Share

Bab. 6. Ampuni Rasa Ini

Bab. 6. Ampuni Rasa Ini

Sebentar! Aku ingin menepi dulu, kurasakan tengkukku pegal, kepala terasa berat. Baru saja aku bernapas lega karena sudah bertemu Berlian, sekarang harus berhadapan dengan masalah baru lagi. Nurul, sahabatku. Dan Berlian wanita istimewaku.

"Gimana, Dok?" tanya Nurul menyentakku.

Belum aku menjawab, ia mengiba lagi.

"Tolong, ya, Dok. Aku akan menanggung malu seumur hidup, jika pernikahanku batal karena calon suami masuk penjara."

Duh, rasa kasihan padanya tiba-tiba mendominasi, tapi, bagaimana caraku menyampaikan pada keluarga Berlian, bukankah itu tak adil?

Suaminya yang menjadi korban yang sampai hari ini masih dirawat akibat luka parah, masa iya harus diminta legowo.

Lagipula, aku dan Berlian baru bertemu setelah bertahun-tahun, harusnya kami bernostalgia mengenang masa-masa sekolah, bukan malah mencampuri hal-hal seperti ini.

"Ehm, sekarang kamu istirahat saja dulu, besok kita akan pikirkan bersama. Pasien yang aku tangani tadi siang, benar, itu korbannya, nama mereka sama. Tetapi, rasanya kurang pas jika aku membahas hal ini dengan keluarganya sementara korban masih berbaring tak berdaya."

Aku terpaksa mengatakan ini agar Nurul bisa sedikit menerima kenyataan, tidak semua persoalan harus tuntas lewat jalur mediasi, apalagi terkait kasus pelanggaran yang ada undang-undangnya.

"Apa tidak bisa secepatnya?" Nurul memaksa.

"Ini sudah larut malam, pasien dan keluarganya sudah istirahat, kamu pasti tahu itu. Tidak mungkin aku kembali ke rumah sakit, membangunkan mereka, lalu membahas ini." Aku menjawab tegas.

Apa susahnya menunggu besok, sementara aku juga akan berpikir cara terbaik untuk menyampaikan ini sama Berlian.

Nomor ponselnya pun aku tak punya, mau minta tapi lupa, lebih tepatnya segan. Nurul tak kuberitahu tentang siapa sebenarnya Berlian. Anggaplah di mata Nurul, aku dan Berlian tidak saling mengenal sehingga ia tidak mendesakku terus menerus.

"Maaf, Dok, kalau aku ngotot. Terima kasih sudah mau membantu."

Membantu katanya? Padahal belum aku putuskan jenis bantuan seperti apa yang akan kuberikan.

"Gak apa-apa, sekarang kamu istirahat dulu, jangan panik, tetap berpikir sehat biar kamu gak stress. Insya Allah besok sebelum ke rumah sakit, kusempatkan mampir di sini." Aku mencoba menenangkannya.

"Iya, Dok. Maaf, udah ngerepotin."

"Hmm, tak perlu minta maaf, sekarang istirahat aja dulu, aku juga mau pulang, besok banyak tugas menanti, semoga ada jalan keluar terbaik, banyaklah berdoa."

"Hati-hati di jalan," sahutnya merasa tidak enak.

"Iya, kamu juga."

Aku beranjak meninggalkan Nurul, bukan tidak mau membantu, justeru sekarang aku berpikir bagaimana caranya menyampaikan ini pada Berlian.

Berat sebenarnya. Dua-duanya sahabat baikku. Hanya bedanya, aku mencintai Berlian teramat besar, sementara Nurul, dulunya pernah memiliki rasa yang sama seperti seorang kekasih. Meski tak diungkapkan, namun aku bisa membaca gelagatnya.

"Dok, umpama ada seorang wanita yang mencintaimu, ia pekerja keras dan dari latar belakang profesi yang sama, apakah Dokter Hasyim akan meresponnya?"

"Kurang tahu. Pasal cinta tak bisa dipaksa, ia adalah anugerah dari Tuhan."

"Ini misal aja. Setiap orang punya kriteria. Dokter Hasyim, kan, lelaki mapan, apa gak pengen menikah dengan dokter, bidan atau perawat, gitu?"

"Aku punya kriteria sendiri, tetapi cukup jadi rahasia."

Kulihat kala itu, Bidan Nurul menelan ludah kecewa. Ia tak berhasil mengorek informasi. Bukan hanya sekali, sudah beberapa kali pertanyaan yang sama diajukan setiap ada kesempatan bersama, namun jawabanku juga selalu sama.

Belum lagi saran dari Dokter Farid yang seolah memberi dukungan.

"Bidan Nurul itu baik, lho. Soal kecantikan sesuailah dengan standar perempuan pada umumnya. Tunggu apalagi, mumpung belum ada yang lamar. Ayo, gerak cepat!"

"Dokter Farid, aku anggap Bidan Nurul itu rekan kerja. Cukup. Tidak lebih."

"Cinta bisa datang dengan sendirinya kalau sudah terbiasa hidup bersama. Percayalah!"

"Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku tidak ingin memaksakan diri sebab itu akan melukai perasaan pasangan."

"Santai, Bro! Laki-laki itu kalau sudah melewati malam pertama, pasti langsung jatuh cinta, hahahaha!" Tawanya pecah. Aku paham maksudnya.

"Dasar otak mesum!"

"Bukan mesum. Tapi, ini fakta dunia lelaki!" Bahu Dokter Farid ikut berguncang sebab tertawa geli.

Kepingan-kepingan percakapan dengan dua orang temanku itu menghiasi ingatan. Kadang terbit rasa kasihan, tetapi, aku sama sekali tak pernah tertarik kepada wanita selain Berlian meski sekarang harus menelan kenyataan pahit, ia sudah bersuami dan hidup bahagia.

Soal melupakan, aku akan mencoba sekuat tenaga. Pasti aku bisa! Meski tidak serta merta dalam waktu yang singkat. Berlian akan menjadi kisah paling indah dalam sejarah hidupku.

Kukemudikan mobil meninggalkan area halaman kantor polisi. Suasana jalan raya sudah lengang, sesekali terdengar deru kendaraan yang melaju kencang. Pelan butiran air menempel di kaca depan mobil lalu berubah menjadi guyuran hujan yang tak terbendung. Berlian, dalam kondisi seperti ini aku malah semakin merindukanmu.

Tuhan, ampuni rasa ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status