Kereta lokal itu membawa Harun kembali ke parantauan. Suara saut-sautan orang bercengkrama dalam kereta begitu riuh. Pak kondektur menyibak lalu-lalang pedagang yang hilir mudik. Mengecek satu persatu tiket penumpang.
Lidahnya masih kelu. Wajah emak dan sekar masih terlintas. Bayang-bayang Asih juga ikut menghantui. Diliriknya perempuan cantik yang kini duduk di sebelah. Ia tampak berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Air mata itu sesekali menetes. Secepat kilat tangan yang terlihat putih pucat itu meraih bulir-bulir bening yang mulai jatuh, agar tak ada orang yang tahu perihal dukanya. Di ulurkan sapu tangan yang sedari tadi bersembunyi di balik kantong tas kecil yang di cangklong Harun.
Ragu, perempuan yang berambut bergelombang di sebelahnya menerima. Harun mengangguk mantab. Meyakinkan bahwa ia ikhlas memberikan. Di usapnya sapu tangan berwarna biru ke wajah gadis manis di sebalah. Adakala digunakan untuk menutupi wajahnya ketika wanita itu tak mampu menahan tangis.
Seketika bayangan Asih kembali menghantui. Wajahnya yang ayu dan begitu lugu tampak begitu kusut kala itu meski ia menunjukkan ketegaran. Bibir mungil yang tak mengeluarkan satu patah kata pun berusaha menghalau deru tangis yang ia tahan. Tak ada senyum yang ia paksakan. Mulutnya benar-benar terkunci. Matanya begitu tajam.
“Asih, maafan aku.” Harun menarik napas berat. Begitu berat beban perasaannya. Semakin kalut ketika menyadari keadaan tak seperti yang ia bayangkan. Merubah keadaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Juga ingatan tentang surat dari sahabatnya hari lalu. Asih begitu setia menunggu kepulangannya. Ia setiap hari mendatangi stasiun tua tengah kota dan berharap Harun akan datang untuk menemui dan menepati janji pada mak Ram.
Suara-suara riuh rendah itu seolah tak ada di sana. Pedagang yang hilir mudik menjajakan dagangan pun tak tampak di mata pemuda yang baru saja melepas rindu bersama emak dan adiknya. Pikiran itu kosong. Perasaannya kacau. Kalut tak karuan.
Di rebahkan tubuhnya di kasur kempes yang ada di kamar setelah melewati berbagai banyak hal yang di abaikan. Kamar sempit itu sedikit memberikan kenyamanan meski tak senyaman amben reot miliknya di desa.
Sekelebat ide merasuki pikiran. Di raih surat dari sahabtanya yang sudah tak lagi berbentuk. Lusuh. Sebegitu sering ia buka dan tutup kembali. Di ambil pulpen dan kertas yang ada di dalam tas kuliahnya.
Sugeng dalu, cah ayu ...
Pripun kabare? Mugi sehat ya kaleh emak. Aku juga sehat.
Oh iya, Renjanaku. Bagaimana produksi ledrenya? Masihkah berjalan? Semoga kelak menjadi usaha yang semakin besar, bermanfaat, dan mendapat keberkahan dari Tuhan.
Asih, ada suatu hal yang ingin ku sampaikan padamu. Selain rinduku padamu yang setiap hari ku titipkan pada burung merpati.
Asihku, kamu masih setiakah denganku? Aku tahu bahwa kamu akan selalu setia padaku. Sama sepertiku, yang selalu berusaha untuk selalu setia padamu. Meski di sini banyak sekali perempuan-perempuan cantik.
Namun sayang, aku tak bisa menjaga hatiku sepenuhnya. Asih, tinggalkan dan lupakan aku. Maafkan aku, Asih. Rasa itu kini mulai berkurang. Perlahan semakin memudar. Maafkan aku, Asih. Lupakan aku. Bahagialah dengan laki-laki pilihan emak. Aku yakin, dia pasti akan membuatmu bahagia, tidak sepertiku, yang berjanji memberikanmu bahagia tapi justru yang kuberikan duka.
Asih, maafkan aku...
Dari seseorang yang menyakitimu,
Harun
Di lipatnya kertas yang penuh dengan tulisan luapan perasaan bersalahnya. Keputusan Harun mungkin akan menyakiti Asih yang sudah susah payah menjaga kesetiaan meski ia harus menerima cemoohan dari saudara dan tetangga. Kertas itu di lipat dengan perasaan kalut. Hancur tak berbentuk lagi. Namun, semua itu demi orang terkasih, Asih, gadis desa wisata Jeglongan Sewu.
***
Hari lalu, hujan gerimis mengguyur kota Semarang. Sedikit mengobati dari panasnya cuaca yang selama beberapa hari menyengat kulit tipis Harun. Hari lalu, ia menerima surat dari seorang sahabat dan juga sekaligus sahabatnya Asih. Setumpuk surat itu kini berserakan di lantai. Ada yang menggunakan kertas putih, kertas biru, dan juga kertas berwarna merah muda.
Di raih kertas berwarna merah muda yang paling dekat dengan jangkauannya. Banyak warna senada. Entah mengapa yang ia dapati adalah surat yang mengabarkan berita yang membuat dirinya begetar. Hatinya tersayat setiap kali ketika di baca surat itu, lagi dan lagi.
Surat yang tengah ia baca dibiarkannya tergeletak. Terlepas dari tangannya. Semakin sesak setelah ia menyerah pada keadaan. Mengabarkan pada Asih bahwa ia tak lagi mencintainya. Itu pertanda, ia memberikan kekasih tercinta pada orang lain.
Derit pintu terbuka terdengar sampai di telinga Harun. Namun badannya begitu lemas. Seoalah ia tak sanggup mengangkat kepala hanya untuk sekedar melihat siapa yang membuka pintu.
“Gusti, Run, kenopo kok iso koyo kapal pecah negen iki to?” Dewa menatap heran pada kamar pemuda desa yang selalu rapi ini. Sangat berbeda dengan kamar-kamar pemuda lainnya.
Senyap. Tak ada jawaban. Masih tertutup rapat matanya yang sipit. Pun tak ada perlawanan ketika tubuhnya yang dengan tinggi sekitar 178cm di tempong sama Dewa. Sahabat yang selalu menemani. Namun Dewa tak banyak tahu perihal keruhnya hubungan dengan sang kekasih. Yang Dewa tahu hanyalah, Harun selalu mengabaikan perempaun-perempuan cantik di sekeliling yang selalu berusaha memasuki hidupnya.
Di raih kertas yang masih terbuka. Lalu di baca. Betapa kagetnya setelah mengetahui perihal isi surat. Bebeapa kali kalimat itu di bacanya, emak menjodohkan aku dengan Angga, anak pak lurah. Tapi aku menolak, Kang. Asih masih menunggu kang Harun datang, menemui emak. Kalimat itu berputar beberapa kali di kepala Dewa. Tak menyangka, sahabat yang selalu seolah baik-baik saja soal hubungannya dengan Asih, tenyata memendam masalah yang begitu berat.
“Run, Harun,” Beberapa kali Dewa mengoyak tubuh yang tetap tampak gelap agak keputihan meski ia bekerja sebagai kuli bangunan.
Dewa panik. Sedari tadi berusaha membangunkan tapi tak ada sedikitpun tanggapan dari Harun. Dewa segera bangkit dan berteriak meminta tolong. Segerombol orang-orang yang tengah bersantai lari terbirit setelah mendengar teriakan Dewa.
Mereka langsung menyerbu kamar Harun yang berantakan dengan surat menyuratnya. Beberapa di antara mereka tengah sibuk mencari minyak kayu putih. Ada juga yang membawakan segelas air. Yang paling depan sigap membuka kaos oblong yang di kenakan Harun.
Harun melolet menyibak tangan yang kini sudah memegangi kaos dan bersiap mengangkat kaosnya ke atas. Di tepisnya tangan itu. Matanya seketika membelalak lebar. Kaget. Kesadarannya belum penuh. Matanya memandang sekitaran.
“Owalah turu to, woohhhhhhhhhh,” Seloroh orang-orang yang khawatir segera bangkit dan meninggalkan dengan wajah kecewa.
“tak pikir mati mau,” suara khas dengan bahasa jawa itu menohok tenggorokannya.
