Arkadewi Lintang Bestari--menghirup napas di bumi ini selama dua puluh tiga tahun, tetapi belum pernah sekalipun mengenalkan seorang kekasih kepada keluarga karena larangan dari orang tuanya. Caraka Altair Abimana--terpaksa kembali ke Indonesia lebih cepat dari perjanjiannya dengan keluarga Bestari untuk mengurus istrinya yang tidak tahu-menahu tentang pernikahan mereka. Mengapa Arka tidak tahu kalau dirinya sudah menikah? Perjanjiaan apa yang dimiliki Caraka dengan keluarga Bestari?
Lihat lebih banyak"Nggak bisa, Yud. Orang tuaku bakal ngamuk kalo aku ngenalin kamu sebagai pacarku ke mereka."
"Udah dua tahun loh kita pacaran, Ka. Dan kamu tau kan kalo aku berniat serius sama kamu?"
Ini bukan pertama kalinya Yudha meminta kepada Arka untuk memperkenalkannya kepada kedua orang tua Arka. Mereka sudah dua tahun bersama dan rasanya sungguh tidak nyaman selalu bersembunyi dari kedua orang tua Arka—gadis manis yang dikenal Yudha sejak ia bertemu dengannya di sebuah event.
Arka terus mengaduk iced lemon tea di depannya tanpa minat. Pembicaraan yang sama, yang terus berulang, dan akan berakhir sama. Pertengkaran.
Yudha meraih tangan Arka, mengusap pelan punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya. "Kamu nggak pernah nanya ke orang tuamu, Ka? Kenapa kamu dilarang pacaran? Apa orang tuamu maunya kamu langsung dinikahi? Apa gimana? Kamu udah 23 tahun, Ka. Harusnya kamu udah bisa milih apa yang kamu mau."
"Ralat. Bagi orang tuaku, aku 'baru' 23 tahun, bukan 'sudah' 23 tahun. Ada perbedaan yang jauh antara kata 'baru' dan 'sudah' bagi orang tuaku." Arka mengerucutkan bibir, membuat emosi Yudha yang semula sudah hampir meledak, kembali turun.
Tidak perlu lah Arka membawa nama besar keluarga Bestari yang pasti akan membuat Yudha shock setelah tahu adat dalam keluarga itu.
"Please, Ka. Demi hubungan kita, tolong dong kamu berjuang sedikit. Setelah kamu ngomong ke orang tuamu, aku siap untuk maju meluluhkan hati mereka."
"Aku coba ya."
"Aku nunggu kamu, Ka. Umurku udah 26, dan mamaku udah berharap banget segera ada seseorang yang nemenin aku. Aku bisa aja nekat dateng ke orang tuamu, tapi aku selalu mikirin perasaanmu sebelum melakukan sesuatu."
Arka mengangguk, dalam diam berterima kasih atas apa yang dilakukan Yudha selama ini kepadanya.
"Aku anter pulang?"
"Tapi—"
"I know. Sampe depan kompleks atau perempatan dekat rumah, iya kan?" Yudha meraih tangan Arka kemudian membawanya ke mobil yang terparkir di depan cafe tempat mereka menghabiskan waktu makan siang.
Perjalanan tiga puluh menit itu terasa seperti berjam-jam karena keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Untung Yudha masih bisa fokus dan menghentikan mobilnya tepat di dekat perempatan rumah Arka. "Hati-hati ya, Ka," ucap Yudha sebelum Arka turun dari mobilnya.
"Iya, makasih, Yud."
"Jangan lupa apa yang kita omongin tadi. Ok?"
"Iya, aku janji bakal ngomong ke orang tuaku."
Kalimat itu akhirnya disesali Arka. Harusnya ia tidak menjanjikan apa yang tidak bisa dipenuhinya. Jangankan memenuhi, mau memulainya saja, keberanian Arka bagai ditenggelamkan ke dasar bumi.
Arkadewi Lintang Bestari, tumbuh sebagai anak bungsu yang dimanja keluarga. Sebenarnya semua wanita keturunan Bestari memang selalu dimanjakan layaknya putri.
Kakaknya, Argabima Pandhu bahkan tidak memiliki nama belakang seperti namanya. Hanya wanita yang berhak menyandang nama Bestari sebagai nama belakang keluarga itu. Arga bebas melakukan apa saja, kecuali satu hal, pekerjaan. Arga tidak punya pilihan lain selain mengelola bisnis keluarga.
Sebaliknya dengan Arka. Arka tidak bebas melakukan apa pun, kecuali satu hal, pekerjaan. Arka boleh memilih menjadi apa pun yang dia mau, selama tetap menjaga kehormatan keluarga Bestari.
Karena teringat janjinya pada Yudha, sejak sore Arka mencoba mencari waktu yang tepat untuk berbicara kepada kedua orang tuanya.
Dimulai dengan papanya, Arka mengekor ke mana papanya melangkah.
"Kamu kenapa sih dari tadi ngikutin Papa terus?" Hadi Wijaya, keturunan keluarga Bestari yang juga tidak memiliki nama belakang 'Bestari' itu menatap putri semata wayangnya dengan bingung.
"Papa mau ngapain?"
"Mau ngasih makan ikan di kolam samping," jawabnya sambil meraih pakan ikan yang ada di lemari kecil dekat teras.
Arka masih setia mengekor ke mana papanya melangkah. "Pa."
"Hmm?" tangan Hadi dengan luwesnya menaburkan pakan ikan ke dalam kolam sesuai takaran yang biasanya ia berikan.
"Pa, hmm ... menurut Papa aku udah dewasa belum?"
"Belum, mandi aja mesti diteriakin dulu."
Arka memejamkan mata, kenapa itu yang harus diungkit papanya. Dia bukan satu-satunya orang di dunia ini yang malas mandi kan?
"Pa, aku serius."
"Kenapa sih, Dek?"
"Aku ... pengen punya pacar kayak orang lain, Pa," ucapnya sambil membuat riak-riak air kolam dengan tangannya dan menampilkan wajah sesendu mungkin agar papanya tergerak hatinya.
"Nggak boleh," jawab Hadi dingin.
"Alasannya? Aku udah 23 tahun, dan kayaknya aku berhak tau alasannya deh, Pa."
Hadi hanya menghela napas berat, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Arka tanpa sepatah kata pun.
"Jangan salahin aku kalo nanti aku nggak nikah-nikah ya!" teriak Arka dari pinggir kolam sesaat sebelum papanya masuk ke dalam rumah.
Arka menggeram kesal. Ia berjalan menuju dapur di mana mamanya sedang entah melakukan apa, baking mungkin, atau membuat dessert. Sebagai ibu rumah tangga, mamanya sangat sering berada di dapur, walau hasil masakannya kadang membuat anggota keluarga itu mengernyitkan dahi.
"Ma."
"Kenapa?"
"Hmm ... Mama lagi bikin apa?"
"Setup roti, belum jadi, jangan minta dulu."
Arka mendengkus pelan. Dari mana ia harus mulai mengajukan pertanyaan? Sementara mamanya terkenal lebih galak daripada papanya. Itu sebabnya tadi ia bertanya lebih dulu pada papanya.
"Ma ...."
"Apa?"
"Nggak jadi, aku ambil buah pear yang di kulkas ya." Arka berlari dari dapur setelahnya, padahal tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang terkait dengan izin pacaran, tapi debaran jantungnya sudah menggila.
Hadi yang melihat Arka berlari tergopoh dari dapur lantas menghampiri istrinya. "Arka ngomong sesuatu, Ma?"
"Cuma ambil buah pear aja."
"Masa nggak ngomong sesuatu?"
"Nggak, Pa. Arka ngomong apa ke Papa? Dia kan suka takut mau ngomong ke Mama."
"Dia nanya alasan kita ngelarang dia pacaran." Helaan napas berat terdengar dari lelaki paruh baya itu. "Apa udah saatnya kita panggil Caraka ya, Ma? Umur Arka juga udah 23 tahun, Ma. Mungkin udah saatnya Arka tau semuanya."
***
Sebuah cafe bernuansa monokrom menjadi pilihan Yudha untuk makan siang dengan Arka. Tidak setiap hari ia bisa menjemput Arka pulang mengajar. Bersyukur hari ini ia sedang ada penugasan di luar hingga bisa mengajak Arka sekalian makan siang meskipun saat itu adalah hari kerja.
"Gimana, Sayang? Udah ngomong ke orang tuamu?"
Arka hampir saja mendengkus kesal atas pertanyaan Yudha. Tidak bisakah ia istirahat sebentar? Dia baru pulang mengajar, dan mengajar dua puluh anak berusia lima tahun itu tidaklah mudah. Energi yang dihabiskannya mungkin lebih banyak dibanding para dosen yang mengajar tiga puluh mahasiswa di dalam kelasnya.
"Apa kita harus ngomongin ini sekarang, Yud?"
"Kamu capek ya? Sorry." Yudha kemudian mengusapi puncak kepala Arka.
"Next time ya, Yud, kita omongin lagi. Aku pasti ngasih tau kamu kalo udah ada hasil dari pembicaraanku sama orang tuaku."
"Ok, ok, I'm sorry." Sekali lagi Yudha meminta maaf karena melihat gurat letih di wajah kekasihnya. Tangannya dengan lembut menyentuh tangan Arka dan memainkan jari-jarinya.
Namun tiba-tiba, seseorang menarik tangan Arka, berusaha memisahkan genggaman tangan mereka sebelumnya.
Yudha dan Arka menatap lelaki itu dengan tatapan bingung.
Baru saja Yudha akan menegur lelaki yang berani-beraninya mengganggu mereka, tapi lelaki itu sudah lebih dulu bicara.
"Arka, bukan pemandangan seperti ini yang ingin dilihat seorang suami yang baru bertemu istrinya setelah sekian lama!" ucapnya sambil menatap Arka lekat, seakan Yudha sama sekali tidak ada di sana.
"Masnya siapa ya?" Arka benar-benar bingung mendengar penuturan lelaki itu. Tapi tadi lelaki itu memanggil namanya kan?
"Arkadewi Lintang Bestari, saya … suami kamu."
Caraka: Abang mau berangkat ya. Kamu tunggu di dalem aja, nanti Abang kabari kalo udah sampe.Caraka memang melarang Arka membawa mobil sampai ia yakin vertigo yang Arka derita tidak akan kumat lagi.Sudah seminggu setelah Arka sembuh total dari vertigo-nya. Dua hari sebelumnya ia sudah mulai mengajar seperti biasa.Bahkan hari sebelumnya ia bertemu dengan mertuanya yang kebetulan sedang memiliki jadwal story telling untuk siswa TK B. Mertuanya memarahinya karena tidak memberi kabar perihal sakitnya.Arka tersenyum simpul menatap layar ponselnya dan mengetikkan balasan untuk Caraka.Arka: Ok, hati-hati BangIa merasa lega, setelah berhasil—atau lebih tepatnya terpaksa—menyampaikan semua perasaan rendah dirinya pada Caraka, mereka berdua mulai bisa berkomunikasi dengan baik. Arka mulai belajar mengungkapkan perasaannya, dan Caraka mulai belajar menangkap maksud Arka dibalik setiap sikapnya.Sekitar dua puluh menit setelah membalas pesan Caraka, lelaki itu meneleponnya, mengatakan kalau
“Kapan Abang cuek sama kamu?”“Sem—” Arka mengurungkan niatnya untuk mendebat Caraka. “Aku mau tidur, ngantuk.”Caraka menarik napas, kemudian menghembuskannya perlahan, mencoba mengerti dan mengalah pada Arka. Lagipula kondisi Arka sedang tidak baik untuk diajak berdebat.“Abang kerja di luar ya, nanti panggil Abang kalo kamu butuh sesuatu,” ucap Caraka sambil mengusap puncak kepala Arka dan mencium keningnya.“Tuh kan ditinggalin lagi.” Arka pikir ia hanya menggumam, tapi nyatanya Caraka mendengarnya.“Kamu mau Abang temenin? Bilang aja, Sayang. Nggak usah marah-marah gitu. Gimana vertigonya nggak kumat kalo kamunya suka marah-marah.”“Emang ada hubungan apa, marah-marah sama vertigo?”Tanpa kata, Caraka melangkah keluar dari kamar. Arka memejamkan matanya, kesal setengah mati, tapi kepalanya masih terasa berputar meskipun ia sudah mendapat suntikan dari dokter.Terdengar suara pintu kamar dibuka lagi. Arka melirik dan mendapati Caraka tengah mengeluarkan macbook dari dalam tasnya.
“Eh? Abang udah pulang?” Arka tersentak kaget saat merasakan seseorang menggondongnya.Ia tertidur saat menunggu Caraka di depan televisi. Arka pikir Caraka hanya akan telat satu atau dua jam, nyatanya sampai kantuknya mengalahkannya, Caraka masih belum pulang juga.“Kenapa bangun?”“Ya kebangun. Turunin, Bang.”“Nanggung, dikit lagi juga nyampe kasur.”Tiba-tiba Arka terkekeh, membuat Caraka kebingungan. “Ka. Jangan ketawa sendiri gitu ah.”“Lucu, Bang. Aku sering nonton di drama Korea, China, Thailand, mana aja lah, biasanya ceweknya kalo digendong pas tidur itu nggak kebangun, Bang. Kok aku kebangun ya?”“Mereka pingsan kali, bukan tidur. Atau pura-pura tidur.” jawab Caraka asal, karena sebagai seorang lelaki dengan pemikiran penuh logika, tidaklah masuk akal seseorang yang digendong tidak akan terbangun.“Tau gitu tadi aku pura-pura tidur aja ya, Bang.”Caraka menatap Arka dengan geli. Apa yang membuat Arka menjadi aneh?Usai merebahkan Arka di atas kasur, Caraka langsung berbalik
“Kamu belum sepenuhnya bisa percaya sama suami kamu, Ka.” Itu kalimat Dokter Karina yang terus terulang di otak Arka.Sekembalinya ke Jakarta, Arka secepatnya mengatur janji temu dengan psikolognya. Karena ia mendapat jadwal di hari kerja, Caraka tidak bisa menemaninya pergi. Caraka memintanya untuk menunggu sampai weekend agar bisa menemani, tapi Arka tidak ingin menunggu terlalu lama.Arka tahu, setelah kejadian ‘itu’, ia jadi lebih overthinking, insecure, dan hal-hal negatif lain, yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Ia bahkan sering terbangun tengah malam dan tiba-tiba merasa bersalah, padahal hanya melihat Caraka tidur pulas di sampingnya.Sedihnya lagi, ia tidak tahu harus cerita masalah ini kepada siapa. Hanya kepada psikolognya ia bisa bercerita. Kepada Naya, ia malu untuk menceritakannya kalau Naya tidak bertanya lebih dulu padanya.Kepalanya yang terasa pening, membuat Arka melajukan mobilnya ke arah rumah orang tuanya. Ia malas pulang ke rumah—yang ditempatinya bersama
“Abang, ayo bangun. Kita mesti nyampe rumah Budhe sebelum akad mulai. Malahan disuruh jam tujuh udah stand by di sana,” ucap Arka membangunkan Caraka sambil menggoyang-goyangkan lengan Caraka.Setelah kejadian saat malam hari, di mana mereka hampir menjadi suami istri seutuhnya—tapi terpaksa gagal karena Arka yang masih belum bisa menghilangkan traumanya, keduanya memilih langsung tidur, tidak sambil berpelukan seperti biasanya. Justru ada dua guling yang menjadi pembatas di antara mereka, karena Caraka takut menyakiti Arka lagi.Caraka mengerjap pelan, kemudian menatap Arka yang sepertinya sudah selesai mandi. “Kamu udah nggak apa-apa?” tanya Caraka sambil mengusap pelan pipi istrinya itu.Arka menggeleng sambil tersenyum, meraih tangan Caraka yang mengusap pipinya, “Maaf ya, Bang.”“Abang yang minta maaf.”Arka terkekeh kecil. “Kayaknya nggak bakal ada habisnya kalo kita saling minta maaf. Nggak usah dibahas lagi ya, Bang. Aku janji bakal ngatur jadwal lagi buat konsul ke Tante Kar
"Arkaaa, kamu mau nyiksa Abang?"Arka mengerucutkan bibir, merenggangkan jaraknya dengan Caraka. “Ya udah, Abang sarapan dulu, mandi, terus tidur. Nanti siang aku ajak aktivitas yang capek biar malemnya nggak mikir macem-macem, jadi kita bisa tetep tidur bareng kayak biasanya.”“Siang? Aktivitas yang bikin capek?” Pikiran Caraka mulai ke mana-mana karena kalimat ambigu yang diucapkan Arka.Arka malah mengerling jahil dan begitu saja keluar dari kamar.Caraka menggeram kesal dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi lebih dulu, menghilangkan kantuknya sebelum sarapan.***"Ini aktivitas yang kamu bilang bakal bikin capek?"Setelah berkendara sekitar satu jam, keduanya sampai di pelataran parkir dengan gapura besar bertuliskan 'Cukang Taneuh/Green Canyon'.Caraka langsung merasa curiga karena Arka dengan semangat ‘45 membawanya ke tempat itu. Apalagi nama Green Canyon mengingatkannya pada Grand Canyon yang berada di Amerika.Seorang pria paruh baya tiba-tiba mengetuk kaca mobil di sisi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen