Share

Nyadran

Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.

Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.

Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.

Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menampung nasi beserta lauk pauk yang rata-rata berupa ingkung ayam, sayur mayur, dan buah. Biasanya bapak yang membawa dan meletakkan di atas kepala. Ia membuntuti di belakang.

Semua warga berkumpul di sebuah tempat yang luas. Menggelar tikar yang di bawa masing-masing keluarga. Di gelarnya tikar yang di bawa oleh emak. Harun beserta bapak, emak dan adiknya duduk di sana. Menunggu yang lain berdatangan. Juga sesepuh yang belum datang. Semua tampak antusias. Hingar bingar terlihat di wajah mereka.

Es teh tadi belum habis. Kini di teguk lagi. Tandas. Ingatan demi ingatan acara nyadran di rumah membayang. Tak hanya itu. Kerinduan pada kekasihnya juga mengganggu pikiran dan perasaan. Di elus perut yang terasa lapar. Namun kehilangan selera makannya menghalangi seonggok nasi masuk ke dalam perut.

Hingar bingar lalu lintas kota Atlas tak lagi pernah ia hiraukan. Di lihat jam yang betengger di dinding warung pinggir jalan langganannya. Pukul tujuh. Di raihnya helm berwarna kuning. Lalu mengangkat bokongnya dari kursi panjang yang telah mempertemukan bersama pak Mandor berperut buncit yang kini di anggapnya seorang ayah di tanah rantau.

“Mak, biasa ya. Bon dulu.” Suara Harun terdengar menggoda sembari mengangkat alisnya. Merayu penjual nasi yang biasa di panggilnya Mak Yem. Sang pemilik warung. Rewang Mak Yem yang ayu melirik malu-malu. Melepas kepergian Harun.

“Run, Harun. Kok enggak di makan to?” Mak Yem menjawabnya dengan sebuah pertanyaan. Pemuda itu sudah di anggap seperti anaknya sendiri. Dia selalu baik padanya. Tak sungkan ia membantu mencuci piring atau bersih-bersih di warungnya.

Di jawab dengan cengiran khas pemuda desa itu. Selalu ada cara untuk menutupi segala kegundahan hatinya. Namun tidak untuk wanita janda yang berparas ayu ini. Meski di panggilnya emak, namun ia masih ayu dan segar.

Mak Yem menatap nanar punggung Harun yang berlalu meninggalkan warung. Namun wajah sendu milik Harun masih tetinggal di warung Tombo Lesu pinggir jalan. Senyuman manis keluar di bibir mak Yem, meski hanya secepat kilat. 

***

           

Hari ini jalanan cukup padat. Harun sengaja memilih berjalan kaki untuk menuju stasiun. Langkahnya santai tapi semangat membara di dada. Pandangannya lurus ke depan. Tidak jelalatan seperti ketika ia jalan-jalan menikmati suasana malam. Tas kecil di cangklong di pundak kiri. Kaos oblong berwarna putih di lapisi dengan kemeja kotak-kotak dengan kancing yang tetap di biarkan terbuka. Wajahnya yang tampan dan kulitnya yang bersih membuat gadis-gadis yang tak sengaja berpapasan pasti akan melirik.

Lima belas menit berjalan. Tempat yang ia tuju kini di depan mata. Begitu ramai. Tampak beberapa gerombolan dengan membawa tas-tas besar. Seperti mau bepergian jauh. Bahkan, ia melirik sekitarnya, hanya dia seorang yang dengan pakaian santai dan tas kecil yang di rasa cukup untuk mengisi barang bawaannya.

Di rogoh tiket yang sudah ia pesan kemarin. Tiket seharga enam ribu rupiah. Tiket kereta lokal dengan kecepatan sedang dan fasilitas seadanya. Tak mengapa. Itu sudah lebih dari cukup untuk segera melepas rindu kepada perempuan yang telah melahirkannya.

Namun tiba-tiba pikirannya resah tak terkira. Ia ingat bagaimana isi surat dari sahabatnya perihal Asih. Sang kekasih yang terus menunggu kedatangannya di stasiun tua tengah kota, tempat di mana dulu ia berjanji akan pulang dan menemuinya di sana.

Perasaan bersalah mendayu-dayu. Sepanjang jalan di kereta, ia terus di selimuti rasa bersalah. Namun, ia juga telah berjanji, tidak akan pulang untuk menemui Asih sebelum ia sukses. Kepulangannya dan menemui Asih, berarti ia harus segera memenuhi janjinya pada Mak Ram.

Di luar hujan semakin deras. Bulir-bulir bening membasahi dinding kaca yang ada di sebelahnya. Hari ini kereta lokal ini tak ramai, meski stasiunnya begitu padat. Mungkin, mereka akan pergi jauh dari kota Atlas, tempatnya mencari penghidupan yang layak.

Pikiran yang melayang entah kemana membawanya tiba pada tujuan. Stasiun yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Meski terletak di luar kota. Karena Harun tinggal di bantaran sungai bengawan Solo, sungai terpanjang di pulau jawa yang memisahkan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Di percepat langkahnya. Di sana, seorang wanita paruh baya dengan pakaian kebaya tengah berlari-lari kecil menjemput. Menyibak gerombolan para tukang ojek yang mengais rejeki.

Di rengkuh perempuan berhijab biru muda setelah ia mencium tangannya. Terdengar sesenggukan di dada bidangnya. Rasa bersalah kian membesar. Tidak hanya pada Asih, namun juga pada emaknya.

Gadis muda berhijab warna pink yang kini sudah mulai tampak lebih dewasa memperhatikannya dari jauh. Ikut menitikkan air mata bahagia. Dialah Sekar, adik kandung Harun. Yang dulu masih kecil dan menggemaskan ketika di tinggal merantau.

Harun membimbing kedua bidadari itu untuk duduk di kursi ruang tunggu paling pojok. Sehingga tak ada lalu lalang yang akan mengganggu pertemuan sementara mereka.

Sekar membuka bontot yang sudah di persiapkan untuk mas yang begitu di rindukan. Jika dulu ada yang selalu usil kini Sekar harus menerima kenyataan perihal kesepiannya.

Wingi kan nyadran, Le. Ki emak gowo makanan sing mbok senengi.” Di lirik isi kresek ungu yang tadi di buka oleh adiknya. Wajahnya terlihat berbunga. Kebahagian itu kini berlipat ganda. Rindunya bertemu emak dan adiknya terbayar, juga pada pada makanan yang selalu di cari ketika acara nyadran.

Jadah goreng. Di ambil dan langsung saja di masukkan ke dalam mulut.

“Sejak kapan kamu makan tanpa membaca doa, Le?” Emak risih dengan kerakusan anak sulungnya.

Segera di telan makanan yang sudah terlanjur masuk. Lalu merapalkan doa sebelum memakan lagi. Wajahnya merah padam. Omongan emakanya memang halus dan lembut, tapi serasa menampar seketika.

Harun cengar-cengir mengingat tentang makanan yang ia makan. Jadah. Makanan yang berasal dari beras ketan yang bersifat lengket saat di masak. Dan ketika membuatnya juga penuh dengan kesabaran. Makanan yang menurut sesepuh memiliki makna dan harapan agar keyakinan kita terhadap Tuhan tetap lengket di hati. Makanan ini biasanya selalu ada di acara perkawinan, degan tujuan agar mempelai tetap lengket dan tidak akan mudah terpisahkan.

Ia lalu mengambil sepotong kue cucur. Kue yang di percaya oleh masyarakat Thailand sebagai lambang cinta. Dengan maksud agar si pemenerima makanan merasakan pemberian cintanya, kasih sayang, hormat menghormati sesama manusia.

Tenggorokan Harun mulai terasa kering. Di raihnya pisang raja agar sedikit membasahi tenggorokan. Pisang ini melambangkan kesuburan. Dengan harapan selalu subur tanaman yang di tanam dan bisa mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah.

Sesekali mereka sambil bercerita. Bagaimana kabar di desa, bagaimana keadaan bapak, mengapa beliau tak ikut menemuinya? Dan juga tentang hubungannya sama Asih.

Belum selesai cerita itu berlanjut. Suara yang bersumber dari pengeras suara itu terdengar. Ia langsung berpamitan pada emak dan adiknya. Waktu melepas rindu telah habis. Di cium tangan yang kini sudah banyak keriput dan juga di elus kepala adiknya ketika mencium tangan.

Harun segera berlalu. Lagu Suwe Ora Jamu yang menjadi khas pertanda masuknya kereta penumpang ke stasiun telah terdengar. Di lihatnya kedua bidadari yang memandangnya dari kejauhan dengan senyum paksa. Sekelebat banyangan Asih mengganggu. Sebelum akhirnya, gerbong kereta memisahkan pandang mata di antara mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status