Home / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 5. Pertemuan Mengharukan

Share

Bab. 5. Pertemuan Mengharukan

Author: PopuJia
last update Last Updated: 2022-10-08 03:40:51

Berlian dan Pak Makkatutu kompak menyebut namaku dengan girang

"Iya, ini aku Hasyim, Lian, Pak," jawabku tak kalah antusias.

Aku mengulurkan tangan pada Pak Makkatutu, tetapi beliau malah merangkulku dengan erat. "Masya Allah, sudah jadi orang hebat kamu, Nak," ucap beliau.

"Alhamdulillah, biasa saja, Pak. Ini semua berkat pertolongan Allah, kemudian orang baik di sekelilingku." 

"Kamu dokter apa?" tanya Berlian menelisik seolah sulit percaya jika yang berdiri di depannya adalah sahabat karib saat masih sekolah.

"Tukang bius-biusin pasien, Lian."

"Owh, anestesi?" jawabnya semangat

"Yup."

"Berarti kamu yang tangani suamiku tadi siang?

"Iya."

Ia bertanya lagi padahal sudah kujelaskan sebelumnya. Mungkin, masih ada rasa tak menyangka jika dokter anestesi itu benar-benar aku orangnya.

Selanjutnya kami terlibat obrolan ringan beberapa menit. Berlian penasaran, bagaimana ceritanya hingga aku bisa mengabdi di rumah sakit besar ini. Tapi, aku bilang, sejarahnya panjang, nanti lain kali dibahas. 

Lalu, aku pamit sebab tak ingin mengganggu istirahat mereka terutama pasien.

"Lian, ini kartu namaku, jika ada apa-apa jangan sungkan, apapun itu, hubungi nomor ini."

"Baik. Makasih, Syim," jawabnya. Hanya Berlian yang memanggilku dengan panggilan akrab seperti itu. Syim, katanya.

"Aku pamit dulu, insya Allah selama suamimu dirawat, aku akan terus memantaunya, banyak-banyaklah berdoa."

"Sekali lagi, makasih, Syim."

"Iya, sama-sama. Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam. Eh, bentar, sampaikan salamku sama istrimu, ya. Kapan-kapan aku mau ngobrol sama dia, boleh?"

"Tentu saja boleh." Aku tersenyum dipaksakan. Habis mau jawab apalagi. Masa iya, aku harus mengakui sekarang jika belum punya isteri. Belum saatnya.

Sungguh, ada rasa yang terlampau lega dalam rongga dada ini. Meski sangat sulit, namun aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan Berlian, dia sudah menikah dan bahagia dengan pilihannya. 

Aku hanya akan jadi perusak jika memperturutkan perasaan dan hal itu tidak akan pernah terjadi.

Aku mencintai Berlian, juga mencintai semua hal yang membuat dia bahagia. Saat ini hingga nanti hanya kesembuhan suaminya lah yang menjadi kebahagiaannya, bukan aku.

Sesederhana itu memang jika ingin berpikir logis. Melepas yang bukan milik kita, meski itu sulit.

Aku terus berjalan menyusuri ruang utama dan menuju parkiran tempat kendaraanku berada. Jam di pergelangan tangan menunjukkan sudah memasuki tengah malam. 

Saatnya pulang setelah menjalankan kewajiban, tapi, tiba-tiba ponselku berdering. Jika larut malam begini, aku tak pernah menunda mengangkat telepon, khawatirnya ada panggilan darurat yang butuh tindakan segera.

Mataku menyipit melihat nama yang tertulis pada layar ponsel. Bidan Nurul.

Siapatahu penting, tidak ada salahnya kujawab.

"Assalamu alaikum," sapaku lebih dulu

"Waalaikum salam," sahutnya dari seberang sana, terdengar seperti sengau, entah pilek atau sebab menangis.

"Iya?"

"Maaf, Dok. Malam-malam mengganggu, tapi, aku gak tau mau hubungi siapa lagi, a-aku, e-ehm…." Kalimatnya terbata-bata.

"Iya, kamu kenapa? Gak perlu sungkan begitu," ucapku menjeda kalimatnya.

Aku dan Bidan Nurul sudah seperti sahabat. Usianya pun sama denganku. Saking akrabnya, teman-teman menganggap kami pasangan serasi, mereka kerap menjodoh-jodohkan. Tapi, itu hanya dari penuturan Dokter Farid, bukan dari rekan sejawat yang lain karena mereka segan denganku yang irit bicara ini.

Kalau Dokter Farid, mulutnya memang lancang jika membahas soal jodoh denganku. Selalu saja aku dibuat salah tingkah.

"Aku ada di kantor polisi sekarang." Nurul menjawab lemah

"Apa?"