Pandangan matanya semakin menunjukkan ketidak pahaman. Di tatap sahabatnya yang kini tengah berdiri bersendekap. Ia berdiri dengan wajah kecut. Meski kesadaran belum penuh dan kepalanya yang pusing perihal masalah yang langsung menyergapnya lagi.
“Tak pikir mau enek wong mati gara-gara patah hati.” Dewa masih pada posisi yang semula.
Di liriknya sekitar. Surat-surat yang masih berserakan memenuhi kamarnya kini tengah tertumpuk rapi di meja. Dewa telah membaca salah satu surat yang tadi ia tinggal tidur dengan keadaan terbuka.
“Mana ada orang mati karena patah hati, Wa Dewa ...”
“Lho akeh, Run. Lha iku sing podo kendat, ngombe racun tikus, lak yo goro-goro patah hati to, Run.” Dewa menampakkan kekhawatiran dan juga kekesalannya.
“Iku bunuh diri, Dron, Sodron,” Harun melemparnya dengan bantal yang sudah komar-kamir.
“Tapi perkorone podo, Run” Di lempar lagi bantal itu kewajah Harun. Wajahnya kesal bukan karena di lepar bantal yang sudah komar-kamir melainkan di panggilnya Sodron. Dalam bahasa Jawa, nama Sodron berarti orang yang kurang waras, namun bukan gila.
“Wes, kae lho tak gawakne jajan seko emak.” Ia bangkit dan mengambil surat-surat yang betengger di meja. Di masukkan ke dalam laci bawah lemari.
Tak banyak bicara, Dewa langsung saja nyerobot keresek yang di sodorkan Harun. Matanya berubah menjadi binar-binar kebahagian. Jiwa kerakusannya menjelma dengan cepat.
Di pandangi sahabat yang selalu ada kini. Bayang-bayang senyum Asih masih menjelma. Ia tersenyum. Bukan, bukan pada sahabatnya yang sedang maruk makan jadah, melainkan bayangan Asih yang terus saja menari-nari dalam pikiran.
“Asih, cah ayu, Renjanaku, apa kabar? Maafkan aku, cah ayu” Harun menunduk. Mencoba berdamai dengan perasaan dan keadaan.
Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi
Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele
Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa
Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n
Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru
Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj
Harun memarkirkan sepedanya di halaman kontrakan, ia memasuki kontrkan bersamaan dengan Dewa. Harun langsung merebahkan tubuhnya pada kasur sudah melambaikan tangan. Sedangkan Dewa langsung membersihkan badan karena bajunya yang penuh dengan semen.Dewa menyeka keringat yang yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil yang melingkar di pundak. Ia menatap Harun dengan tatapan penuh iri.“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Harun menyadari bahwa Dewa tengah menatapnya.“Aku tekadang iri denganmu, Run,” Dewa menempelkan pantatnya pada kursi di depan meja. Harun bangun dari tidurnya lalu memosisikan diri sebaik mungkin untu menatap Dewa.“Apa maksudmu?” Harun menatap Dewa dengan penuh selidik.“Kamu menatapku biasa aja bisa nggak?” Dewa mengalihkan pembicaraan karena merasa risih ditatap oleh Harun sedemikian rupa,“Kamu ganteng, pekerjaanmu bagus, banyak perempuan yang menyukaimu, kekasihmu
Asih berlari keluar kamar setelah mendengar bel sepeda petugas POS. Ia mulai hapal dengan suara itu. tepat sekali, Pak Pos sudah betengger di teras rumah menunggu Asih yang sedang lari-lari kecil.“Terima kasih,” Asih menerima surat itu dan Pak Pos pun berlalu.Asih gemetar menerima amplop yang tetera nama Harun di sampul depan. Ia merasa bungah sekaligus susah menerima surat itu. Ia teringat kedatangan pemuda beseta bapaknya yang tak ia kenal. Mak Ram dengan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan lamaran pemuda itu dan berniat membatalkan lamaran Harun.Asih masuk kamar dan membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk Harun.Assalamualaikum, Cah Ayu,Kakangmu juga sehat, Nduk. Cah Ayu, kamu tidak usah repot-repot membantu mengumpulkan biaya buat perkawinan kita. Itu sudah tanggung jawab kakangmu ini. Nduk, Cah Ayu, kakangmu cuma mau kamu hati-hati di sana, jaga diri juga j
Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas