Share

Bab. 5. Pertemuan Mengharukan

Berlian dan Pak Makkatutu kompak menyebut namaku dengan girang

"Iya, ini aku Hasyim, Lian, Pak," jawabku tak kalah antusias.

Aku mengulurkan tangan pada Pak Makkatutu, tetapi beliau malah merangkulku dengan erat. "Masya Allah, sudah jadi orang hebat kamu, Nak," ucap beliau.

"Alhamdulillah, biasa saja, Pak. Ini semua berkat pertolongan Allah, kemudian orang baik di sekelilingku." 

"Kamu dokter apa?" tanya Berlian menelisik seolah sulit percaya jika yang berdiri di depannya adalah sahabat karib saat masih sekolah.

"Tukang bius-biusin pasien, Lian."

"Owh, anestesi?" jawabnya semangat

"Yup."

"Berarti kamu yang tangani suamiku tadi siang?

"Iya."

Ia bertanya lagi padahal sudah kujelaskan sebelumnya. Mungkin, masih ada rasa tak menyangka jika dokter anestesi itu benar-benar aku orangnya.

Selanjutnya kami terlibat obrolan ringan beberapa menit. Berlian penasaran, bagaimana ceritanya hingga aku bisa mengabdi di rumah sakit besar ini. Tapi, aku bilang, sejarahnya panjang, nanti lain kali dibahas. 

Lalu, aku pamit sebab tak ingin mengganggu istirahat mereka terutama pasien.

"Lian, ini kartu namaku, jika ada apa-apa jangan sungkan, apapun itu, hubungi nomor ini."

"Baik. Makasih, Syim," jawabnya. Hanya Berlian yang memanggilku dengan panggilan akrab seperti itu. Syim, katanya.

"Aku pamit dulu, insya Allah selama suamimu dirawat, aku akan terus memantaunya, banyak-banyaklah berdoa."

"Sekali lagi, makasih, Syim."

"Iya, sama-sama. Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam. Eh, bentar, sampaikan salamku sama istrimu, ya. Kapan-kapan aku mau ngobrol sama dia, boleh?"

"Tentu saja boleh." Aku tersenyum dipaksakan. Habis mau jawab apalagi. Masa iya, aku harus mengakui sekarang jika belum punya isteri. Belum saatnya.

Sungguh, ada rasa yang terlampau lega dalam rongga dada ini. Meski sangat sulit, namun aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan Berlian, dia sudah menikah dan bahagia dengan pilihannya. 

Aku hanya akan jadi perusak jika memperturutkan perasaan dan hal itu tidak akan pernah terjadi.

Aku mencintai Berlian, juga mencintai semua hal yang membuat dia bahagia. Saat ini hingga nanti hanya kesembuhan suaminya lah yang menjadi kebahagiaannya, bukan aku.

Sesederhana itu memang jika ingin berpikir logis. Melepas yang bukan milik kita, meski itu sulit.

Aku terus berjalan menyusuri ruang utama dan menuju parkiran tempat kendaraanku berada. Jam di pergelangan tangan menunjukkan sudah memasuki tengah malam. 

Saatnya pulang setelah menjalankan kewajiban, tapi, tiba-tiba ponselku berdering. Jika larut malam begini, aku tak pernah menunda mengangkat telepon, khawatirnya ada panggilan darurat yang butuh tindakan segera.

Mataku menyipit melihat nama yang tertulis pada layar ponsel. Bidan Nurul.

Siapatahu penting, tidak ada salahnya kujawab.

"Assalamu alaikum," sapaku lebih dulu

"Waalaikum salam," sahutnya dari seberang sana, terdengar seperti sengau, entah pilek atau sebab menangis.

"Iya?"

"Maaf, Dok. Malam-malam mengganggu, tapi, aku gak tau mau hubungi siapa lagi, a-aku, e-ehm…." Kalimatnya terbata-bata.

"Iya, kamu kenapa? Gak perlu sungkan begitu," ucapku menjeda kalimatnya.

Aku dan Bidan Nurul sudah seperti sahabat. Usianya pun sama denganku. Saking akrabnya, teman-teman menganggap kami pasangan serasi, mereka kerap menjodoh-jodohkan. Tapi, itu hanya dari penuturan Dokter Farid, bukan dari rekan sejawat yang lain karena mereka segan denganku yang irit bicara ini.

Kalau Dokter Farid, mulutnya memang lancang jika membahas soal jodoh denganku. Selalu saja aku dibuat salah tingkah.

"Aku ada di kantor polisi sekarang." Nurul menjawab lemah

"Apa?"

"Iya, minta tolong ke sini sebentar, aku dalam masalah!" Nurul sepertinya butuh bantuanku. Intonasi suaranya yang semula lemah dan datar berubah menjadi terburu-buru dan terdengar ketakutan.

Segera aku menghidupkan mesin mobil dan menuju ke kantor polisi, jiwa penasaranku bergejolak. Ada apa? Kok tengah malam Nurul ada di kantor polisi dan sedang dalam masalah?

Kurang dari sepuluh menit, mobilku memasuki area parkiran, tergesa aku keluar dari mobil dan setengah berlari ke ruang pelayanan.

Ada Bidan Nurul sedang tertunduk, tampilannya terlihat kacau. Sesekali ia mengusap airmata dengan tisu yang ada dalam genggamannya.

Di depannya ada dua orang petugas kepolisian sedang menulis sesuatu. Di sebelah Nurul, seorang laki-laki memakai jaket kulit warna hitam duduk tanpa ekspresi, pandangannya kosong, sikunya bertumpu pada meja dan bertopang dagu.

"Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam." Salamku dijawab oleh semua yang ada di ruangan itu, kecuali lelaki di dekat Nurul, ia hanya menoleh lalu memalingkan wajah.

Nurul segera berdiri begitu melihatku masuk ke ruangan. "Makasih, sudah mau datang."

"Iya, sama-sama." Aku menarik kursi plastik dekat pintu lalu duduk menghadap Nurul dan lelaki di sebelahnya.

"Ini ada apa? Kok malam-malam begini kamu ada di kantor polisi?" tanyaku dengan nada setengah berbisik.

"Sini, kita bicara di luar!"

Ia beranjak dan aku pun menyusulnya, kami berdiri di halaman tak jauh dari arah parkiran.

"Maaf, Dok, aku sudah merepotkan, tapi sekali lagi makasih sudah mau datang," ucapnya berterima kasih untuk yang kedua kali

"Iya, ini ada apa?" Aku mulai penasaran.

"Ehm, begini, laki-laki yang di dalam itu, calon suamiku, nah, tadi siang dia nabrak orang. Sayang sekali, bukannya turun bantuin korban yang ditabrak, dia malah melarikan diri, akhirnya dikejar polisi dan tertangkap."

"Jadi?"

"Sialnya, dia melarikan diri ke rumahku, jadi polisi menangkapnya di rumah."

"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" Aku mencoba menawarkan diri meski belum tahu solusi seperti apa yang akan kusarankan.

"Menurut informasi, korban itu sekarang dirawat di rumah sakit Wahidin, keadaannya parah, aku yakin pasti Dokter Hasyim yang menangani korbannya."

Dugaanku langsung melayang pada suami Berlian, beliau korban kecelakaan tabrak lari, dirawat di rumah sakit Wahidin, dan kejadiannya tadi siang. Jangan-jangan, dia orangnya.

"Iya, tadi siang aku menangani korban kecelakaan, lelaki usia 45 tahun."

"Nah, itu dia maksudku! Bisa minta tolong, Dok?" Mata Nurul langsung cerah setelah tahu aku yang menangani korban tabrak lari itu.

"Minta tolong apa?"

"Calon suamiku terkena pasal kelalaian dalam berkendara, dan hampir merenggut nyawa orang lain, kemungkinannya akan ditahan sesuai aturan yang berlaku, belum lagi tuntutan dari pihak korban, itu akan semakin menyulitkannya." Nurul tampak khawatir, rencana pernikahannya akan tertunda jika calon suaminya itu masuk bui.

"Lantas?"

"Bisa tidak, Dok. Dibantu mediasi ke pihak korban, tak perlu menuntut, aku akan membayar semua ganti rugi dan kompensasi yang lain."

"Maksudmu, diselesaikan secara kekeluargaan?"

"Iya."

Mendengar permintaan Nurul, aku langsung membuang napas berat, Nurul sahabat baikku, sebentar lagi akan melepas masa lajang, momen paling istimewa dalam hidupnya. Usia yang sudah tidak muda lagi, membuat ia tak ingin lagi menunda pernikahan. Sekarang, saat yang dinanti sudah ada di depan mata, malah tersandung kasus.

"Bagaimana? Bisa tidak, Dok?" Ia butuh jawaban yang meyakinkan.

"Apa kamu tahu identitas korban?" Aku bertanya agar tidak salah menduga, apakah korban yang dimaksud suami Berlian atau bukan.

"Tadi pihak kepolisian bilang, korban atas nama Pak Ichwan Noor, alamat Pulau Tanakeke." 

Apa? Tenggorokanku seakan tersedak saat ini juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status