Share

Bab. 7. Aku Nyaris Gila

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua saat tiba di rumah. Aku masih ada waktu untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu subuh.

Di rumah ini aku tinggal sendiri, ART hanya datang saat pagi, membersihkan rumah, memasak, dan mencuci. Setelah semua beres, ia pulang. Kedua adikku sudah berkeluarga dan punya hunian masing-masing, Bapak dan Mamak tinggal di kampung, tiap dua pekan sekali aku kusempatkan menjenguk mereka.

Jadi saat malam begini, sangat terasa sepi, benar-benar seorang diri. 

****

Sayup-sayup panggilan azan membuatku membuka mata, pelan aku bangkit ke kamar kecil, lalu berwudhu, dan segera ke masjid. Ini ajaran dari Bapak, sesibuk apapun, jangan pernah meninggalkan salat lima waktu berjamaah, kecuali jika keadaan memang tidak memungkinkan, di ruang operasi, misalkan.

Beliau juga berpesan, jika cari lokasi tempat tinggal, usahakan yang dekat dengan masjid agar langkah tidak berat berjalan ke sana.

Aku turuti semua nasehat beliau, rumah ini hanya berjarak sekitar tiga puluh meter dari masjid. 

Saat selesai salat subuh, kajian rutin tak pernah kulewatkan, walau hanya sepuluh menit, tapi siraman rohani sangat penting untukku yang sangat sibuk ini.

Seperti niatku semalam saat mengunjungi Nurul, pagi ini akan menyempatkan ke kantor polisi sebelum ke rumah sakit. Yeah, menjenguk sebentar untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.

Aku sekarang berada dalam antrian panjang kemacetan, mau berbalik arah, tidak bisa. Jalurnya cuma satu, tidak ada opsi belokan di depan sana.

Kuputar love song untuk mengusir kejenuhan, hingga tak terasa sudah lebih dari satu jam mobil diam tak bergerak. Waktu-waktu sibuk seperti sekarang, semua orang keluar rumah beraktifitas, membuat jalanan macet tanpa bisa dihindari.

Entah sudah berapa kali lagu yang sama kuputar ulang, mengingatkan ke masa lalu, saat masih bersekolah, seringkali request lagu dari siaran radio favorit, dan mengirim salam buat teman-teman.

Satu-satunya teman yang sering aku kirimin salam lewat radio hanyalah Berlian. Meski tiap hari bertemu, rasanya selalu saja rindu. Lewat radio pula, aku merequest lagu untuknya. Lagu Beatiful Girl oleh Jose Mari Chan yang mewakili rasaku padanya.

Bunyi klakson bersahut-sahutan membuat kendaraan mulai merangkak maju. Kutarik tuas dengan pelan, lalu melajukan mobil hingga akhirnya berhasil keluar dari kemacetan.

Saat tiba di kantor polisi, kudapati Nurul masih dengan kostum yang sama, tetapi wajahnya kali ini lebih semringah.

"Alhamdulillah, Dok. Akhirnya dapat solusi." Dengan girang Nurul mengabarkan saat aku baru saja tiba.

"Maksudnya?"

"Tadi pagi-pagi sekali, keluarga korban sudah datang, ehm, isteri dan anak korban. Mereka baik banget ya Allah," pekik Nurul dengan semangat, sampai setengah meloncat.

"Isteri dan anaknya?"

"Iya, mereka datang memenuhi panggilan dari kepolisian, sikapnya tenang, tidak ada emosi, tidak gegabah, tidak brutal. Kalem, pokoknya."

"Jadi, sekarang bagaimana?"

"Ibu itu tidak akan menuntut calon suamiku dipenjarakan, Dok. Katanya, cukup membayar biaya-biaya selama mereka di rumah sakit, akomodasinya aja."

"Sekarang mereka di mana?"

"Sudah pulang barusan setelah menandatangani surat perjanjian, aku akan membayar seluruh biaya yang dimaksud."

"Apa dia tahu kalau kamu nakes di rumah sakit?"

"Ibu itu tidak bertanya, tetapi, kan ada dalam lampiran surat perjanjian."

"Oh, syukurlah,"

"Syukur? Maksudnya gimana, Dok?

"Ya, bersyukur aja, masalahmu tertangani dengan baik."

"Alhamdulillah."

"Hmm, kalau begitu, aku pamit, ya. Tugas di rumah sakit sudah menunggu."

"Iya, makasih, Dok."

"Makasih untuk apa? Aku tidak melakukan apapun."

"Yeah, paling tidak, Pak Dokter dateng dan memberiku semangat, my best friend."

"Oh, santai ajalah. Ok. Aku tinggal, ya."

Alhamdulillah problem Nurul sudah selesai. Saatnya bekerja. Ah, Berlian, ia memang wanita luar biasa, sifat pemaafnya membuat ia tidak mudah dilupakan.

Aduh, otakku mendadak oleng, kepikiran lagi, kepikiran lagi.

Fokus, Hasyiiiiiiim!

Kata hatiku memerintah, fokus dengan kerjaan, bukan malah mikirin isteri orang.

Astaghfirullah. Kuucap kalimat itu berkali-kali, lalu kubenamkan wajah pada stir mobil. Apa-apaan aku ini?

***

Tiba di rumah sakit, aku menelisik wajah pada cermin depan sebelum melangkah masuk ke lobi. Dari arah yang sama, kulihat Berlian dengan puteranya yang sampai hari ini belum diperkenalkan padaku sedang menenteng sesuatu.

"Lian? Dari mana?" tanyaku seolah-olah tak tahu

"Dari kantor polisi terus mampir di apotek, habis itu ke tempat laundry ngambil cucian, dan ke minimarket buat beli jajanannya anak sholeh ini," jawabnya memandang ke arah puteranya.

"Kantor polisi?" tanyaku lagi. Auh, kenapa juga aku bertanya lagi, padahal kan masalah ini sudah selesai.

"Iya, Syim, Alhamdulillah pelaku tabrak lari sudah ditangkap, aku diminta untuk datang, semacam menyampaikan tuntutan atas kelalaian si pelaku, tapi, aku tidak tega memenjarakannya."

"Kenapa?" Aku sungguh penasaran dengan jawabannya. Bukankah ia dan suaminya adalah korban? Wajar jika ia menuntut.

"Semua orang tidak ingin celaka, pasti ingin baik-baik saja, pelaku juga sangat menyesal kuliat, kasian banget, Syim. Kudengar ia juga akan menikah dalam waktu dekat, kalau dipenjara, kan malu."

"Ehm, tapi, kan biar ada efek jera, tidak ada salahnya, kan?" Aku mencoba memancingnya. Aku juga tidak tega.

"Kan, sudah ditangani polisi, biar dia dihukum sesuai peraturan yang berlaku aja, gak perlu lagi ditambahi oleh tuntutanku, tetapi selain dari itu ada alasan yang lebih masuk akal," ucap Berlian menghentikan ucapan

"Alasan apa?"

"Sebab kejadian ini, Allah mempertemukan kita, Syim."

Deg! 

Jantungku seperti terkena bom. Detakannya kencang. Aku tahu maksud Berlian, ia rindu dengan sahabatnya ini, tetapi, aku, tidak demikian. Aku merindukannya sebagai orang paling istimewa, lebih dari sekadar sahabat.

Tuhan, tolong!

Aku nyaris gila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status