Share

Bab. 4. Memperkenalkan Diri

Semoga saja tekad untuk menyapa tidak menguap saat tiba di sana. Meski aku dan Berlian sudah berteman sejak lama, bukan berarti aku tidak akan canggung. Perjalanan waktu sudah mengikis keakraban itu, apalagi status sudah berbeda. Dia wanita bersuami, dan aku, lelaki lajang di usia terlampau dewasa.

"Assalamu alaikum, Dok," sapa dokter Andi yang mendampingiku di kamar operasi. 

"Waalaikum salam. Gimana, semua sudah siap?" tanyaku setelah tiba di rumah sakit dan berganti pakaian.

"Sudah, Dok."

"Baik, mari kita mulai. Seperti biasa, kita berdoa semoga Allah memudahkan semuanya. Amiin." 

Setelah itu kami mulai bekerja. Aku mencoba fokus sebelum menyuntikkan anestesi epidural, namun entah kenapa tiba-tiba tanganku gemetar.

"Maaf, Dok. Anda baik-baik saja?" 

Aku menghela napas. "Iya, i'm ok."

Lalu, kami melanjutkan tugas kembali setelah sempat terjeda sekian menit, sebab ingatanku yang tak bisa diajak kompromi. Bertahun-tahun aku melakukan tugas yang sama pada pasien dengan kasus serupa, tetapi, baru kali ini kurasakan pengalaman paling tidak biasa, gemetaran saat tangan sudah memegang jarum suntik. Aneh.

Apa mungkin karena aku memikirkan Berlian? Bisa saja karena dia. Bukan alasan yang lain.

Akhirnya tindakan operasi selesai, aku terduduk di kursi sembari menunduk. Lagi, perawat tadi menanyaiku. "Dok, sepertinya anda sakit, maaf."

"Ehm, tidak, aku baik-baik saja, insya Allah." Aku menepis dugaannya sembari mengangkat wajah dan menegakkan punggung.

"Soalnya, gak biasa Dokter Hasyim begini," Benar sekali, tak pernah aku begini, bahkan dalam kondisi genting sekalipun.

"Iya, mungkin kurang istirahat aja."

"Maaf, kalau begitu, silakan Dokter istirahat dulu, operasi ini kan udah kelar, pasien sudah diambil alih sama Dokter Obgyn."

"Iya. Makasih, Sus."

"Kalau begitu, kami permisi dulu, Dok." Perawat itu minta izin pamit lebih dulu.

"Ehm, tunggu!" Cegahku

"Iya, Dok?"

"Pasien atas nama Pak Ichwan Noor, bagaimana kondisinya?"

"Oh, beliau sudah di pindahkan ke kamar VIP Anggrek nomor tiga."

"Kondisi terakhir, bagaimana?"

"Masih sangat lemah, kondisinya terus dipantau, Dok."

"Ok. Berikan pelayanan terbaik untuk beliau."

"Maaf, Dokter kenal bapak itu?"

 

"Kenal atau tidak, semua pasien berhak mendapatkan layanan paling terbaik di rumah sakit ini."

"Tentu saja, Dok."

"Ya sudah, kembali bekerja!" 

Mereka beranjak dan aku pun ke ruanganku. Kembali memeriksa data pasien dalam dua hari ini, termasuk suami Berlian yang belum sampai dua puluh empat jam kami tangani, ada penyakit beliau yang menyulitkannya dalam kondisi tertentu, pneumonia akut. 

Berlian, wanita yang paling berjasa dalam hidupku terhadap pencapaian sampai hari ini. Ia rela mengubur mimpi karena kondisi kesehatannya, bahkan mengikhlaskan sakitnya agar sang ayah tak menuntutku, si pelaku dari rusaknya penglihatan puterinya.

Makanya, aku tak mudah melupakannya begitu saja, terlebih lagi pasal perasaan yang lebih dulu ada. Rasa yang selalu gagal aku utarakan padanya.

Itulah sebabnya aku menyebut dia wanita istimewa, namanya menghiasi hatiku, dan perbuatan baiknya menyelamatkan masa depanku. Di mana aku akan mendapatkan wanita seperti dia, tidak akan pernah ada.

Ah, mengapa aku terus kepikiran, padahal sebelum bertugas sudah bertekad dari rumah akan menyapanya dan berterus terang, tetapi, kok lidahku terasa kelu. 

Terdiam aku sesaat, memejamkan mata, mencoba menimbang, apakah langkahku sudah benar atau tidak. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menemuinya, menyapa, bertanya kabar, dan berbincang. Sekarang!

Langkah kuayun menuju kamar VIP Anggrek nomor tiga, sekitar lima puluh meter dari tempatku saat ini. Sesekali tarikan napas terdengar berat lalu kuhempaskan kembali, berharap bisa mengurangi rasa grogi yang mulai menyerang.

Perawat di kamar VIP langsung mendekat begitu melihatku hendak ke salah satu kamar pasien. 

"Maaf, Dok, ada yang bisa dibantu?" 

"Tidak, aku hanya ingin menjenguk kerabat di sini, kamar nomor tiga."

"Baik, Dok. Jam besuk tinggal sepuluh menit lagi."

"Iya, tolong diingatkan kalau terlewat," ucapku sembari memamerkan senyum maskulin.

"Siap, Dok."

Aku sudah berdiri tepat di depan kamar nomor tiga, pelan kuangkat lengan, lalu mengetuk daun pintu berwarna cokelat. Sekali, dua kali, tiga kali, belum ada sahutan dari dalam. Oh, aku salah waktu, mungkin mereka sedang istirahat, dugaanku kuat akan itu. Dengan berat, kubalikkan badan hendak kembali ke ruangan, namun baru tiga langkah, seseorang membuka pintu.

"Ya?"

Sontak aku menoleh. "Maaf, aku yang barusan ketuk pintu," ucapku pada wanita yang tengah berdiri tepat di hadapanku

"Iya, Dok. Maaf, telat bukainnya."

"Tidak apa, boleh aku liat pasiennya sebentar?"

"Tentu saja, mari, silakan!" Dengan sopan dia mempersilakan masuk.

Di atas brankar Pak Ichwan sudah terlelap dengan selang infus di tangan, juga ada anak lelaki usia remaja sedang tilawah al qur'an dengan nada lirih, dan Pak Makkatutu yang langsung berdiri begitu melihat kedatanganku, mungkin disangka aku dokter yang sedang visit room. 

Kumulai dengan menanyakan kabar terbaru suami Berlian, juga mendengarkan kronologi kecelakaan hingga lelaki itu tiba di rumah sakit ini.

Dia menjelaskan dengan runut. Saat ini mereka ada agenda di kota Makassar. Ketika tengah berkendara, suami Berlian ingin membeli sesuatu di seberang jalan, saat menyeberang, laju motor sport dari arah kiri tak terkendali dan menghantam tubuh suaminya.

Berlian menjeda seolah ambil napas, lalu terisak. "Aku melihat langsung tubuh suamiku terkapar di aspal," isaknya dengan menundukkan wajah. 

"Untunglah di sekitar TKP ada polisi yang bertugas dan langsung memberikan pertolongan. Alhamdulillah," ucapnya mengenang peristiwa kecelakaan tadi siang.

Hening sesaat.

"M-maaf, apa suamiku perlu diperiksa lagi?" 

"Oh, tidak, m-maksudku sudah ada dokter yang menangani khusus penyakit beliau, aku yang bagian anestesi saat operasi."

"Anestesi?" tanya Berlian seolah-olah berusaha mengingat sesuatu

"Iya, aku yang menangani beliau tadi siang di kamar operasi."

Suaraku mulai terdengar serak, bisa dipastikan jika itu bersumber dari rasa grogi hebat. Tapi, tak apa. Sudah kubulatkan tekad untuk membuka identitas diri. Sekarang juga.

"Apa kamu tidak mengenalku?" tanyaku langsung pada intinya. Sebenarnya perasaan ini teramat grogi, makanya aku bertanya langsung biar tidak berlama-lama di sini.

"Maaf, siapa ya? Bukannya lancang, tapi kami tidak punya kenalan dokter di rumah sakit ini," jawabnya sembari menatap ke arah Pak Makkatutu, lalu diikuti anggukan dari bapaknya sebagai tanda setuju.

Dengan jantung yang berirama hebat, pelan kulepas kacamata di hidung bangir ini, lalu melepas tali masker sebelah kiri, selanjutnya sebelah kanan, dan akhirnya terbuka sempurna. Wajahku terpampang dengan jelas. Berlian dan Pak Makkatutu tercengang, mata mereka membulat dan bersorak bersamaan.

"Hasyiiiiim."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status