“Asih, Renjanaku, apa kabar? Maafkan aku.” Sudah seminggu layang itu di kirimkan. Perasaannya kacau. Merusak konsentrasi kegiatan belajar. Semangatnya tak membara seperti dulu, ketika ingat janji untuk segera melamar kekasihnya. Namun kini, keadaan sudah berbalik. Alam tidak mendukung niatnya.
Juga sekitar satu minggu, ia tidak bekerja. Dan hari ini adalah hari pertama setelah seminggu kerjaan berhenti. Bukan karena Harun sakit, tapi melainkan karena memang tidak ada proyek yang harus di kerjakan.
Tapi, Harun berangkat tidak penuh semangat seperti biasa. Ternyata pedihnya perasaan juga berimbas pada semangat kerja. Dewa, teman bekerja sekaligus sahabatnya yang mengetahui segala dari Harun─ selain teman kerja dan teman kuliah Harun─ menghempaskan napas dengan kasar dan geleng-geleng kepala. Dewa paham betul lara hati yang di dera sahabatnya. Sungguh tidak mudah menjadi Harun. Bahkan, jika ia sendiri yang mengalami, ia tidak tahu harus mengambil keputusan bagaimana. Di tepuknya pundak Harun. Menguatkan. Harun menoleh. Wajahnya begitu datar. Namun berusaha menunjukkan jika ia baik-baik saja.
“Run, lah opo raimu kucel ngunu iku?” Pak mandor yang baru datang seketika menangkap wajah anak buah kesayangannya.
Dewa menggelegarkan tawa. “Run, Harun, kamu memang gak bakat patah hati.” Ia masih dengan tawanya. Harun melirik. Tawanya bungkam seketika.
“Wah, tampaknya ada yang mau melahirkan ini.” Harun mengalihkan arah bicara. Matanya mengarah pada pak mandor yag sibuk mengelus perutnya yang kekanyangan dan semakin besar.
Pak mandor terkekeh. “Habis sarapan dari mak Yem. Awakmu di golek noh.” Ia menunjuk dengan dagunya yang kini tak nampak lagi wujud dagu, semakin bulat saja wajahnya.
Tombo patah hati, Run.” Sahut Dewa dalam bisikan lalu ngacir meninggalkan Harun sebelum di lemparkan helm kuning yang di pegang olehnya.
“Wooooo bocah semprul.“ Yang di semprotnya telah terlebih dulu menjauh. Pak mandor menahan tawa melihat tingkah kedua anak buahnya yang selalu bisa menjadi hiburan ketika jenuh dengan kerjaan.
Di rebahkan tubuhnya setelah ia membersihkan diri. Pekerjaan hari ini begitu terasa berat. Mungkin karena tak ada semangat dan juga perasaannya yang campur aduk seperti semen.
“Noh ...” Dewa menyerahkan sepucuk surat lalu ngacir. Handuknya sudah bersandar di pundak.
Dengan malas ia buka surat tersebut. Tak pernah sekalipun terlintas di benak Harun bahwa Asih akan membalas suratnya minggu lalu. Namun jika bukan Asih, lalu siapa lagi yang mengirim surat? Apakah emak atau sahabatnya Asih yang mengabarkan keadaan Asih?
Di bukanya dengan sejuta rasa penasaran. Terpampang jelas, tulisan Asih. Di buka perlahan lalu di bacanya. Lima menit yang ia butuhkan untuk mencerna kata-kata yang ada dalam surat. Bukan sebuah kemarahan ataukah hinaan seperti yang ia pikirkan.
Dialah Asihnya, gadis desa yang ayu dengan sejuta kelebihan.
Di geletakkan surat itu di meja. Ia mengeja perasaannya. Di pandangi langit-langit. Tampak di sana senyum Asih yang mengembang dengan sempurna. Namun segera sirna karena teringat isi surat yang barusan ia terima.
***
Tak sekali pun matanya terpejam. Ia berusaha sebisa mungkin untuk segera memejamkan mata dan bermain dalam mimpi. Namun sekalipun tak berhasil. Isi surat yang di tuliskan untuknya benar-benar mengganggu pikiran.
Di ambilnya mushaf yang tersimpan rapi di lemari kecil. Sehabis maghrib sudah di buka, sedari dulu meski meninggalkan rumah dan jauh dari keluarga, ia tetap menjalankan kebiasaannya. Kini matanya susah terpejam. Pikiran kalut tak bisa di kendalikan. Ia putuskan membuka mushaf lagi dan berharap hatinya tenang dan matanya bisa terpejam.
Suaranya indah. Mendayu. Menyeruak keheningan malam. Menari bersama semilir angin malam. Namun, matanya tetap tak menunjukkan tanda-tanda mengantuk meski hatinya terasa tenang.
Hingga pagi buta ia mengeja huruf-huruf arab dengan sangat lincah. Matanya menari kesana kemari. Hampir sempurna. Tak ada kesalahan besar yang di lafalkan. Ia pasrahkan segala rasa pada sang Maha Agung. Di sudut hatinya mencoba ikhlas, namun logika seolah menolak keras.
Langit sudah nampak merah jingga. Di tutup mushaf yang sedari tadi di pangku. Dewa sudah berdiri di daun pintu ketika Harun membalikkan badannya. Kaget. Dewa bersandar di tiang pintu. Kakinya di silangkan ke depan. Matanya menatap Harun dengan tajam.
“Lah opo nguwasi aku ndek kono?” Harun cuek dengan kelakuan sahabatnya yang suka jahil itu. Ia lepaskan peci yang melekat di kepala. Di simpan dalam lemari kecil beserta mushaf yang menemani sejak semalam.
Dewa tak memberikan respon atas pertanyaan Harun. Laki-laki yang bertubuh dempal itu masih menatapnya lekat.
“Kesambet opo sih awakmu, Wa?” Kali ini Harun merasa risih di perhatikan seperti itu sama Dewa. Pikiranya mulai kemana-mana. Apa Dewa menyukaiku? Harun bergidik ngeri. Di bukanya jendela yang tak sebegitu besar. Namun bisa mengalirkan udara pagi yang masih terasa segar dan berharap bisa membuat waras sahabatnya. Lalu, ia merebahkan tubuhnya di kasur yang semakin hari semakin kempes.
“Mau sing ngaji awakmu, Run?” Kini ekspresinya sudah berubah. Sekarang ganti Harun yang mengeluarkan ekspresi aneh.
“Lha iyo, sopo meneh. Kenopo to?” Tatapanya tak kalah tajam kali ini.
“Bener ae Asih rela nunggu ning stasiun betahun-tahun meski gak jelas awakmu muleh kapan. Ternyata iki to rumuse,”Wwajah Dewa jelas menunjukkan kekaguman padanya.
“ Awakmu gelem gak marai aku?” Wajahnya sudah berubah lagi. Memelas dan penuh harap.
Di tatap dengan sungguh wajah Dewa. Terkadang ia tak bisa di tebak. Seolah serius tapi tenyata hanya bercanda semata.
“Aku temenan iki, Run,”
“Gelem ra?” Wajahnya semakin menunjukkan keseriusan dan kemelasan.
“Wes-wes, aku tak adus ndisik. Mulek aku nguwasi wajahmu” Harun melangkah pergi. Meninggalkan Dewa yang sudah berpindah duduk di pinggiran amben.
Dewa melamparkan bantal yang ada di dekatnya. Harun sudah ngacir terlebih dulu. Tak tampak lagi punggungnya. Mata Dewa menangkap selembar surat yang ia terima hari lalu. Di raihnya lembaran itu. Di bukanya.
Sugeng Enjang kang Harun ...
Alhamdulillah saya dan emak sehat semua. Kang, matur nuwun keputusane panjenengan. Tapi, Asih ngerti saestu tentang kang Harun. Gak gampang menyerah.
Kang, nek menawi panjenengan temenan. Mboten saget memenuhi janji, Asih pingin ketemu riyen. Nek kang Harun mboten sanggup, berarti leres dugaane Asih, kang Harun ngapusi perasaane piyambak.
Asih tunggu jawabne kang ...
Sing tasih menunggu njenengan,
Asih
Tubuhnya lemas seketika setelah membaca surat dari kekasih Harun. Tak menyangka, hubungan dua anak adam ini akan sebegitu rumit. Harun pasti tidak akan sanggup menatap mata gadis yang ia perjuangkan selama ini. Dewa menarik napas berat. Ia percaya, hari lalu Harun hanyalah pura-pura ketika mengatakan bahwa ia tak lagi mencintai Asih.
“Wes lek moco?” Harun masuk kamar sempit dengan rambut yang sedikit acak-acakan sembari di elusnya dengan handuk dari belakang.
“Ndang adus” perintahnya lagi. Dewa menatapnya penuh haru. Lalu berdiri menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Harun hanya melirik. Di balas dengan menepuk lengan kokoh Dewa. Dewa segera berlalu. Meninggalkan Harun yang kini duduk di tepi amben. Menururti atau menolak permintaan kekasihnya.
Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi
Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele
Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa
Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n
Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru
Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj