Zoelva mengira, tadi pagi itu adalah calling terakhir dia dengan Latifah. Tetapi kenyataannya, tepat pukul 13.00 WIB, sang bidadari kembali menghubunginya kembali, juga lewat vidcall. Saat itu ia masih berada di ruang kerjannya di gerainya di sebuah Mall di Bekasi. Dia melihat wanita itu duduk di suatu tempat yang banyak orang yang lalu-lalang. Seperti di ruang tunggu sebuah bandara.
"Assalamualaikum, Dek Zoel. Lagi apa?" Latifah langsung melemparkan senyum yang sama seperti tadi pagi. Seulas senyum khas yang manis tiada tara, menurutnya.
"Waalaikumsalam, Mbak Ifah. Ini saya lagi di tempat kerja. Mbak Ifah sendiri lagi di mana? Sepertinya di sebuah ruang tunggu, bandara, mungkin?”
“Iya benar, Dek Zoel, Mbak lagi ruang tunggu bandara Soetta. Mau balik ke Demak,” sahut sang bidadari. Saat itu sang bidadari mengenakan hijab lebar berwarna hijau Suzuki.
Dasar orang cantik, mau mengenakan hijab warna apa pun, tetaplah cantik, batin Zoelva. “Kok mendadak sekali, Mbak Ifah?”
“Iya Dek, putrinya Mbak nangis terus, kangen katanya. Makanya Mbak balik duluan, saudara Mbak mungkin besok atau lusa.”
“Berarti putrinya nggak dekat banget ya dengan bapaknya? Hehehe...”
“Iya begitulah Dek Zoel. Eh, kok Dek Zoel tau, sih?”
“Cuma nebak aja sih, Mbak. Hehehe. Oh ya, nanti turunnya di Solo, Jogja, atau Semarang?”
“Oh begitu? Ikh, sudah guanteng pandai menebak pula, hehehe,” kelakar Latifah lalu tertawa pelan. Tapi lagi-lagi ia menutup separuh wajahnya dengan hijab yang dikenakannya. “Lewat Semarang, Dik, Bandara Ahmad Yani.”
“Oh iya. Trus boarding time-nya jam berapa?”
“Ini sebentar lagi. Ok, Dik Zoel, kita sambung ntar malam lagi, ya? Doakan perjalanan Mbak nyaman dan selamat?” Sekali lagi sang bidadari menyihirnya dengan sebuah senyumannya yang teramat manis.
“Baiklah, Mbak. Insha Allah, perjalanannya nyaman dan selamat, amin Allahumma amin,” sahut Zoelva sembari tak lupa membalasnya dengan sebuah senyum pula.
Malam, sekitar pukul 22.00 WIB, seperti janjinya, Latifah kembali menghubungi Zoelva. Masih melalui saluran video call. Saat itu ia masih duduk di ruang tamu rumahnya, karena baru pulang dari gerainya. Begitu wajahnya muncul di layar hape, sang bidadari langsung mengucapkan salam.
“Walaikumsalam, Mbah Ifah,” jawab Zoelva. “Mbak Ifah lagi apa? Mbak Ifah seperti di dalam tokoh?”
Saat itu wanita itu memang sedang mengatur barang-barang dagangan dalam etalase tokonya.
“Iya, Dek Zoel. Mbak buka toko sembako, juga busana muslim,” sahut Latifah sembari sekali-kali melirik dan tersenyum. “Ini Mbak lagi mengatur barang dagangan kiriman. Tapi sudah mau rampung, kok. Dik Zoel baru pulang kerja, ya?”
“Oh seperti itu? Iya nih, Mbak. Sebenarnya pulang dari tadi, tapi tadi mampir sebentar di apartemen.”
“Kalau begitu Dik Zoel mandi, makan, atau apa dululah, satu jam lagi Mbak kontak Dik Zoel, kalau boleh.”
“Oh, baik, Mbak. Bolehlah, kebetulan malam Minggu, besok saya masuknya setelah zuhur. Ok, Mbak, sampai nanti. Assalamualaikum.”
“Walaikum salam...”
Tadi Zoelva sudah makan dengan koleganya di sebuat restoran seafood. Berarti sekarang dia hanya perlu merendam tubuhnya dengan air hangat di bathtub.
Sebuah panggilan masuk. “Hm, Tante Liana,” gumamnya.
“Hai, Tan...?”
“Hai juga, Sayang? Zoel lagi di mana?” terdengar suara lembut nan manja dari seorang wanita di seberang.
“Ini lagi mau mandi, Tan. Baru pulang kerja ,” sahut Zoelva sembari mencopot pakaiannya untuk diganti dengan mantel mandinya.
Namanya Liliana, seorang wanita karir, single parent, usia 38 tahun, cantik, mungil tapi memiliki bodi padat berisi, merupakan salah satu teman kencannya Zoelva. Dua kali mereka bertemu dua kali itu pula mereka meraih puncak kenikmatan birahi. Pertama di sebuah kamar hotel seusai keduanya menghadiri sebuah seminar yang diadakan di hotel yang sama. Yang kedua adalah di dalam ruang kerjanya wanita yang memiliki wajah oriental itu sendiri. Jika Zoelva dibanding-bandingkan, siapakah wanita yang permainan paling ia disukai di antara sekian banyak wanita yang pernah dikencaninya? Maka jawabannya adalah Nyonya Hasyima alias Bunda Jesica. Bunda Jesica paling mampu memanjakannya secara maksimal, sejak dari foreplay hingga pada permainan yang sesungguhnya. Sementara Tante Liliana libido dan gairahhnya kelewat tinggi, sehingga maunya cepat dan praktis, dan tak terlalu mengutamakan foreplay. Dalam waktu beberapa menit saja si tante girang itu sudah menjerit keras sembari menancapkan kuku-kukunya di punggungnya sebelum ambruk di atas tubuhnya. Dia mudah mencapai orgasme dalam variasi dan gaya apa pun.
“Tante boleh ikut nggak sayang...?” pintanya dengan suaranya yang manja menggoda.
“Ikut ke mana, Tan? Ke langit biru....?” sahut Zoelva sambil tertawa kecil. “Tante lagi di mana, nih? Kok tumben telepon jam segini? Biasanya jam segini Tante masih di luar?”
“Iya, hari ini Tante tak terlalu banyak skedulnya. Jadi pulang cepat tadi. Sayang...sekarang sudah di mana...?”
“Hm. Ini saya sudah di bathtub.”
Tiba-tiba wanita cantik beranak dua itu mengalihkan panggilan ke panggilan video call.
Zoelva meletakkan hapenya di atas meja kecil dengan memnghadapkan kamerannya ke bathtub, lalu menerima pengalihan panggilan ke video call itu.
“Waaw...!” pekik Tante Liliana begitu melihat sang brondong tangguhnya terpampang di layar hapenya. “Bikin tante kepingin saja kamu Say...!”
“Kepengen apa, Tan...?” goda Zoelva.
“Kepengen bergabung dalam bathtub itu, Say...,” sahut Tante Liliana sambil melangkah ke arah pintu kamarnya, menutupnya, dan menguncinya. “Tante kalau ingat dadamu yang penuh bulu itu, tante pasti horny, tau?” Ia menyandarkan tubuhnya ditempat tidurnya.
Wanita itu sangat cantik dan seksi dengan lingerie putih transparan yang dikenakannya. “Tante sexy nian malam ini,” puji Zoelva.
“Coba kamu berdiri sebentar, Say...,” goda Tante Liliana sambil menggigit bibit bawahnya dengan mata disayukan.
Zoelva menanggapinya dengan tertawa dan berkata, “Janganlah lewat video call, Tante Sayang. Kita sesuaikan saja waktu kita untuk bertemu.”
“Baiklah, Sayang. Tante sudah sangat kangen, tau...?” sahut Tante Liliana. Di wajahnya tampak sebuah gambaran kekecewaan.
“Sama, Tante.”
“Ok, sayang, kamu lanjutkan dulu mandinya, besok Tante hubungi lagi, ya? Bye bye...ummmacch...!!”
“Terima kasih, Tan. Ok. Bye bye...!”
“Ukh...dasar tante-tante girang...!!” Zoelva ngedumel sendiri, tertawa kecil sendiri pula.
Setelah mandi, ia keluar membuka pintu. Ia melihat asisten rumah tangganya, Pak Ujang dan istrinya, Bu Ida, sedang menonton tv di ruang keluarga. “Pak, malam ini saya tidak keluar, itu pintu gerbangnya dikunci saja,” pesannya.
“Baik, Den...!”
Tak ada lagi sesuatu yang harus dilakukannya. Maka saatnya ia naik ke atas tempat tidur, lalu berselancar di dunia maya, login ke akun F******k-nya, lalu menelusuri status-status temannya satu persatu. Jika ada status-status yang perlu di-like ia akan memberinya like, namun ia jarang memberi komentar. Dan ia sendiri jarang meng-update status. Status terakhirnya sekitar dua minggu yang lalu. Sangat banyak yang kasih like dan komen, dan ia belum punya cukup waktu untuk membalas komen mereka. Hanya memberinya like pada tiap komen tersebut.
Saat ia menelusuri status-status temannya itu, ada satu status yang menarik hatinya. Status dari Mbak Latifah dengan caption:
“Aku tak punya pilihan selain hanya menunggu!”
Zoelva mencoba menganalisa isi caption itu sambil membacanya berulang-ulang. Tapi ia pun mengangkat kedua bahunya. “Apa pun tulisan dia, itu semua masalah dia. Lantas mengapa harus berusaha untuk kepo menganalisanya?”
Zoelva tersenyum dan menggeleng-geleng pelan. Ia malah merasa lucu terhadap pikirannya sendiri.
Tiba-tiba ada video call masuk. Ternyata dari si pemilik status yang ia coba analisa, Latifah. Ia langsung menerimanya. Ketika wajah sang bidadari muncul dengan jilbab krem yang membingkai wajah cantiknya, sambil tersenyum, Latifah langsung memberinya salam.
“Walaikumsalam, Mbak Ifah. Sudah selesai nata-natanya?” sahut Zoelva dan membalas senyum sang bidadari dengan sebuah senyuman kecil.
"Alhamdulillah, sudah, Dik. Ini sudah di tempat tidur, mengantarkan tidur sang bidadari kecilnya mbak,” jawab Latifah sembari mengarahkan kameranya ke samping. Putrinya terlihat sudah terlelap dalam tidurnya.
“Usianya sudah berapa, Mbak?”
“Masuk lima tahun, Dek. Baru TK Nol Kecil. Kalau Dik Zoel anaknya berapa...?”
Zoelva langsung menutup wajahnya dengan bantal, menyembunyikan tawa. “Boro-boro punya anak, Mbak Ifah, bojo aja belum punya. Em...maaf, suami Mbak Ifah lagi ke mana?”
“Suami Mbak lagi ke Kudus, Dek Zoel.” “Oh beliau orang sana?” “Nggak, satu kota dengan Mbak Kok,” sahut Latifah, lalu bertanya, “ Maaf, Dek Zoel kerja di perusahaan apa?” "Saya punya beberapa geraijewelry, Mbak Ifah. Ya masih kecil-kecilan, sih, hehehe.” “Maksudnya sejenis toko perhiasan emas, perak, permata gitu ya, Dek?” “Betul sekali, Mbak Ifah. Tapi saya bukanya dimall-mallgitu, Mbak.” “Waaw...! Berarti Dek Zoel ini seorang pengusaha mu
“Dik Zoel takut ya jika suami saya tau kita sering curhatan? Kan tak ada yang ditakutkan, Dik? Kita ngobrolnya bersih-bersih saja.” Tak tampak kekhawatiran di wajah Latifah saat mengucapkan itu. “Dia bukan pecemburu kok Dik Zoel, tenang saja.” “Syukurlah, Mbak,” sahut Zoelva. “Saya hanya coba untuk mengingatkan Mbak Ifah saja, sih. Bagaimanapun saya juga seorang laki-laki, tentu sangat paham perasaan sesama laki-laki. Tentu laki-laki atau suami mana pun tak pernah suka jika tahu istrinya suka kontakan dengan laki-laki lain, sekalipun hanya sekedar obrolan biasa saja. Apalagi...cowoknya seganteng saya. Hahaha...” Latifah ikut tertawa. “Iya, Mbak percaya. Tak ada siapa pun yang akan mengatakan Dik Zoel itu jelek, pasti semuanya mengataka
Dan, tanpa menunggu lama, Latifah pun mulai mengaji. Lantunan ta'awudz dan basamallahnya saja demikian merdu dan sedap di telinga. Surah yang ia lantunkan adalah Arrahman. Subhanallah, lagi-lagi Zoelva dibuat terkesima, bukan karena hanya oleh keindahan suaranya sang bidadari, tetapi karena sang bidadari melantunkan ayat-ayat suci itu dengan menghafal. Lagu dan tadwidnya demikian fasih dan pas, menurut Zoelva yang awam. Ia sampai memejamkan mata untuk menikmati dan menghayatinya. Ia seolah-olah terbawa ke suatu alam fantasi yang demikian mendamaikan jiwanya. Belum cukup ia membawakan Surah Arrahman, ia pun lantas melanjutkannya dengan melantunkan Surat Al Waaqi'ah. Lagi-lagi subhanallah. Kembali Zoelva memejamkan mata untuk meresapi dan menikmatinya, sampai tak sadar kemudian Latifah telah selesai mengajinya.
