Perawat itu minta izin pamit lebih dulu.

"Ehm, tunggu!" Cegahku

"Iya, Dok?"

"Pasien atas nama Pak Ichwan Noor, bagaimana kondisinya?"

"Oh, beliau sudah di pindahkan ke kamar VIP Anggrek nomor tiga."

"Kondisi terakhir, bagaimana?"

"Masih sangat lemah, kondisinya terus dipantau, Dok."

"Ok. Berikan pelayanan terbaik untuk beliau."

"Maaf, Dokter kenal bapak itu?"

 

"Kenal atau tidak, semua pasien berhak mendapatkan layanan paling terbaik di rumah sakit ini."

"Tentu saja, Dok."

"Ya sudah, kembali bekerja!" 

Mereka beranjak dan aku pun ke ruanganku. Kembali memeriksa data pasien dalam dua hari ini, termasuk suami Berlian yang belum sampai dua puluh empat jam kami tangani, ada penyakit beliau yang menyulitkannya dalam kondisi tertentu, pneumonia akut. 

Berlian, wanita yang paling berjasa dalam hidupku terhadap pencapaian sampai hari ini. Ia rela mengubur mimpi karena kondisi kesehatannya, bahkan mengikhlaskan sakitnya agar sang ayah tak menuntutku, si pelaku dari rusaknya penglihatan puterinya.

Makanya, aku tak mudah melupakannya begitu saja, terlebih lagi pasal perasaan yang lebih dulu ada. Rasa yang selalu gagal aku utarakan padanya.

Itulah sebabnya aku menyebut dia wanita istimewa, namanya menghiasi hatiku, dan perbuatan baiknya menyelamatkan masa depanku. Di mana aku akan mendapatkan wanita seperti dia, tidak akan pernah ada.

Ah, mengapa aku terus kepikiran, padahal sebelum bertugas sudah bertekad dari rumah akan menyapanya dan berterus terang, tetapi, kok lidahku terasa kelu. 

Terdiam aku sesaat, memejamkan mata, mencoba menimbang, apakah langkahku sudah benar atau tidak. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menemuinya, menyapa, bertanya kabar, dan berbincang. Sekarang!

Langkah kuayun menuju kamar VIP Anggrek nomor tiga, sekitar lima puluh meter dari tempatku saat ini. Sesekali tarikan napas terdengar berat lalu kuhempaskan kembali, berharap bisa mengurangi rasa grogi yang mulai menyerang.

Perawat di kamar VIP langsung mendekat begitu melihatku hendak ke salah satu kamar pasien. 

"Maaf, Dok, ada yang bisa dibantu?" 

"Tidak, aku hanya ingin menjenguk kerabat di sini, kamar nomor tiga."

"Baik, Dok. Jam besuk tinggal sepuluh menit lagi."

"Iya, tolong diingatkan kalau terlewat," ucapku sembari memamerkan senyum maskulin.

"Siap, Dok."

Aku sudah berdiri tepat di depan kamar nomor tiga, pelan kuangkat lengan, lalu mengetuk daun pintu berwarna cokelat. Sekali, dua kali, tiga kali, belum ada sahutan dari dalam. Oh, aku salah waktu, mungkin mereka sedang istirahat, dugaanku kuat akan itu. Dengan berat, kubalikkan badan hendak kembali ke ruangan, namun baru tiga langkah, seseorang membuka pintu.

"Ya?"

Sontak aku menoleh. "Maaf, aku yang barusan ketuk pintu," ucapku pada wanita yang tengah berdiri tepat di hadapanku

"Iya, Dok. Maaf, telat bukainnya."

"Tidak apa, boleh aku liat pasiennya sebentar?"

"Tentu saja, mari, silakan!" Dengan sopan dia mempersilakan masuk.

Di atas brankar Pak Ichwan sudah terlelap dengan selang infus di tangan, juga ada anak lelaki usia remaja sedang tilawah al qur'an dengan nada lirih, dan Pak Makkatutu yang langsung berdiri begitu melihat kedatanganku, mungkin disangka aku dokter yang sedang visit room. 

Kumulai dengan menanyakan kabar terbaru suami Berlian, juga mendengarkan kronologi kecelakaan hingga lelaki itu tiba di rumah sakit ini.

Dia menjelaskan dengan runut. Saat ini mereka ada agenda di kota Makassar. Ketika tengah berkendara, suami Berlian ingin membeli sesuatu di seberang jalan, saat menyeberang, laju motor sport dari arah kiri tak terkendali dan menghantam tubuh suaminya.

Berlian menjeda seolah ambil napas, lalu terisak. "Aku melihat langsung tubuh suamiku terkapar di aspal," isaknya dengan menundukkan wajah. 

"Untunglah di sekitar TKP ada polisi yang bertugas dan langsung memberikan pertolongan. Alhamdulillah," ucapnya mengenang peristiwa kecelakaan tadi siang.

Hening sesaat.

"M-maaf, apa suamiku perlu diperiksa lagi?" 

"Oh, tidak, m-maksudku sudah ada dokter yang menangani khusus penyakit beliau, aku yang bagian anestesi saat operasi."

"Anestesi?" tanya Berlian seolah-olah berusaha mengingat sesuatu

"Iya, aku yang menangani beliau tadi siang di kamar operasi."

Suaraku mulai terdengar serak, bisa dipastikan jika itu bersumber dari rasa grogi hebat. Tapi, tak apa. Sudah kubulatkan tekad untuk membuka identitas diri. Sekarang juga.

"Apa kamu tidak mengenalku?" tanyaku langsung pada intinya. Sebenarnya perasaan ini teramat grogi, makanya aku bertanya langsung biar tidak berlama-lama di sini.

"Maaf, siapa ya? Bukannya lancang, tapi kami tidak punya kenalan dokter di rumah sakit ini," jawabnya sembari menatap ke arah Pak Makkatutu, lalu diikuti anggukan dari bapaknya sebagai tanda setuju.

Dengan jantung yang berirama hebat, pelan kulepas kacamata di hidung bangir ini, lalu melepas tali masker sebelah kiri, selanjutnya sebelah kanan, dan akhirnya terbuka sempurna. Wajahku terpampang dengan jelas. Berlian dan Pak Makkatutu tercengang, mata mereka membulat dan bersorak bersamaan.

"Hasyiiiiim."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status