"Iya, minta tolong ke sini sebentar, aku dalam masalah!" Nurul sepertinya butuh bantuanku. Intonasi suaranya yang semula lemah dan datar berubah menjadi terburu-buru dan terdengar ketakutan.

Segera aku menghidupkan mesin mobil dan menuju ke kantor polisi, jiwa penasaranku bergejolak. Ada apa? Kok tengah malam Nurul ada di kantor polisi dan sedang dalam masalah?

Kurang dari sepuluh menit, mobilku memasuki area parkiran, tergesa aku keluar dari mobil dan setengah berlari ke ruang pelayanan.

Ada Bidan Nurul sedang tertunduk, tampilannya terlihat kacau. Sesekali ia mengusap airmata dengan tisu yang ada dalam genggamannya.

Di depannya ada dua orang petugas kepolisian sedang menulis sesuatu. Di sebelah Nurul, seorang laki-laki memakai jaket kulit warna hitam duduk tanpa ekspresi, pandangannya kosong, sikunya bertumpu pada meja dan bertopang dagu.

"Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam." Salamku dijawab oleh semua yang ada di ruangan itu, kecuali lelaki di dekat Nurul, ia hanya menoleh lalu memalingkan wajah.

Nurul segera berdiri begitu melihatku masuk ke ruangan. "Makasih, sudah mau datang."

"Iya, sama-sama." Aku menarik kursi plastik dekat pintu lalu duduk menghadap Nurul dan lelaki di sebelahnya.

"Ini ada apa? Kok malam-malam begini kamu ada di kantor polisi?" tanyaku dengan nada setengah berbisik.

"Sini, kita bicara di luar!"

Ia beranjak dan aku pun menyusulnya, kami berdiri di halaman tak jauh dari arah parkiran.

"Maaf, Dok, aku sudah merepotkan, tapi sekali lagi makasih sudah mau datang," ucapnya berterima kasih untuk yang kedua kali

"Iya, ini ada apa?" Aku mulai penasaran.

"Ehm, begini, laki-laki yang di dalam itu, calon suamiku, nah, tadi siang dia nabrak orang. Sayang sekali, bukannya turun bantuin korban yang ditabrak, dia malah melarikan diri, akhirnya dikejar polisi dan tertangkap."

"Jadi?"

"Sialnya, dia melarikan diri ke rumahku, jadi polisi menangkapnya di rumah."

"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" Aku mencoba menawarkan diri meski belum tahu solusi seperti apa yang akan kusarankan.

"Menurut informasi, korban itu sekarang dirawat di rumah sakit Wahidin, keadaannya parah, aku yakin pasti Dokter Hasyim yang menangani korbannya."

Dugaanku langsung melayang pada suami Berlian, beliau korban kecelakaan tabrak lari, dirawat di rumah sakit Wahidin, dan kejadiannya tadi siang. Jangan-jangan, dia orangnya.

"Iya, tadi siang aku menangani korban kecelakaan, lelaki usia 45 tahun."

"Nah, itu dia maksudku! Bisa minta tolong, Dok?" Mata Nurul langsung cerah setelah tahu aku yang menangani korban tabrak lari itu.

"Minta tolong apa?"

"Calon suamiku terkena pasal kelalaian dalam berkendara, dan hampir merenggut nyawa orang lain, kemungkinannya akan ditahan sesuai aturan yang berlaku, belum lagi tuntutan dari pihak korban, itu akan semakin menyulitkannya." Nurul tampak khawatir, rencana pernikahannya akan tertunda jika calon suaminya itu masuk bui.

"Lantas?"

"Bisa tidak, Dok. Dibantu mediasi ke pihak korban, tak perlu menuntut, aku akan membayar semua ganti rugi dan kompensasi yang lain."

"Maksudmu, diselesaikan secara kekeluargaan?"

"Iya."

Mendengar permintaan Nurul, aku langsung membuang napas berat, Nurul sahabat baikku, sebentar lagi akan melepas masa lajang, momen paling istimewa dalam hidupnya. Usia yang sudah tidak muda lagi, membuat ia tak ingin lagi menunda pernikahan. Sekarang, saat yang dinanti sudah ada di depan mata, malah tersandung kasus.

"Bagaimana? Bisa tidak, Dok?" Ia butuh jawaban yang meyakinkan.

"Apa kamu tahu identitas korban?" Aku bertanya agar tidak salah menduga, apakah korban yang dimaksud suami Berlian atau bukan.

"Tadi pihak kepolisian bilang, korban atas nama Pak Ichwan Noor, alamat Pulau Tanakeke." 

Apa? Tenggorokanku seakan tersedak saat ini juga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 69. Terpasung Rindu

    Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 68. Rindu Tanakeke

    Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 67. Ya, Allah Sembuhkan Isteriku

    "Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status