“Mademoiselle, mobil kita ada di sebelah sini.” Pria yang mengaku ‘Pengawal Khusus Istana yang Seharusnya Mengawal Putri’ tersebut berseru memanggil. “Anda bisa membeku kalau terus keras kepala seperti ini“
Well, atur urusanmu sendiri, Monsieur. Aku sudah tidak berminat bermain tebak apa dan siapa dengan anda. Oke, kejutan tentang ARBA memang tak ada duanya. Tapi jangan kira aku goyah karena sogokan tersebut. Aku bahkan benci mengakui aku menyukai pikiran bahwa minggu depan semester baruku di ARBA akan segera dimulai.
“Mademoiselle… “
“Get lost!“ Seruku murka saat dia mencoba menghentikanku dengan mencekal tanganku. “Laisse-moi tranquille! Tinggalkan aku sendiri!“ tambahku bahkan tanpa menoleh ke belakang.
Sumpah! Aku hanya ingin sendiri sekarang. Setelah semua campur tangan orang - orang di sekitarku selama sembilan belas tahun ini, tidak bisakah mereka memberiku waktu sejenak untuk berpikir tentang diriku sendiri? Lalu memutuskan apa yang menurutku baik untuk diriku sendiri?
“Anda bisa tersesat di sini. Dan percayalah, jika itu terjadi, bukan hanya anda saja yang akan mendapat kesulitan. Kukira, untuk seseorang yang sudah masuk kategori dewasa, cara berpikir anda masih sangat kekanak - kanakan“
Apa? kekanak - kanakan? Kuhentikan langkahku, kemudian berbalik Menghadapnya. “Anda bilang aku kekanak - kanakan? Ya! Aku memang kekanak - kanakan!“ ulangku nyaris tertawa.
“Saya kira itu istilah yang tepat untuk menggambarkan sikap anda yang egois dan impulsif. Anda juga memiliki kecenderungan anak - anak untuk tidak membiarkan orang lain menasehati anda.”
Sanggahan sudah siap keluar dari mulutku saat tiba - tiba sebuah sepeda melintas di depanku dan nyaris melindas kakiku. Dengan sigap Tuan Pengawal Istana langsung menarikku menepi dan tanpa menyia - nyiakan waktunya, membawaku yang masih syok masuk ke dalam mobil.
“Terbukti sudah, bahkan untuk melindungi diri sendiri saja anda masih membutuhkan orang lain.” Ejeknya saat mobil mulai berjalan.
Entahlah, tapi perkataannya tiba - tiba membuat dadaku sakit. Atau mungkin karena hawa dingin dari luar? Tapi memang kalimatnya agak menyinggungku. Aku diam, bukan mengalah, tapi tidak mau mengalah dan membiarkan dia tahu aku sudah terluka dan nyaris meneteskan air mata karena kata - katanya.
“Setelah ini, kita akan menemui Madame Louisa, Ibu angkat Ayah anda.“
***
Louisa Charlotte, nama yang bagus. Dengan paras cantik, gerak - gerik anggun, suara merdu, nasib yang bagus serta gelar yang terhormat. Sempurna. Ya, aku bahkan bisa mengerem kata - kata pedas yang biasanya selalu gatal ingin kulontarkan pada siapa saja di negara ini, selama nyaris dua jam. Dua jam dengan hanya duduk memegang cangkir berisi lemon tea yang senantiasa dia tuangkan saat melihat cangkirku setengah terisi.
Duduk seperti ini dan mendengarkan orang lain, yang harus kau panggil Granny, menceritakan betapa hebat dan luar biasanya sosok yang bahkan belum pernah kau lihat wujud nyatanya sebagai seorang ayah benar-benar memuakkan dan menyesakkan. Memiliki gelar kehormatan yang dihadiahkan dari kerajaan dan diwarisi secara turun temurun membuat sosok ayah ini menjadi amat terhormat.
Menggambarkan pernikahannya dengan salah seorang putri konsulat bagaikan sebuah perjuangan dalam mencapai misi perdamaian, dan banyak lainnya. Sementara di kepalamu, masih teringat dengan jelas hari - hari kelabu saat harus terlunta - lunta di jalanan setelah diusir pemilik rumah karena tidak sanggup membayar sewa. Saat tawarnya rasa ubi yang dibumbui garam masih melekat di lidahmu, saat dinginnya air hujan masih bisa kau rasakan menembus atap gubukmu. Quel contraire! Bagaikan langit dan bumi.
Cerita Granny Louisa terus berlanjut hingga seorang pelayan memberanikan diri mengetuk pintu untuk mengabarkan kedatangan seseorang yang mungkin penting. Hal ini tentu saja tidak kusia - siakan, aku ikut beranjak seraya menenteng tasku dan berpamitan, tentu saja setelah menjanjikan akan sering - sering berkunjung jika ada waktu.
Richard, itu namanya. Nama Tuan Pengawal Khusus Kerajaan itu, berjalan diam di sampingku saat menuju mobil. Walaupun dia ingin melontarkan komentar, dia bersikap bijaksana kali ini dan memilih untuk diam.
“Ada tempat lain yang ingin anda kunjungi Mademoiselle?”
Aku menggeleng pelan, menikmati rasa nyaman saat kepalaku menemukan tumpuannya di punggung jok mobil, berharap, kali ini aku tidak lupa membawa obat daruratku yang harus kuminum di saat - saat seperti ini. Berharap tangan Mama mengelusku saat rasa sakit mulai menyeretku ke sudut gelap dan menghilangkan kesadaranku perlahan.
Mama, i miss you….
***
Richard’s
Setelah perlawanan sengitnya di ARBA, aku membawanya ke tempat Madame Louisa. Mira, begitu rupanya nama paggilannya, sudah lebih tenang. Tapi wajahnya jadi agak pucat, dan nafasnya masih terdengar satu - satu. Apa dia masih marah?
Ya, tadi dia berteriak lumayan kencang. Benar kata Brigitte, dia bisa mengeluarkan kata - kata setajam peluru saat marah. Tapi aku juga melihat hewan yang kesakitan di matanya. Penuh ketidakyakinan. Mungkin karena dia masih beranjak dewasa, sedang mulai mencari jati dirinya.
Kami sudah sampai di tempat Madame Louisa. Seharusnya Countesse Guireille, tapi beliau melarangku memanggilnya dengan embel - embel, jadilah hanya Madame Louisa.
Dia menurut tanpa perlawanan saat kubukakan pintu. Mukanya masih pucat, malah menurutku jadi semakin pucat. Untuk ukuran orang yang hidup di Negara tropis, warna kulitnya agak pucat. Kuning langsat cerah. Mungkin terpengaruh keturunan dari Ayahnya. Saat musim panas, para wanita pasti menggilai warna kulit seperti itu dan rela menghabiskan waktu berjam - jam berjemur atau mendekam di dalam mesin tanning untuk mendapatkannya.
Kami masuk, dan disambut oleh Felippe, Kepala Pelayan Madame Louisa. Dia tinggal disini bersama istrinya, Juliette yang menjadi koki kebanggan Madame Louisa. Dan dia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyombongkannya.
“Oh Richard! Lama sekali kau tidak mengunjungi perempuan tua ini.” Dan dia sangat extra dalam mengekspresikan sesuatu. Dia menutup mulutnya kaget saat melihatnya di belakangku. “Dia… Diakah…”
“Oui, C’est vrai, Madame." Kataku membenarkan. "Mira Guireille, ini nenek anda, Madame Louisa Guireille.” Aku mengambil alih bagian perkenalan.
Mira hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Tak yakin harus melakukan apa, dan Neneknya masih sibuk mengembalikan akal sehatnya karena keterkejutan. Dan ya, ada rindu disana. Yang kudengar, Mama Mira dekat dengan Madame Louisa. Bahkan dia sempat merawatnya beberapa waktu saat dia sakit setelah suaminya meninggal.
Sebelum aku sempat membuka mulut lagi untuk mengajak keduanya ke dalam, Madame Louisa setengah berlari menyongsong cucunya dan memeluknya erat sambil terisak.
“Cucuku, Granny rindu sekali.”
Mereka berpelukan sesaat, membuat Mira membeku di tempatnya, sebelum Felippe menyela meminta kami masuk agar tidak kedinginan. Tentu saja, salju sudah mulai turun perlahan.
Mereka mengobrol banyak hal di dalam. Lebih tepatnya Madame Louisa yang bercerita tentang banyak hal, Mira hanya diam mendengarkan sambil sesekali menjawab. Kuperhatikan wajahnya tenang. Sesekali dia menjawab. Di tangannya, mug honey tea yang tadi disuguhkan Juliette masih tergenggam, tangannya mencengkeram mug erat, seakan dia yang nanti hancur berkeping - keping jika mugnya dilepaskan.
Felippe masuk, menyela, mengabarkan seseorang dari kerajaan datang untuk bertemu Madame Louisa. Mira ikut bangkit dan berpamitan. Berjanji akan datang lagi lain kali. Banyak hal ganjil di sini, tapi tidak pada tempatnya aku bertanya pada Mira.
“Ada tempat lain yang ingin anda kunjungi Mademoiselle?” akhirnya itu yang kutanyakan sesaat setelah mobil menggalkan halaman rumah Madame Louisa.
Dia hanya menggeleng sebagai response nya. Lalu menutup matanya seperti tidur, tapi ada yang aneh. Nafasnya yang sedari tadi terdengar satu - satu, kali ini terdengar berat dan ganjil. Aku menepikan mobil dan berusaha membenarkan posisi tidurnya. Tidak berhasil, dadanya naik turun dengan cepat, seolah - olah kesusahan bernafas.
Shit! Bodohnya aku, dia pingsan! Bukan tertidur!
Kuraih ponselku untuk menghubungi Cedric dan dokter Giussep, kuturunkan sandaran kursinya hingga separuh tidur, lalu kupacu mobil hingga sedikit diatas batas menuju Mansion.
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."