Bayangan hitam memutar mencari celah untuk masuk ke pelataran rumah. Alunan Gayatri Mantram mengalun, menggema, merasuki setiap inci pelataran serta setiap sudut ruangan. Embusan napas serta setiap lafal mantra yang terucap dari kedua insan adalah angin suci berisi untaian kidung pemujaan pada Sang Hyang Pemilik Hidup.
Bayangan hitam menggeliat, mengejang tak mampu melewati pagar pembatas yang tercipta oleh alunan Gayatri Mantram. Semakin kuat, dia mencoba menerobos, semakin kuat pula jala alunan Gayatri Mantram mengempas, menghentakan.
Bayangan hitam melesat tinggi menggapai arah genting rumah. Dia tak mampu menerobos kekuatan suci Gayatri Mantram. Kekuatan mantra laksana jala raksasa yang mencengkeram erat, menutup seluruh pelataran serta rumah.
Akhirnya sang bayangan terempas keras, seluruh sendi-sendi kekuatan magisnya remuk. Dia menggeliat, menggelepar dan raib terbawa embusan angin, menyisakan aroma busuk bangkai.
Hawa suci menyelimuti seluruh pelataran serta sisi-sisi ruang rumah. Pasangan suami istri telah selesai melaksanakan ritual Puja Trisandya, terasa tenang dan damai di hati mereka. Berdua melenggang ke dalam rumah. Raga serta jiwa menjadi suci setelah menghadap pada Sang Hyang Widhi Wasa.
************************
Dalam kesunyian hutan jati yang tak jauh dari Pantai Geger, sebuah tubuh hitam legam menggelepar kepanasan. Segenap kekuatannya tak mampu mengimbangi kekuatan suci Gayatri Mantram. Kesakitan yang menyayat kalbu terwakili lolongan anjing liar di atas tebing batu kapur. Mata merah melotot nanar, mengeluarkan darah hitam pekat.
"Aarrgh, panaaass ... Ratuku, tolong aku!" jeritannya semakin lirih.
Moncongnya yang berlubang besar mengeluarkan napas busuk beraroma bangkai. Mulut bertaring mendesis menahan kesakitan yang maha dahsyat. Sesaat menggeliat, akhirnya diam membisu. Tubuh hitam berangsur-angsur berubah wujud jadi tubuh renta, berkamen dan berkebaya lusuh.
**************************
Pagi menjelang, sinar mentari menyusup lembut dari celah ranting pohon jati. Hawa segar beraroma pasir laut berbaur embun asin air laut mengitari hutan jati. Suara deburan ombak memecah keheningan pagi. Pelan, Dadong Canangsari menyeret kaki menjauhi hutan jati.
Di pinggir jalan arah Pura Gunung Payung, wanita renta itu berpapasan dengan seorang pengendara motor. Sang Dadong melambai ke arah pengendara motor. Seorang pria dengan pakaian basah, bisa dipastikan adalah seorang petani rumput laut pulang dari pantai, berhenti tepat di depan sang Dadong.
Sesaat pengendara motor mengamati tubuh wanita renta yang penuh luka, serta mencium bau gosong. Dengan rasa khawatir, pria pengendara turun dari motor lalu mendekati wanita renta ini.
"Dadong mau ke mana?” tanya pria pengendara motor, seraya duduk jongkok mendekati tubuh sang Dadong.
"T-to-long antar ... sa-ya ke Kutuh," jawab Dadong Canangsari sambil meringis menahan sakit.
"Mari saya antar." Dengan hati-hati, pria pengendara motor membantu Dadong Canangsari berdiri.
Dengan tertatih-tatih, kaki wanita renta ini mengikuti langkah pengendara motor. Tubuh Dadong dinaikkan ke motor terlebih dahulu, kemudian dia mengikuti. Motor menembus jalan dengan kecepatan lambat, menjaga agar Dadong tidak bertambah kesakitan.
Saat perjalanan menempuh jarak tempuh lima belas menit, tepat depan sebuah rumah kecil berhalaman luas, wanita renta ini meminta pengendara motor berhenti.
"I-ni rumah saya ... tu-runkan saya di sini saja!" pinta Dadong Canangsari.
“Dadong tak perlu turun, biarlah saya antar sampai depan pintu rumah."
Sang pengendara perlahan mengarahkan motor memasuki pekarangan rumah. Tepat di depan teras, pria itu menghentikan motor.
"Saya bantu Dadong turun." Standar motor ditegakkan, pria pengendara turun dari motor.
Tangannya merangkul bahu wanita renta ini, memapahnya ke sebuah kursi di teras. Pria itu pelan-pelan membantu Dadong sekaligus memastikan wanita renta ini bisa duduk dengan nyaman dan tak bertambah kesakitan. Pria berbaju basah itu kemudian melangkah ke arah motor lalu membuka jok dan mengambil handphone.
"Dong, tunggu sebentar, saya panggilkan dokter."
"Ti-dak perlu, Pak ... Sa-saya tidak apa-apa."
Dengan menahan sakit, Dadong Canangsari berpura-pura sudah membaik, berusaha agar pria penolong segera pergi. Dia tak ingin ada orang lain tahu sebuah rahasia yang disembunyikan.
"Dadong terluka parah, lukanya harus segera diobati."
"T-tidak apa ... sa-saya punya ... obatnya," ucap Dadong.
"Ya sudah, kalau gitu saya tinggal ya, Dong. Saya harus segera pulang, mau antar istri ke pasar."
"Matur ... Suksma, Pak."
Dadong mengatupkan kedua tangan di atas dada. Terasa perih luka-lukanya, tapi ia harus berusaha tidak terlihat kesakitan.
"Suksma mewali." Pria pengendara membalas sembari mengatupkan kedua tangan juga.
Dadong Canangsari merasa lega pria penolong sudah berlalu dari rumahnya
*************************
Dadong Canangsari bangkit dari kursi, terasa sakit serta perih sekujur tubuhnya. Kulit rentanya dipenuhi luka bakar, sebagian mengelupas, dari luka yang menganga itu menetes darah segar berwarna merah kehitaman dan berbau gosong.
Dalam sekali hentakan batuk, darah hitam mengumpal keluar dari mulut renta, menetes membasahi kebaya serta kamen Dadong. Sungguh ini adalah penderitaan tersakit yang pernah dirasakan selama hidup. Dengan jalan tertatih-tatih sembari berpegangan pada dinding, wanita renta masuk rumah.
Dalam rumah adalah sebuah ruangan sederhana terdiri dari tiga ruangan, dua kamar tidur, yang salah satu kamar terkunci pintunya serta sebuah ruangan sebagai ruang tamu, ada satu set meja kursi kusam di sana. Sisi belakang ruang tamu ada sebuah pintu sebagai penghubung ke bagian dapur.
Rumah ini terkesan angker dan lembab, sebagian besar permukaan dinding rumah tertutup oleh lumut. Pohon beringin besar dengan akar-akar menjulang, berdiri kokoh di samping kiri rumah. Laksana seorang raksasa penjaga rumah.
Serumpun pohon bambu tumbuh subur di belakang rumah, selebihnya dipenuhi oleh pohon jati yang tinggi menjulang. Sampah-sampah dari daun dan ranting yang gugur berserakan di tanah.
*************************
Di lain tempat, di sebuah kompleks indekos. Sepasang suami istri sedang berbicara dengan nada lirih.
"Bapak curiga dengan Dadong tadi, padahal terluka parah. Seperti orang habis terbakar, berdiri saja ... Bapak bantuin, dipanggilin dokter gak mau. Bapak ngeri lihatnya, moga saja bisa sembuh ya." Cerita seorang bapak yang tak lain adalah pria yang menolong Dadong Canangsari tadi.
"Aneh ya, Pak ... pasti ada sesuatu yang disembunyikan dadong tadi," timpal istrinya sembari bergidik, ikut merasa ngeri juga.
Kedua orang tersebut saling menganggukkan kepala seakan membenarkan apa yang telah mereka bicarakan. Selagi mereka bercengkerama, secara tiba-tiba entah dari mana asalnya, angin berembus kencang, mengarah ke kamar mereka.
'Wuuusshhh ...!'
'Praaakkk ...!'
Pintu kamar yang semula tertutup, terbuka paksa didorong angin yang amat kencang, daun pintunya terlepas menghantam dinding. Tirai jendela ikut terbang, lepas dari pengaitnya.
Pasutri ini hanya mampu terdiam sambil memperbanyak istighfar. Pasrah dengan Allah yang Mahakuasa. Mereka menyadari ada kekuatan tidak lazim yang mendatangkan angin tersebut.
'"Astaghfirullah hal adhiim!"seru mereka berkali-kali.
"Paaakk ... bagaimana ini?" Wanita itu histeris, gemetar, dan memegang lengan suaminya. Keringat dingin mengucur deras membasahi sekujur tubuh.
"Tenang, Bu! Percaya dengan kekuatan Allah. Kita baca ayat Kursi." Kemudian mereka melafazkan ayat Kursi bersama.
Seiring berakhirnya bacaan ayat Kursi, perlahan serangan angin mulai berkurang, kemudian menghilang. Kamar dalam keadaan porak poranda serupa kena angin puting beliung, tirai jendela berserak di lantai, lemari bergeser dari posisi semula setengah miring tertahan dinding, seprei lepas dari kasur, koran beserta barang lain yang semula di atas meja, berserakan di lantai.
***
Jejak Kaki:
*Leak: Siluman jejadian dari amalan sebuah ilmu yang disesatkan.
*Gayatri Mantram: Doa permohonan yang terdapat dalam kitab Veda.
*Sang Hyang Widhi Wasa: Tuhan YME.
*Dadong Canangsari: Nenek Canangsari.
*Canangsari: Perlengkapan sembahyang, berupa wadah janur berisi bunga, buah dll.
*Pantai Geger: Pantai yang terletak di Nusa Dua, Bali.
*Pura Gunung Payung: Tempat sembahyang umat Hindu, terletak di Kuta Selatan, berbatas dengan Nusa Dua.
*Matur Suksma: Terima Kasih.
Serangan angin hanya melanda kamar mereka saja. Aneh bin ajaib. Sungguh kekuatan setan mampu membuat nyali ciut bagi orang-orang yang tak beriman."Alhamdulillah, Bu! Sudah reda anginnya. Ayo, buka mata!" Pria tersebut menepuk halus pipi istrinya yang masih diliputi perasaan khawatir. Wanita itu baru berani membuka mata, setelah tahu angin sudah menghilang, dia langsung sujud syukur sambil terisak-isak. Allah masih melindungi mereka.“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah! Pak kita selamat," ucapnya sambil menyeka buliran bening dari kedua sudut mata serta pipi. Mereka berpelukan, merasa lega, terlepas dari serangan angin setan.Tetangga Indekos mendatangi kamar mereka. Suara angin ribut serta suara hentakan pintu kamar yang diterjang oleh angin, mendatangkan rasa penasaran mereka. Di antara orang-orang yang berkerumun, terdapat pasangan yang baru saja kehilangan janin secara gaib dua minggu lalu.
Kobaran api yang membumbung tinggi dan suara petir yang menggelegar, menarik perhatian warga sekitar, termasuk penghuni kompleks indekos. Warga berhamburan ke tempat kejadian, begitu sampai di tempat bekas kebakaran, mereka hanya mampu tertegun.Kediaman Dadong Canangsari hanya menyisakan puing-puing berserakan beserta bara api. Warga bergotong royong memadamkannya.Anehnya, bara api hanya membumi hanguskan bangunan rumah saja, tak sampai merembet ke tempat lain. Ketika api sudah mulai padam, terdengar jeritan seorang wanita.“Bik Tut, Bik Tut ... apa yang terjadi?”Rupanya Ni Wayan Kesumasari yang baru saja datang dari bepergian, terlihat terkejut melihat musibah yang dialami bibiknya. Wanita itu tak menyangka nasib Dadong Canangsari akan setragis itu.Akhirnya, berdua dengan Wayan Lana-- suaminya-- dibantu oleh warga berusaha mencari keberadaan jasad Dad
Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum jasad Dadong Canangsari menghilang dalam musibah kebakaran yang menimpa rumah wanita renta itu. Telah beberapa malam wanita renta tersebut mengalami mimpi yang mengerikan dan selalu dengan mimpi yang sama. Wanita itu telah merasa hal tersebut adalah sebuah firasat jika waktunya telah dekat. Sang Dadong merasa sudah saatnya mempersiapkan segala urusan termasuk mempersiapkan calon penerus ilmu.Dari pagi buta dia sudah mempersiapkan barang dagangan sekalian menyisakan beberapa canang dan tambahan untuk ritual nanti malam di rumah Wayan Suri, anaknya. Dia berencana meminta tolong keponakannya untuk mengantar ke Denpasar.Sesaat sebelum Dadong Canangsari akan pergi ke pasar untuk berjualan canang tak sengaja bertemu keponakannya. Ni Wayan Kesumasari lewat tepat di depan rumah Dadong Canangsari. Mereka masih saudara dekat, Ni Wayan Kesumasari adalah anak dari kakak perempuan Dadong Canangsari. Begitu mel
Kepergian Dadong Canangsari meninggalkan tugas untuk keturunannya. Sebuah ilmu harus diemban, tapi siapakah yang telah menerima ilmu tersebut? Cahaya yang keluar sesaat setelah tubuh Dadong Canangsari tewas telah menemukan raga yang lain. Tak ada yang tahu, siapa yang telah menerima ilmu tersebut.Wayan Suri, putri Dadong Canangsari tak merasa kemasukan cahaya ilmu tersebut. Tak juga dirasakan oleh Kesumasari, keponakan Dadong. Kedua wanita dalam garis keluarga itu saling bertanya.Ke manakah cahaya kuning ilmu tersebut?Sejenak kita melangkah, menilik masa lalu kehidupan Dadong Canangsari.Saat itu di usia dua puluh tahun, Dadong Canangsari merantau ke Jawa karena perpindahan tempat kerja. Perusahaan ekspedisi tempat dia bekerja membuka cabang baru di salah satu kota besar di Jawa. Setahun bekerja di sana, Dadong Canangsari muda, kala itu masih memakai nama gadis, I Ketut Sulastri, menjalin hu
Setelah ritual khusus dilakukan, mereka duduk berhadapan. Hanya debaran jantung dan tarikan napas yang terdengar, kadang berirama kadang memburu, mengikuti alur pikiran masing-masing. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Ni Kesumasari sebagai saudara tertua mulai bersuara.“Ningsih, Suri, sekarang kalian bersiap menerima ilmu warisan meme kalian. Persiapkan jiwa raga. Takdir tak bisa ditolak, inilah garis keturunan kita.”“Mbok Yan, seumpama aku yang dapat warisan ilmu, bisakah aku jalani dari Tanah Jawa?” tanya Ningsih dengan tatapan mata penuh selidik, beberapa kali wanita itu membenahi letak kamben dan kebayanya. Maklum saja, dia belum terbiasa dengan busana tersebut. Bu Lana tersenyum geli melihat tingkah sepupunya ini.“Ken ken? Nggak bisa begitu, Mbok,” timpal Wayan Suri sembari memegang jemari tangan kakak perempuannya. Seketika Ningsih menyambut erat genggaman sang adik, sea
Bu Lana telah sadar seperti semula, dengan perubahan wajah, tubuh dan kulit yang lebih kencang dari sebelumnya. Ningsih dan Wayan Suri semakin penasaran dengan perubahan yang telah dialami sang mbok. Sungguh takjub dengan perubahan yang secepat kilat tersebut, hanya perlu waktu semalam saja.“Mbok, ke mana aja? Kami takut, rohmu tak kembali lagi. Sudah mirip mayat, pucat, denyut nadi pun lemah. Tahu-tahu mbok siuman, mulut belepotan darah. Kami ngeri, akhirnya jadi senang, terlihat jadi lebih muda, lebih cantik. Ngapain aja sih, Mbok?” tanya Wayan suri yang memang lebih bawel dibanding Ningsih, sang kakak.Bu Lana hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan Wayan Suri. Hatinya sedang berbunga-bunga, harapan selama ini tercapai sudah. Dalam hati sangat berharap bahwa dirinyalah yang akan menjadi pewaris ilmu. Sekarang harus segera menyusun kata-kata untuk menyampaikan hal tersebut pada suaminya. Tak mungkin bisa disembunyik
Setelah menempuh perjalanan satu jam karena macet, sampailah mereka di kediaman Wayan Suri. Situasi lingkungan rumah Wayan Suri yang asri masih dikelilingi areal persawahan membuat Ningsih merasa nyaman, serasa di kota asalnya di Jawa.Tak ingin berlama-lama Bu Lana segera mengajak suaminya pergi keliling kota mencari oleh-oleh untuk Ningsih yang akan pulang kampung besok. Sayang, saat mengajak kedua sepupunya, mereka tak mau. Ningsih dan Suri ingin segera istirahat karena semalaman sudah begadang. Hal tersebut tak dirasakan oleh Bu Lana.Dalam perjalanan, Pak Lana tak henti-hentinya mencuri pandang pada sang istri. Pria itu sangat heran dengan perubahan yang terjadi pada tubuh terutama wajah istrinya. Perawatan macam apa yang telah dilakukan istrinya dengan para sepupu?Hanya dalam waktu singkat, wajah yang mulai menua berganti rupa dengan kulit kencang. Bentuk tubuh pun berubah dratis, dari yang semula kendor, daging b
Di balik senyum Bu Lana ada sesuatu hal mengerikan yang disembunyikan. Pak Lana hanya melihat sebagai kebaikan pada sesama, dia bangga pada sang istri. Semakin cantik paras serta semakin baik pula perilakunya.Setelah bercengkerama selama sejam, mereka akhirnya berpamitan dengan sang teman. Sejak di rumah sakit pikiran Pak Lana jadi menerawang tentang dambaan berdua yang belum terwujud hingga hari ini. Dalam perjalanan pulang, Pak Lana mencoba membahas dengan istrinya.“Bu, bagaimana kalau kita periksa ke dokter lagi. Ya, siapa tahu, kalau ke dokter lain ada jalan keluar. Umur kita semakin bertambah, harus berusaha lagi,” ucap Pak Lana sambil menoleh ke arah istrinya yang sedang asik mematutkan diri di kaca spion.“Boleh juga, emang mau periksa ke mana lagi, Pak?” Dengan tanpa melihat ke arah suaminya. Bu Lana semakin asik mematutkan diri. Kelakuan sang istri ini membuat Pak Lana jadi geleng