Satu jam kemudian Bunda Jesica alias Nyonya Hasyima benar-benar telah hadir di apartemen Zoelva. Begitu pintu apartemen ditutup, Zoelva langsung menyergap tubuh wanita yang mungkin seusia ibunya itu. Bibir tebal merekah wanita itu langsung dihajarnya dengan ciuman dan pagutan yang panas, ganas, dan membara, sembari tangannya bermain di wilayah-wilayah paling sensitip di tubuh wanita yang jika di depan suaminya itu berlaku sebagai seorang wanita yang sangat taat dan seti terhadap suaminya.
Nyonya Hasyima pun tak mau kalah. Walaupun dengan berjinjit dambil setengah bergelayut di leher sang pemuda karena tubuhnya jauh lebih pendek, ia pun membalas ciuman dari sang singa pejantan mudanya dengan tak kalah ganas dan membaranya. Aroma tembakau yang keluar dari nafas pejantan mudanya tak ia pedulikan. Hajar teruuus!
Erangan dan desahannya meluncur begitu saja dari bibirnya mana manakala ciuman, jilatan, pagutan, dan gelitikan lidah pejantan mudanya beralih di telinganya secara bergantian sebelumnya beralih ke bawah lehernya.
“Wauww...!” Nyonya Hasyima terpekik ketika dengan tiba-tiba kedua lengan kokoh Zoelva mengangkat pantatnya hingga ke atas dadanya. Pelakuan Zoelva benar-benar membuatnya jadi lupa daratan dan memilih untuk terhempas oleh gelombang samudra perzinaannya dengan sang eksekutif muda nan tampan dan perkasa.
Beberapa menit berlalu, nyaris semua pakaian yang melekat di tubuh bagian atas keduanya telah terbang entah kemana. “Aku sayang kamu, Bunda Jesss....,” desah Zoelva di tengah-tengah nafasnya yang memburu dengan mata terpejam sembari sembari membelai dan mengacak-acak rambut Nyonya Hasyima yang saat itu tengah berlutut di depannya menggarap bagian bawah tubuhnya. dengan rakusnya.
“Bunda juga menyayangimu, kuda jantanku...,” sahut Nyonya Hasyima menatap wajah Zoeva dengan mendongak, lalu kembali ‘bekerja’ dengan penuh semangat yang membara.
Tak berlangsung begitu lama, Nyonya Hasyima berdiri. Sepasang matanya sayunya makin sayu dan memohon, “Sayang, puaskan bunda...Perlakukan bunda seperti apa pun yang kamu inginkan...oohhh...sayaang, bunda sudah nggak tahan....!”
Zoelva mencengkeram lengan sang singa betina tuanya, membawanya ke pinggir tempat tidur, lalu membalikkan tubuhnya hingga membelakanginya. Satu dorongan dan sentakan yang kuat, membuat Nyonya Hasyima terpekik dan mendesah kuat dengan wajah mendongak.
Selanjutnya bermainan mereka makin liar dan panas dengan mempraktekkan berbagai variasi. Andaikata mereka melakukannya di ruang terbuka, bisa jadi desahan, erangan, dan teriakan-teriakan mereka cukup untuk mengagetkan burung-burung dan bangsa lelembut yang sedang terlelap, hehehe. Huahh...!
Setelah pergulatan itu berlangsung lebih dari satu jam, keduanya sama-sama merasakan hantaman gelombang pasang yang dahsyat, sehingga membuat tubuh mereka bergetar sebelum terasa bagai terhempas ke atas langit kelam namun penuh bintang-gemintang. Lalu sepi, terkapar dalam sejuta kelegaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Sebelum keduanya terlelap dalam mimpi lain, mereka sempat mengulanginya beberapa kali.
Esok pagi, ketika terbangun, Zoelva tak melihat Bunda Jesica di sampingnya. Tapi ada secarik kertas yang ditulisi dengan spidol biru: “Sayang, maaf ya, bunda harus pulang setelah subuh dan tak pamit karena kamu tidurnya sangat nyenyak. Semalam suami Bunda telepon berkali-kali ternyata. Untung hape bunda off-kan.”
Kertas itu diremas-remasnya hingga membentuk bundaran kecil lalu diletakkannya di meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia bangkit dan langsung berjalan menuju kamar mandinya. Dengan menghujani tubuhnya dengan air hangat, ia merasakan tubuhnya segar kembali. Sososk Bunda Jesika kembali hadir dalam benaknya. Ada keheranan yang ia rasakan terhadap tanet-tante itu. Wanita sudah seumuran dia kok masih mampu mengimbani permainan anak muda seperti dirinya berkali-kali, ya? Seingatnya, permainan mantannya, Niken Hapsari, tak sedahsyat itu. Gila benar itu tante-tante. Ckckckck.
