Share

PART 05

  Satu jam kemudian Bunda Jesica alias Nyonya Hasyima benar-benar telah hadir di apartemen Zoelva. Begitu pintu apartemen ditutup, Zoelva langsung menyergap tubuh wanita yang mungkin seusia ibunya itu. Bibir tebal merekah wanita itu langsung dihajarnya dengan ciuman dan pagutan yang panas, ganas, dan membara, sembari tangannya bermain di wilayah-wilayah paling sensitip di tubuh wanita yang jika di depan suaminya itu berlaku sebagai seorang wanita yang sangat taat dan seti terhadap suaminya.

       Nyonya Hasyima pun tak mau kalah. Walaupun dengan berjinjit dambil setengah bergelayut di leher sang pemuda karena tubuhnya jauh lebih pendek, ia pun membalas ciuman dari sang singa pejantan mudanya dengan tak kalah ganas dan membaranya. Aroma tembakau yang keluar dari nafas pejantan mudanya tak ia pedulikan. Hajar teruuus!

        Erangan dan desahannya meluncur begitu saja dari bibirnya mana manakala ciuman,  jilatan, pagutan, dan gelitikan lidah pejantan mudanya beralih di telinganya secara bergantian sebelumnya beralih ke bawah lehernya.

        “Wauww...!” Nyonya Hasyima terpekik ketika dengan tiba-tiba kedua lengan kokoh Zoelva mengangkat pantatnya hingga ke atas dadanya. Pelakuan Zoelva benar-benar membuatnya jadi lupa daratan dan memilih untuk terhempas oleh gelombang samudra perzinaannya dengan sang eksekutif muda nan tampan dan perkasa.

       Beberapa menit berlalu, nyaris semua pakaian yang melekat di tubuh bagian atas keduanya telah terbang entah kemana. “Aku sayang kamu, Bunda Jesss....,” desah Zoelva di tengah-tengah nafasnya yang memburu dengan mata terpejam sembari sembari membelai dan mengacak-acak rambut Nyonya Hasyima yang saat itu tengah berlutut di depannya menggarap bagian bawah tubuhnya. dengan rakusnya.

       “Bunda juga menyayangimu, kuda jantanku...,” sahut Nyonya Hasyima menatap wajah Zoeva dengan mendongak, lalu kembali ‘bekerja’ dengan penuh semangat yang membara.

        Tak berlangsung begitu lama, Nyonya Hasyima berdiri. Sepasang matanya sayunya makin sayu dan memohon, “Sayang, puaskan bunda...Perlakukan bunda seperti apa pun yang kamu inginkan...oohhh...sayaang, bunda sudah nggak tahan....!”

        Zoelva mencengkeram lengan sang singa betina tuanya, membawanya ke pinggir tempat tidur,  lalu membalikkan tubuhnya hingga membelakanginya.  Satu dorongan dan sentakan yang kuat, membuat Nyonya Hasyima terpekik dan mendesah kuat dengan wajah mendongak.

       Selanjutnya bermainan mereka makin liar dan panas dengan mempraktekkan berbagai variasi. Andaikata mereka melakukannya di ruang terbuka, bisa jadi desahan, erangan, dan teriakan-teriakan mereka cukup untuk mengagetkan burung-burung dan bangsa lelembut yang sedang terlelap, hehehe. Huahh...!

         Setelah pergulatan itu berlangsung lebih dari satu jam, keduanya sama-sama merasakan hantaman gelombang pasang yang dahsyat, sehingga membuat tubuh mereka bergetar sebelum terasa bagai terhempas ke atas langit kelam namun penuh bintang-gemintang. Lalu sepi, terkapar dalam sejuta kelegaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

        Sebelum keduanya terlelap dalam mimpi lain, mereka sempat mengulanginya beberapa kali.

       Esok pagi, ketika terbangun, Zoelva tak melihat Bunda Jesica di sampingnya. Tapi ada secarik kertas yang ditulisi dengan spidol biru: “Sayang, maaf ya, bunda harus pulang setelah subuh dan tak pamit karena kamu tidurnya sangat nyenyak. Semalam suami Bunda telepon berkali-kali ternyata. Untung hape bunda off-kan.”

        Kertas itu diremas-remasnya hingga membentuk bundaran kecil lalu diletakkannya di meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia bangkit dan langsung berjalan menuju kamar mandinya. Dengan menghujani tubuhnya dengan air hangat, ia merasakan tubuhnya segar kembali. Sososk Bunda Jesika kembali hadir dalam benaknya. Ada keheranan yang ia rasakan terhadap tanet-tante itu. Wanita sudah seumuran dia kok masih  mampu mengimbani permainan anak muda seperti dirinya berkali-kali, ya? Seingatnya, permainan mantannya, Niken Hapsari, tak sedahsyat itu. Gila benar itu tante-tante. Ckckckck.

       Keluar dari kamar mandi, hal pertama yang ia lakukan adalah  membuat kopi cream hangat campur madu lalu sarapan dengan beberapa lapis roti. Saat ia menghidupkan hapenya yang sejak semalam di-off-kannya, bunyi pesan WA yang masuk terdengar berentetan. Sebagian besar chatting-an-chatting-an dari beberapa grupnya dan sebagian dari sahabat dan rekan-rekan bisnisnya.

        Dan...oh, ternyata ada pesan dari Bu Latifah juga. Ia buka: “Maaf ya Dek Zoelva, tadi malam Ibu tak bisa membalas Wa-nya Dek Zoelva karena anak sana tiba-tiba vidcall dan minta didongengkan. Biasa Dek, dia itu kalau mau tidur harus minta didongengkan dulu. Hehehe..”

        Zoelva tersenyum sendiri. Pantasan, pikirnya. Saat ia hendak membalas pesan itu, tiba-tiba panggilan via video call masuk. Dari Bu Latifah. Terburu-buru Zoelva mengikat tali piama mandinya lalu membuka panggilan itu sambil bersandar di tempat tidur.

       Keanggunan wajah Bu Latifah langsung terlihat di layar hapenya. Wanita itu mengenakan hijab syar’i berwarna hitam. Oh My God, dia benar-benar cantik. "Assalammualaikum Bu Latifah. Maaf baru buka WA-nya. Hehehe.”

      "Waalaikumsalam, Dek Zoelva. Wah, baru bangun tidur, ya?” sahut Bu Latifah seraya melemparkan senyum manisnya.

        Sebuah senyuman yang langsung membuat bibir dan gusi Zoelva mengering. "Sudah bangun dari tadi, sih. Tapi setelah sholat subuh saya kembali tidur lagi, karena masih merasa ngantuk sekali, hehehe.”

        Setelah sholat subuh? Sebuah alasan yang nyaris membuat dirinya sendiri muntah-muntah. Ia langsung merasakan beban dosanya makin menumpuk saja. Sudah suka membuang kencing pendeknya di rahim-rahim milik orang lain, masih pulak berbohong. Aih...! Jangankan sholat, bahkan mungkin bacaan dan rakaat sholat sudah ia lupakan. Padahal dulu, saat ia kecil hingga memasuki perguruan tinggi, ia adalah pemuda yang tak pernah meninggalkan kewajiban utamanya sebagai seorang muslim itu walau sekali waktu. Karena memang ia dididik dalam lingkungan keluarga yang taat agama. Namun sejak ia berpacaran dan diajarkan jurus-jurus ranjang oleh sang mantannya, Niken Hapsari, ia pun mulai melalaikan sholatnya, sampai akhirnya ia melupakannya. Sajadah, sarung, kopiah, dan baju kokonya telah ia lipat rapi dan menyimpannya baik-baik di lemarinya, tanpa ia menggunakannya lagi. Ia benar-benar telah mentransformasikan dirinya sebagai seorang petualang duniawi sejati!

       “Oh seperti itu? Di apartemen Dek Zoelva dengan siapa?” tanya Latifah tanpa bermaksud untuk kepo.

       “Hanya sendiri, Bu. Kalau di rumah ya ada asisten rumah tangga dan suaminya juga,” sahut Zoelva. Ia tak ingin membuang sedikit pun dari menatap wajah sang bidadari di layar hape itu.

       “Hm. Oh ya, Dek. Boleh minta sesuatu nggak?”

       “Boleh, minta apa apa, Bu?”

       “Saya ingin agar Dek Zoelva memanggil saya dengan Mbak saja, Ya? Panggilan ibu membuat saya langsung merasa sudah sangat tua saja, hehehe,” pinta Latifah, lalu menutup wajahnya dengan bagian hijab lebarnya untuk menyembunyikan tawanya.

       “Jujur, sebenarnya, saya pun maunya memanggil dengan Mbak, karena sejak pertama saya sudah terlanjur memanggil dengan ibu, ya keterusan saja. Hahaee..”

        Keduanya pun sama-sama tertawa. Hanya sayangnya, Zoelva tak bisa melihat bagaimana wajah Latifah ketika tertawa, karena wajahnya langsung ditutupinya dengan ujung hijab yang dikenakannya.

        “Ternyata orang ganteng bisa mengebanyol juga, ya?” ujar Latifah, lalu meneruskan menutup wajahnya.

        “Ya, hanya spontan saja, Mbak. Ohya, kalau di kampungnya Mbak Latifah suka dipanggil apa?”

        “Ya terkadang ada yang panggil Bu Latifah, sih, dalam suatu kondisi tertentu. Tapi saya lebih dikenal dengan panggilan Ifah atau Mbak Ifah?”

        “Ya deh, saya ikut panggil seperti itu saja kali ya? Mbak Ifah...!”

        “Boleh! Trus Dek Zoelva suka dipanggil apa oleh teman-teman?”

        “Ya, kalau di tempat kerja dipanggil secara formil: Pak Zoelva. Tapi kalau di lingkungan pergaulan biasa, ya Zoel atau Bang Zoel,” sahut Zoelva, lalu tersenyum.

        “Berarti Mbak manggilnya Dek Zoel juga, ya?”

        “Ya, silakan, Mbak. Oh ya, kelihatannya Mbak Ifah mau bersiap-siap keluar?”

       "Iya nih, Dek, mau ke tempat keluarga dulu, di Kampung Melayu,” jawab Latifah tampak menoleh ke arah layar hapenya, karena saat iru ia sedang melihat ke arah seseorang di dekatnya.

        “Oh begitu. Mbak Ifah ke sana dengan siapa?”

       “Bertiga sama saudaranya mbak dan keponakannya Mbak, Dik Zoel. OK, Dek Zoel, nanti lagi kita lanjut, ya? Kita mau bersiap berangkat dulu. Assalamu alaikum...”

       “Oh, saya kira dengan suaminya Mbak Juga. Baik, Mbak. Waalaikum salam...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status