Keesokan harinya, Latifah mengirimkan pesanmessengeruntuk mengucapkan selamat pagi dan selamat beraktifitas kembali kepada Zoelva. Saat itu Zoelva sedang berada di cabang garainya yang di daerah Depok. "Ya, terima kasih, bucant buat ucapannya. Ucapan yang sama ya buat bucant," balas Zoelva. "Iya terima kasih, Dik Ganteng. Saat ini saya sedang ada undangan di sekolahnya Syifa, putrinya sayA." Latifah mengirimkan fotonya yang sedang duduk dalam sebuah ruangan kelas bersama para orang tua murid lainnya. "Oh, dalam rangka apa, nih?" "Rapat pembahasan dana BOS, Dik Zoel." "Oh begitu? Saat ini saya sudah di tempat ker
Latifah pun kembali menyembunyikan tawanya dengan ujung hijabnya. "Tentu saya masih istri sahnya seorang laki-laki yang menjadi ayah dari anak saya, setidaknya hingga saat ini," ujarnya kemudian. "Mas Arief adalah pilihan pertama dan berharap sekaligus dalam hidup saya. Tapi...haramkah jika saya mengalamatkan rasa kagum dan kangen kepada laki-laki lain?" Wah, Zoelva dibuat kelabakan oleh pertanyaan sulit itu. Sungguh ia tak tahu jawabannya. Lebih-lebih rasa kangennya wanita cantik di dalam layar hapenya itu kepadanya itu jenis dan rasanya seperti apa? Zoelva terdiam seribu basa. "Boleh Mbak bertanya sesuatu?" tiba-tiba Latifah berkata. "Ya, silakan. Jaka Tarub siap menjawab jika bisa," seloroh Zoelva. Latifah
Oh My God! Zoelva mengusap wajahnya dengan kedua tapak tangannya. Ternyata, sebaik-baiknya dan selembut-lembutnya wanita, tetap jua tidak pernah rela jika suaminya jatuh ke dalam pelukan wanita lain! "Saya tak mampu melukiskan bagaimana sakitnya perasaan Mbak Ifah sekarang. Kalau memang suaminya Mbak Ifah ingin membalas dendam, harusnya kan bukan justru dengan mengorbankan Mbak Ifah dan anaknya. Di sini saya sama sekali takconnectdengan pemikiran suaminya Mbak Ifah. Malah terdengar aneh sekali," ucap Zoelva, tanpa bermaksud menyudutkan suaminya sang bidadari. Hanya mengungkapkan perasaan empati saja. Zoelva tetap tau batas di situ. Karena bagaimana pun, laki-laki yang bernama Arief itu masih sah sebagai suaminya Latifah. "Sejak kariernya mula
Zoelva mengangkat wajahnya. Ia menghela nafas panjang. "Dalam hal bercinta, ternyata dia jauh lebih berpengalaman dibandingkan dengan saya. Dia benar-benar mengajarkan terjemahan cinta secara lengkap. Dia membawa saya ke jenjang kedewasaan sejati seorang laki-laki. Ya, saya mau melakukannya, karena saya sangat mencintai dia. Tapi kenyataannya, ya seperti itu...!” Zoelva mengangguk dengan merapatkan bibirnya. Ada kesedihan yang nyata tampak di wajah gantengnya. "Ternyata pengalaman Akhi pun tak kalah menyakitkan, ya? “ Latifah mengamati perubahan wajah cowok tampan di layar hapenya yang seolah-olah tiba-tiba tertutup mendung tipis. “Tetapi menurut saya,” lanjut Zoelva, “perih yang dirasakan oleh kaum laki-laki akibat dikhianati oleh wanitanya itu jau
Mirdas lantas menceritakan seluruh info dan hasil temuannya tentang Latifah. Zoelva pun mendengarkannya dengan seksama. Dan apa yang diceritakan oleh Mirdas tak jauh berbeda dengan yang Latifah sendiri ceritakan padanya. Artinya, apa yang wanita itu pernah ceritakan kepadanya tidaklah mengada-ada, tetapi memang menurut fakta yang sesungguhnya seperti bagaimana yang ia alami. Kecuali hal-hal yang memang belum pernah diceritakan oleh Latifah kepadanya, seperti misalnya tentang kondisi kehidupan Latifah dalam hal membesarkan kedua anaknya selama pisah tinggal dengan suaminya, sejak setahun yang lalu. Menurut Mirdas, Latifah tinggal di sebuah rumah dengan tipe sederhana dengan status kredit di sebuah komplek perumahan. Di situ ia membuka toko sembako kecil-kecilan. Suaminya sudah amat jarang datang menjenguknya dan kedua anaknya bahkan sejak sebelum suaminya itu mendapat musibah d