Harun melangkah pasti. Napasnya juga teratur. Tatapannya lurus ke depan. Di punggung ada tas hitam besar. Tak begitu berat, tapi berisi penuh. Digenggamnya beberapa lembar kertas. Di kepalanya ada topi kebesaran. Wajahnya menawan. Baju yang ia kenakan bersih, rapi, dan wangi. Rahangnya tampak mengeras. Wajah lelah melekat di sana. Namun tak mengurangi sedikit pun performa ketampanannya.
“Langsung pulang, Pak?” Laki-laki yang tak kalah tinggi dari Harun memutus kesunyian di antara mereka.
“Iya, Pak. Aku sudah berjanji sama emak. Akan bertemu di Cepu.” Harun menjawab sembari duduk. Suaranya terdengar tegas.
“Ya sudah. Saya duluan kalau begitu.” Pemuda itu berlalu. Meninggalkan ia yang duduk sembari menunggu kereta yang akan membawanya menemui Emak nya.
Hatinya bergemuruh. Debar-debar kerinduan sudah ingin keluar dari tempatnya. Sesekali dilihatnya sepatu yang mengkilap. Tak seperti dulu. Sewaktu kecil, kaki itu beralaskan
Cuaca kota Atlas hari itu terasa panas. Setelah membersihkan diri ia merebahkan badannya di kasur. Tubuhnya terasa lelah juga perasaannya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar, terlihat plavon yang bersih dan rapi tidak seperti kostnya kala itu ketika ia masih jadi kuli bangunan.Kerinduan terhadap Asih masih ada hingga kini meski ia telah menyelesaikan hubungannya. Gadis manis dengan lesung pipit di pipi kanannya membuat Harun selalu teringat tentang Asih.Harun merogoh selembar kertas yag ia simpan di balik bantal. Di sana ada gambar perempuan yang haru lalu ia relakan untuk orang lain. Perempuan yang selama ini menunggunya dengan penuh setia dan percaya bahwa ia akan menepati janjinya.Harun mengeluarkan napasnya dengan kasar. Terasa sekali beban berat perasaan yang di pikul. Di elus beberapa kali foto itu. Wajah perempuan disana tidak berubah cemberut atau tertawa.Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan dan melupakan kamu begitu saja, Cah
Sepulang jalan-jalan sama Dewa menyusuri kota Lumpia, Harun merebahkan badannya. Dewa sudah mengeluarkan suara khas ketika tidur. Harun berbaring di sebelahnya. Matanya tak kunjung merem. Pikirannya semrawut tak karuan.Dia memikirkan kembali kata-kata Dewa beberapa waktu yang lalu. Sekuat apapun manusia berusaha melupaka, semakin jelas ingatan itu akan mendatangi kita. Harun mengusap wajahnya dengan kasar. Ia lelah dan ingin tidur. Besok ia harus berangkat pagi untuk bekerja.Di paksa matanya untuk terpejam. Tapi yang ada hanyalah lelah memejamkan mata. Harun bangun dari tidurnya dan mengambil selembar foto yang ia simpan di balik bantal tidurnya.Cah Ayu, semoga kamu bahagia dengan pilihan emak. Maafkan aku yang berjanji akan kembali tapi justeru malah memberi hatimu duri. Harun ingin menangisis keadaan hatinya. Perasaannya hancur ketika Mak Ram menolak lamarannya. Namun kehancuran itu tak separah ketika ia memutuskan hubunga
Cuaca kota Atlas hari itu terasa panas. Setelah membersihkan diri ia merebahkan badannya di kasur. Tubuhnya terasa lelah juga perasaannya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar, terlihat plavon yang bersih dan rapi tidak seperti kostnya kala itu ketika ia masih jadi kuli bangunan.Kerinduan terhadap Asih masih ada hingga kini meski ia telah menyelesaikan hubungannya. Gadis manis dengan lesung pipit di pipi kanannya membuat Harun selalu teringat tentang Asih.Harun merogoh selembar kertas yag ia simpan di balik bantal. Di sana ada gambar perempuan yang haru lalu ia relakan untuk orang lain. Perempuan yang selama ini menunggunya dengan penuh setia dan percaya bahwa ia akan menepati janjinya.Harun mengeluarkan napasnya dengan kasar. Terasa sekali beban berat perasaan yang di pikul. Di elus beberapa kali foto itu. Wajah perempuan disana tidak berubah cemberut atau tertawa.Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan dan melupakan kamu begitu saja, Cah
