Share

Bab. 3. Gadis Istimewa Di Masa Lalu

Pak Makkatutu mengusap kepala puterinya penuh kasih sembari menepuk-nepuk pundaknya, semacam memberikan penguatan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Kamu yang sabar, banyak doa, insya Allah suamimu akan sehat seperti semula." Terdengar Pak Makkatutu menenangkan Berlian. Suara berat khas miliknya membuatku seperti kembali ke masa-masa sekolah. 

Beliau yang sering menegur jika main terlalu lama dengan Berlian, beliau juga yang paling sering menanyakan kabar kedua orang tuaku juga rencana-rencana ke depan setelah tamat sekolah.

Saat mereka berlalu dari hadapanku, aku pun berjalan menuju parkiran dengan tungkai kaki yang nyaris lepas. Rasa lelah, kaget, dan patah hati menjadi satu. Ingin segera tiba di rumah, lalu mengguyur tubuh ini dengan air, penat sekali rasanya.

Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, sebab jarak rumah sakit dengan kediamanku hanya sekitar lima belas menit. Tak menunggu lama, aku rebahkan diri di atas sofa setelah memasuki ruang tamu. Benar-benar lelah, jiwa raga.

Bayangan Bulan Berlian terus melekat dalam ingatan. Aku menelan ludah, lalu mengelus dada, bagaimana bisa melupakannya jika dia begitu betah mendiami hati ini. Aku sadar sepenuhnya, sungguh tak pantas mengidamkan istri orang. 

Beranjak aku ke kamar mandi, lalu memutar kran shower, kunikmati air yang mengguyur tubuh ini. Sedikit plong, minimal kepalaku yang semula terasa panas menjadi agak sejuk. 

Setelahnya aku merebahkan diri di kasur lalu tanganku meraih dompet dan membukanya, selembar poto kukeluarkan. Gambarnya sudah buram. 22 tahun lalu, gadis berseragam putih abu, kulitnya cokelat mengkilat dengan potongan rambut berponi, tertawa lepas menghadap kamera, saat itu teman kami membawa kamera bentuk kotak ke sekolah, hadiah dari pamannya, katanya.

Berlian dengan lincah minta dijepret, tertawa tanpa beban dengan pose berdiri di halaman sekolah yang masih berlantai tanah.

Di tangannya bola voli ia dekap dengan seragam olahraga perpaduan kuning dan biru. Manis sekali.

Satu kali jepretan. Selesai. Berlian sangat senang kala itu, lalu ia menghampiriku. "Syim, kamu beneran mau kuliah?" tanyanya sambil memutar-mutar bola yang ia pegang.

"Nanti aku mau mendaftar di fakultas kedokteran. Cita-citaku sejak dulu," jawabku kala itu

"Aku jadi pasiennya," sahutnya sembari tertawa.

"Jangan, dong. Kamu jadi isteri dokternya aja, gimana?" 

Tanpa menjawab, ia malah tertawa lalu berlari sembari melemparkan bola ke arahku. Kubalas dengan melemparkan bola kearahnya juga, tetapi, sungguh naas lemparanku terlalu kencang. Bola yang sebagian kulitnya berpasir itu, menghantam keras tepat di bagian wajah sebelah kirinya.

"Auu, aduh!" Dia meringis sembari menutup wajah dengan kedua tangan, lalu terjatuh tak sadarkan diri. 

Aku panik bukan kepalang, berlari aku memanggil teman-teman yang lain untuk membopong tubuhnya ke kelas. Di luar dugaan, lemparan yang kukira asal itu, ternyata membuat Berlian pingsan. Bodohnya aku ini!

Ternyata kejadian itu berdampak serius pada kesehatan matanya dan berbuntut panjang. Dia tak kunjung bisa membuka kelopak mata sebab terlampau nyeri, juga terus menerus berair. 

Aku merutuki diri, berandai-andai sekiranya bola itu cukup kutangkap saja tanpa perlu membalas, mungkin Berlian juga ikut seleksi masuk perguruan tinggi bersamaku. Ia menghabiskan masa pengobatan dengan jangka waktu yang cukup lama di rumah sakit.

"Lian, a-aku minta maaf," ucapku saat membesuk di rumahnya.

"Sssist! Jangan berisik. Aku sudah ngaku sama Bapak, kalau bola itu aku yang tendang dan memantul kembali mengenai wajahku." Dia menempelkan jari telunjuknya di bibir sebagai isyarat agar aku diam.

"Apa?"

"Iya, saat kudengar Bapak akan menuntut sama pelaku, aku langsung ngomong kalau pelakunya diriku sendiri."

Dia melanjutkan lagi.

"Kalau kamu dituntut sama Bapak, kamu gak jadi dokter, dong. Palingan jadi petani garam terus menerus karena membayar ganti rugi dari kerusakan mataku ini."

"Tapi, aku memang salah."

"Kalau ganti rugi, duitnya terlalu banyak, kasihan kamu."

Ada yang berdesir dalam dadaku mendengar pengakuannya. Dia sungguh baik, menyelamatkan masa depanku dengan mengorbankan dirinya sendiri. 

"Nanti kamu jadi dokter anestesi, aja, ya. Tukang bius-biusin pasien biar gak merasakan sakit saat mau dioperasi. Waktu di Makassar, aku pun dibius, lalu tertidur, dan dokter siap bekerja. Keren, gak?" Dia menampakkan wajah ceria, tetapi, aku sungguh terluka melihatnya, kornea bagian kirinya ada gangguan hebat sehingga pupil mata itu mengecil, penglihatannya berkurang sekitar 50 persen.

Waktu berlalu, akhirnya aku diterima di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri, sedangkan Berlian memutuskan untuk tidak lanjut dengan alasan kesehatan. Lewat jalur seleksi rangking, aku berhasil lolos dengan bebas tes waktu itu, tetapi tidak dengan biaya semesternya, hanya dikorting setengahnya saja.

Berlian, tentu saja aku merindukan gadis itu, dua bulan sekali aku pulang kampung dan menyempatkan diri menjenguknya. Hingga saat memasuki libur semester kedua, aku bertandang ke rumahnya. Tak ada siapa-siapa, rumah itu kosong tanpa penghuni. Kutanyakan pada tetangga, ternyata keluarga Berlian pindah ke Pulau Tanakeke, daerah paling ujung dari kabupaten sebelah. Katanya, Pak Makkatutu diangkat jadi guru PNS setelah puluhan tahun mengabdi sebagai guru honorer.

Sejak saat itu, aku tak pernah bertemu Berlian lagi, pun kabarnya tak pernah terdengar, seakan hilang ditelan bumi. Tak ada telepon seluler kala itu. Kendaraan menuju ke sana pun harus naik dompeng dengan jadwal sekali dalam tiga hari. Sementara aku, tinggal di Makassar dengan jadwal padat kuliah sambil bekerja.

Cukup lama aku memutar kenangan tentang Berlian sembari terus memandangi fotonya, hingga suara alarm di ponsel membuyarkan lamunanku, satu jam mendatang operasi caesar akan dilakukan. Aku dan tim sudah berkoordinasi dengan baik. 

Segera aku menyiapkan diri menuju rumah sakit untuk melaksanakan tugas. Tapi, eits tunggu dulu, bukankah Berlian saat ini masih ada di rumah sakit yang sama? Bukan tidak mungkin aku akan berpapasan lagi dengannya.

Setelah kupikir-pikir ada baiknya aku memperkenalkan diri sebagai Hasyim, sahabat karibnya sejak SMA yang telah ceroboh melempar bola dan menyebabkan ia sakit.

Aku akan mengakui semuanya dan meminta maaf untuk kesekian kali. Kutarik napas pelan dan segera menaiki mobil, kemudian memacunya dengan semangat. Berlian, tunggu! Aku datang!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status