Keluar dari kamar mandi, hal pertama yang ia lakukan adalah membuat kopi cream hangat campur madu lalu sarapan dengan beberapa lapis roti. Saat ia menghidupkan hapenya yang sejak semalam di-off-kannya, bunyi pesan WA yang masuk terdengar berentetan. Sebagian besar chatting-an-chatting-an dari beberapa grupnya dan sebagian dari sahabat dan rekan-rekan bisnisnya.
Dan...oh, ternyata ada pesan dari Bu Latifah juga. Ia buka: “Maaf ya Dek Zoelva, tadi malam Ibu tak bisa membalas Wa-nya Dek Zoelva karena anak sana tiba-tiba vidcall dan minta didongengkan. Biasa Dek, dia itu kalau mau tidur harus minta didongengkan dulu. Hehehe..”
Zoelva tersenyum sendiri. Pantasan, pikirnya. Saat ia hendak membalas pesan itu, tiba-tiba panggilan via video call masuk. Dari Bu Latifah. Terburu-buru Zoelva mengikat tali piama mandinya lalu membuka panggilan itu sambil bersandar di tempat tidur.
Keanggunan wajah Bu Latifah langsung terlihat di layar hapenya. Wanita itu mengenakan hijab syar’i berwarna hitam. Oh My God, dia benar-benar cantik. "Assalammualaikum Bu Latifah. Maaf baru buka WA-nya. Hehehe.”
"Waalaikumsalam, Dek Zoelva. Wah, baru bangun tidur, ya?” sahut Bu Latifah seraya melemparkan senyum manisnya.
Sebuah senyuman yang langsung membuat bibir dan gusi Zoelva mengering. "Sudah bangun dari tadi, sih. Tapi setelah sholat subuh saya kembali tidur lagi, karena masih merasa ngantuk sekali, hehehe.”
Setelah sholat subuh? Sebuah alasan yang nyaris membuat dirinya sendiri muntah-muntah. Ia langsung merasakan beban dosanya makin menumpuk saja. Sudah suka membuang kencing pendeknya di rahim-rahim milik orang lain, masih pulak berbohong. Aih...! Jangankan sholat, bahkan mungkin bacaan dan rakaat sholat sudah ia lupakan. Padahal dulu, saat ia kecil hingga memasuki perguruan tinggi, ia adalah pemuda yang tak pernah meninggalkan kewajiban utamanya sebagai seorang muslim itu walau sekali waktu. Karena memang ia dididik dalam lingkungan keluarga yang taat agama. Namun sejak ia berpacaran dan diajarkan jurus-jurus ranjang oleh sang mantannya, Niken Hapsari, ia pun mulai melalaikan sholatnya, sampai akhirnya ia melupakannya. Sajadah, sarung, kopiah, dan baju kokonya telah ia lipat rapi dan menyimpannya baik-baik di lemarinya, tanpa ia menggunakannya lagi. Ia benar-benar telah mentransformasikan dirinya sebagai seorang petualang duniawi sejati!
“Oh seperti itu? Di apartemen Dek Zoelva dengan siapa?” tanya Latifah tanpa bermaksud untuk kepo.
“Hanya sendiri, Bu. Kalau di rumah ya ada asisten rumah tangga dan suaminya juga,” sahut Zoelva. Ia tak ingin membuang sedikit pun dari menatap wajah sang bidadari di layar hape itu.
“Hm. Oh ya, Dek. Boleh minta sesuatu nggak?”
“Boleh, minta apa apa, Bu?”
“Saya ingin agar Dek Zoelva memanggil saya dengan Mbak saja, Ya? Panggilan ibu membuat saya langsung merasa sudah sangat tua saja, hehehe,” pinta Latifah, lalu menutup wajahnya dengan bagian hijab lebarnya untuk menyembunyikan tawanya.
“Jujur, sebenarnya, saya pun maunya memanggil dengan Mbak, karena sejak pertama saya sudah terlanjur memanggil dengan ibu, ya keterusan saja. Hahaee..”
Keduanya pun sama-sama tertawa. Hanya sayangnya, Zoelva tak bisa melihat bagaimana wajah Latifah ketika tertawa, karena wajahnya langsung ditutupinya dengan ujung hijab yang dikenakannya.
“Ternyata orang ganteng bisa mengebanyol juga, ya?” ujar Latifah, lalu meneruskan menutup wajahnya.
“Ya, hanya spontan saja, Mbak. Ohya, kalau di kampungnya Mbak Latifah suka dipanggil apa?”
“Ya terkadang ada yang panggil Bu Latifah, sih, dalam suatu kondisi tertentu. Tapi saya lebih dikenal dengan panggilan Ifah atau Mbak Ifah?”
“Ya deh, saya ikut panggil seperti itu saja kali ya? Mbak Ifah...!”
“Boleh! Trus Dek Zoelva suka dipanggil apa oleh teman-teman?”
“Ya, kalau di tempat kerja dipanggil secara formil: Pak Zoelva. Tapi kalau di lingkungan pergaulan biasa, ya Zoel atau Bang Zoel,” sahut Zoelva, lalu tersenyum.
“Berarti Mbak manggilnya Dek Zoel juga, ya?”
“Ya, silakan, Mbak. Oh ya, kelihatannya Mbak Ifah mau bersiap-siap keluar?”
"Iya nih, Dek, mau ke tempat keluarga dulu, di Kampung Melayu,” jawab Latifah tampak menoleh ke arah layar hapenya, karena saat iru ia sedang melihat ke arah seseorang di dekatnya.
“Oh begitu. Mbak Ifah ke sana dengan siapa?”
“Bertiga sama saudaranya mbak dan keponakannya Mbak, Dik Zoel. OK, Dek Zoel, nanti lagi kita lanjut, ya? Kita mau bersiap berangkat dulu. Assalamu alaikum...”
“Oh, saya kira dengan suaminya Mbak Juga. Baik, Mbak. Waalaikum salam...”
Zoelva mengira, tadi pagi itu adalahcallingterakhir dia dengan Latifah. Tetapi kenyataannya, tepat pukul 13.00 WIB, sang bidadari kembali menghubunginya kembali, juga lewatvidcall. Saat itu ia masih berada di ruang kerjannya di gerainya di sebuah Mall di Bekasi. Dia melihat wanita itu duduk di suatu tempat yang banyak orang yang lalu-lalang. Seperti di ruang tunggu sebuah bandara. "Assalamualaikum, Dek Zoel. Lagi apa?" Latifah langsung melemparkan senyum yang sama seperti tadi pagi. Seulas senyum khas yang manis tiada tara, menurutnya. "Waalaikumsalam, Mbak Ifah. Ini saya lagi di tempat kerja. Mbak Ifah sendiri lagi di mana? Sepertinya di sebuah ruang tunggu, bandara, mungkin?” “Iya benar, Dek
“Suami Mbak lagi ke Kudus, Dek Zoel.” “Oh beliau orang sana?” “Nggak, satu kota dengan Mbak Kok,” sahut Latifah, lalu bertanya, “ Maaf, Dek Zoel kerja di perusahaan apa?” "Saya punya beberapa geraijewelry, Mbak Ifah. Ya masih kecil-kecilan, sih, hehehe.” “Maksudnya sejenis toko perhiasan emas, perak, permata gitu ya, Dek?” “Betul sekali, Mbak Ifah. Tapi saya bukanya dimall-mallgitu, Mbak.” “Waaw...! Berarti Dek Zoel ini seorang pengusaha mu
“Dik Zoel takut ya jika suami saya tau kita sering curhatan? Kan tak ada yang ditakutkan, Dik? Kita ngobrolnya bersih-bersih saja.” Tak tampak kekhawatiran di wajah Latifah saat mengucapkan itu. “Dia bukan pecemburu kok Dik Zoel, tenang saja.” “Syukurlah, Mbak,” sahut Zoelva. “Saya hanya coba untuk mengingatkan Mbak Ifah saja, sih. Bagaimanapun saya juga seorang laki-laki, tentu sangat paham perasaan sesama laki-laki. Tentu laki-laki atau suami mana pun tak pernah suka jika tahu istrinya suka kontakan dengan laki-laki lain, sekalipun hanya sekedar obrolan biasa saja. Apalagi...cowoknya seganteng saya. Hahaha...” Latifah ikut tertawa. “Iya, Mbak percaya. Tak ada siapa pun yang akan mengatakan Dik Zoel itu jelek, pasti semuanya mengataka
Dan, tanpa menunggu lama, Latifah pun mulai mengaji. Lantunan ta'awudz dan basamallahnya saja demikian merdu dan sedap di telinga. Surah yang ia lantunkan adalah Arrahman. Subhanallah, lagi-lagi Zoelva dibuat terkesima, bukan karena hanya oleh keindahan suaranya sang bidadari, tetapi karena sang bidadari melantunkan ayat-ayat suci itu dengan menghafal. Lagu dan tadwidnya demikian fasih dan pas, menurut Zoelva yang awam. Ia sampai memejamkan mata untuk menikmati dan menghayatinya. Ia seolah-olah terbawa ke suatu alam fantasi yang demikian mendamaikan jiwanya. Belum cukup ia membawakan Surah Arrahman, ia pun lantas melanjutkannya dengan melantunkan Surat Al Waaqi'ah. Lagi-lagi subhanallah. Kembali Zoelva memejamkan mata untuk meresapi dan menikmatinya, sampai tak sadar kemudian Latifah telah selesai mengajinya.
Keesokan harinya, Latifah mengirimkan pesanmessengeruntuk mengucapkan selamat pagi dan selamat beraktifitas kembali kepada Zoelva. Saat itu Zoelva sedang berada di cabang garainya yang di daerah Depok. "Ya, terima kasih, bucant buat ucapannya. Ucapan yang sama ya buat bucant," balas Zoelva. "Iya terima kasih, Dik Ganteng. Saat ini saya sedang ada undangan di sekolahnya Syifa, putrinya sayA." Latifah mengirimkan fotonya yang sedang duduk dalam sebuah ruangan kelas bersama para orang tua murid lainnya. "Oh, dalam rangka apa, nih?" "Rapat pembahasan dana BOS, Dik Zoel." "Oh begitu? Saat ini saya sudah di tempat ker
Latifah pun kembali menyembunyikan tawanya dengan ujung hijabnya. "Tentu saya masih istri sahnya seorang laki-laki yang menjadi ayah dari anak saya, setidaknya hingga saat ini," ujarnya kemudian. "Mas Arief adalah pilihan pertama dan berharap sekaligus dalam hidup saya. Tapi...haramkah jika saya mengalamatkan rasa kagum dan kangen kepada laki-laki lain?" Wah, Zoelva dibuat kelabakan oleh pertanyaan sulit itu. Sungguh ia tak tahu jawabannya. Lebih-lebih rasa kangennya wanita cantik di dalam layar hapenya itu kepadanya itu jenis dan rasanya seperti apa? Zoelva terdiam seribu basa. "Boleh Mbak bertanya sesuatu?" tiba-tiba Latifah berkata. "Ya, silakan. Jaka Tarub siap menjawab jika bisa," seloroh Zoelva. Latifah
Oh My God! Zoelva mengusap wajahnya dengan kedua tapak tangannya. Ternyata, sebaik-baiknya dan selembut-lembutnya wanita, tetap jua tidak pernah rela jika suaminya jatuh ke dalam pelukan wanita lain! "Saya tak mampu melukiskan bagaimana sakitnya perasaan Mbak Ifah sekarang. Kalau memang suaminya Mbak Ifah ingin membalas dendam, harusnya kan bukan justru dengan mengorbankan Mbak Ifah dan anaknya. Di sini saya sama sekali takconnectdengan pemikiran suaminya Mbak Ifah. Malah terdengar aneh sekali," ucap Zoelva, tanpa bermaksud menyudutkan suaminya sang bidadari. Hanya mengungkapkan perasaan empati saja. Zoelva tetap tau batas di situ. Karena bagaimana pun, laki-laki yang bernama Arief itu masih sah sebagai suaminya Latifah. "Sejak kariernya mula
Zoelva mengangkat wajahnya. Ia menghela nafas panjang. "Dalam hal bercinta, ternyata dia jauh lebih berpengalaman dibandingkan dengan saya. Dia benar-benar mengajarkan terjemahan cinta secara lengkap. Dia membawa saya ke jenjang kedewasaan sejati seorang laki-laki. Ya, saya mau melakukannya, karena saya sangat mencintai dia. Tapi kenyataannya, ya seperti itu...!” Zoelva mengangguk dengan merapatkan bibirnya. Ada kesedihan yang nyata tampak di wajah gantengnya. "Ternyata pengalaman Akhi pun tak kalah menyakitkan, ya? “ Latifah mengamati perubahan wajah cowok tampan di layar hapenya yang seolah-olah tiba-tiba tertutup mendung tipis. “Tetapi menurut saya,” lanjut Zoelva, “perih yang dirasakan oleh kaum laki-laki akibat dikhianati oleh wanitanya itu jau