Sepulang jalan-jalan sama Dewa menyusuri kota Lumpia, Harun merebahkan badannya. Dewa sudah mengeluarkan suara khas ketika tidur. Harun berbaring di sebelahnya. Matanya tak kunjung merem. Pikirannya semrawut tak karuan.Dia memikirkan kembali kata-kata Dewa beberapa waktu yang lalu. Sekuat apapun manusia berusaha melupaka, semakin jelas ingatan itu akan mendatangi kita. Harun mengusap wajahnya dengan kasar. Ia lelah dan ingin tidur. Besok ia harus berangkat pagi untuk bekerja.Di paksa matanya untuk terpejam. Tapi yang ada hanyalah lelah memejamkan mata. Harun bangun dari tidurnya dan mengambil selembar foto yang ia simpan di balik bantal tidurnya.Cah Ayu, semoga kamu bahagia dengan pilihan emak. Maafkan aku yang berjanji akan kembali tapi justeru malah memberi hatimu duri. Harun ingin menangisis keadaan hatinya. Perasaannya hancur ketika Mak Ram menolak lamarannya. Namun kehancuran itu tak separah ketika ia memutuskan hubunga
Harun meninggalkan stasiun Semarang dengan perasaan penuh resah. Ia teringat tentang Asih. Bagaimana kira-kira kabarnya setelah hari itu? pikirannya melayang. Namun ia masih sanggup fokus dalam bekerja. Setelah perjalanan panjang seharian, jam kerjanya telah usai Harun meninggalkan stasiun untk pulang ke rumah yang sudah lama ia tinggalkan. Tidak ada seseorang yang menunggu seperti para penumpang atau petugas lainnya.Harun berjalan keluar meningalkan area stasiun dan segera memesan becak yang tengah mangkal di pintu keluar. Dengan wajah sumringah Harun menaiki becak. Perasaan haru tengah memburu hatinya. Ia ingin sekali sampai rumah dengan cepat. Setelah menikmati perjalanan yang cukup panjang menurut perasaan Harun, akhirnya ia sampai di rumah yang selama ini rindukan. Emaknya yang tengah asyik ngobrol dengan bapaknya di sore hari kaget melihat kepulangan anaknya. Setelah membayar becak Harun sege
Pagi itu Harun berpamitan pada keluarganya. Ia hendak kembali ke Semarang karena libur kerjanya telah usai. Ia mencium tangan perempuan yang kini semakin gemuk juga laki-laki yang tengah bersiap untuk mengantarkan Harun ke stasiun.“Hati-hati ya, Le.” Emak mencium kening anak laki-laki yang sekarang tampak gagah.“Enggeh,” Harun mengangguk menurut.“Kamu hati-hati di rumah, belajar yang bener, jaga emak sama bapak ya,” Harun menyalami adeknya yang sekarang tingginya tidak jauh beda dengannya. Perempuan itu hanya mengangguk, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.“Kamu sekarang sudah tinggi ya, jadi mas mu ini tidak bisa mengelus rambutmu lagi,” Harun memecah keheningan. Perempuan yang mau di elus rambutnya menanggapi dengan memonyongkan mulutnya.“Jangan monyong gitu, nanti kamu tambah cantik, Dek,” Harun meledek adeknya agar tidak sedih. Semua tertawa mendengar ledekannya kecuali S
Dewa yang tengah menikmati rokok di tangannya melihat Harun yang baru datang dari kampung. Sudah sebulan belakangan ini wajahnya kiam cerah. Aura ketampanannya semakin betambah.“Ngerti gitu kamu tak jemput to, Run.” Dewa menyambut Harun yang tengah mengatur pernapasannya.Harun tersenyum sekaligus melirik Dewa yang tengah menghembuskan napasnya dan diikuti dengan asap mengepul dari hidung dan mulutnya.“Wajahmu semakin kesini kenapa semakin tampan, sih, Run?”“Sedang wajahku kenapa begini-begini saja?” Dewa menunduk di tangannya memainkan sebatag rokok.Harun tertawa dengan keras mendengar ocehan Dewa sedangkan hanya menanggapi dengan cemberut.“Kamu nggak pengen pulang?” Harun mengalihkan pembahasan. Ia ingin sekali menyentuh hati sahabatnya. Dewa melirik Harun yang tengah bersiap membaringkan tubuhnya di kasur tak jauh darinya.“Aku belum ingin pulang, Run.”“
Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas