Share

Bab 7

LEBIH BAIK KITA BERPISAH 7

—-

Aku baru saja menutup pintu mobil ketika sebuah tangan menarikku. Terkejut, ku dorong tubuh Jonas yang nyaris saja menempel.

"Kamu gi-la ya?!"

Parkiran kantor masih sepi. Aku memang sengaja datang pagi-pagi karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum jam sepuluh. Tapi kemudian aku menyesal mendapati dirinya sudah menungguku disini.

Jonas menatapku.

"Kenapa kamu blokir nomorku?"

"Bukan hanya blokir, tapi sudah ku-delete. Memangnya kenapa? Kita sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi, Jo. Plis, jangan bikin aku muak."

Wajahnya berubah sekejap, tampak terluka oleh kata-kata yang baru saja kuucapkan.

"Apakah karena Biru?"

"Biru atau siapapun bukan urusanmu."

Jonas mendesah, tapi tak mau beranjak hingga aku tak bisa pergi. Posisinya yang berdiri tepat didepanku sementara ada badan mobil di belakang, membuatku harus melewatinya jika ingin pergi.

"Senja, aku minta maaf."

Terlambat. Bisikku dalam hati.

"Aku… aku menyesal. Marsya tidak sebaik dirimu. Aku…"

"Jonas. Aku sudah memaafkanmu. Dan jujur saja, aku bersyukur memutuskan berpisah waktu itu. Aku tak bisa membayangkan jika aku yang ada di posisi Marsya. Membayangkan suamiku merayu mantan kekasihnya."

Wajah Jonas memerah. "Aku yakin semua ini karena Biru. Tak kusangka kau begitu mudah berpaling."

Aku nyaris tertawa mendengarnya.

"Dan kau bahkan menjalin hubungan dengan banyak wanita saat masih bersamaku."

"Pasti dia juga menjelek-jelekkan aku."

"Kukira dia hanya mencoba membuka mataku yang selama ini tertutup. Dan setelah kupikir-pikir, dia benar. Tak seharusnya aku menangisi lelaki pengecut sepertimu."

"Si-alan!"

Jonas meninju badan mobilku. Aku terbelalak.

"Awas kalau lecet, gajimu ku potong bulan ini."

Mau tak mau, aku terpaksa mendorong Jonas agar bisa pergi. Langkahku tergesa memasuki ruangan kantor. Aku lalu berhenti di lobby dengan pintu depan terpentang lebar. Tak berani masuk. Bagaimana kalau dia ikut masuk sementara hanya ada kami berdua?

Tapi Jonas tak kunjung muncul. Entah apa yang dia lakukan. Tapi setidaknya aku bisa menarik napas lega. Kemudian satu persatu para karyawan mulai berdatangan. Setelah cukup ramai, aku ikut naik ke atas.

Jonas benar-benar gi-la. Setelah mencampakkan aku begitu saja, kini dia mengemis cinta, bahkan berjanji akan menceraikan istri yang baru tiga hari dinikahi. Dengan cepat, Tuhan membongkar topengnya selama ini. Dulu, saat masih bersamaku, dia selalu punya alasan untuk menolak datang ke rumah dan bertemu Mama. Dia tak mau cepat-cepat menikah. Apakah karena terjadi sesuatu pada Marsya hingga dia harus segera menikahinya? Hamil duluan misalnya.

Aku bergidik. Ah, terserah lah. Bukan urusanku.

Evelyn dan Jonas tiba di lantai atas nyaris bersamaan. Jonas langsung melewati mejaku dengan tampang masam. Sementara Evelyn menatapku, bertanya tanpa suara.

"Kenapa dia?"

Aku hanya menggelengkan kepala, lalu mulai menyalakan laptop. Aku bekerja sebagai staff keuangan perusahaan properti sehingga menjelang akhir bulan seperti ini, cukup sibuk. Pengeluaran dan pemasukan perusahaan, dan termasuk didalamnya adalah gaji karyawan adalah tanggung jawabku.

Hari masih pagi, jam kerja baru akan dimulai lima belas menit lagi ketika Mbak Arin muncul di anak tangga paling atas. Ada dua kotak donat di tangannya.

"Senjaaaa, kurir ganteng kamu datang lagi tadi, tapi dia langsung pergi. Ini kirim donat. Bagi-bagi ya!"

Aku ternganga, sementara Evelyn yang seperti nya sudah sembuh kakinya, ikut menyerbu donat itu, bersama para karyawan lain. Dan tanpa sengaja, tatapan mataku bersirobok dengannya. Jonas. Dia menatapku tak berkedip dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Aku mengalihkan pandangan darinya, tersenyum melihat teman-temanku yang gembira dengan rezeki pagi hari.

Biru, sebegitunya kamu berusaha mengambil hatiku. Nanti, jika aku telah menyerahkan hati padamu, apakah kamu akan mempermainkannya juga? Seperti dia?

***

"Nggak usah manja, Sya. Aku ini kerja."

Suara Jonas bicara di telepon terdengar ketika aku hendak ke toilet. Dia duduk di meja pantry, menghadapai segelas kopi panas. Aku pura-pura tak melihat, berjalan dengan langkah pelan. Untungnya dia duduk membelakangi pintu sehingga tak melihat saat aku lewat. Tapi suaranya yang menggelegar terdengar. Dia seperti sedang marah.

"Nggak usah bulan madu segala. Bukannya kita sudah sering bulan madu sebelum ini?"

Astaga. Aku berlari masuk ke dalam toilet dan menutup pintunya. Suara Jonas serta merta lenyap. Di dalam, aku tercenung mengingat kata terakhirnya.

'Nggak usah bulan madu segala. Bukannya kita sudah sering bulan madu sebelum ini?'

Apakah itu berarti selama ini, sebelum menikah mereka sudah sering melakukannya? Saat aku masih berstatus kekasihnya? Dan tahukah gadis bernama Marsya itu kalau suaminya dulu sering mendua hati? Dan selain Marsya, tubuh gadis mana lagi yang sudah dia cicipi?

Aku keluar dari bilik toilet dan berdiri di depan wastafel. Memandang wajahku sendiri yang tiga minggu lalu kehilangan cahaya. Saat baru putus dengannya, aku memang sedih luar biasa. Tapi kini, aku bersyukur, Allah yang maha baik telah melindungiku.

Aku keluar dari toilet dan berusaha tak bersuara. Jonas masih ada di pantry dan saat aku lewat, tiba-tiba saja dia menoleh.

"Senja!"

Dia berlari keluar dan menghadang langkahku.

"Nanti sore, pulangnya aku antar."

Aku mengerutkan kening dengan heran.

"Jonas, tolong berhenti menggangguku."

"Cuma anter pulang aja, Ja. Aku janji nggak akan ngapa-ngapain. Aku cuma kangen masa-masa dulu."

"Aku nggak. Masa-masa dulu yang penuh kesalahan dan kesia-siaan itu justru sangat ingin kulupakan."

"Senja… kamu berubah."

Aku tersenyum.

"Semua orang berubah. Termasuk aku dan kamu. Untuk terakhir kalinya aku minta kamu berhenti menggangu atau aku akan minta Pak Heru memindahkanmu ke lapangan sehingga kita nggak perlu sering ketemu. Aku yakin beliau tak keberatan jika aku ceritakan semuanya."

Wajah Jonas memerah. Dia lalu berjalan mendahuluiku. Langkahnya lebar-lebar, menggambarkan hatinya yang sedang kesal. Aku menghela napas panjang menatap punggungnya. Punggung lelaki yang dulu pernah sangat kucintai, dan kini sangat ingin aku lupakan.

***

"Senja, minggu ke Bukit Sakura ya."

Evelyn menjajari langkahku.

"Ngapain?"

"Foto-foto lah, Ja. Aku mau pake handbook. Kayaknya kalo aku pake baju putri Korea itu bakalan mirip Dong Yi deh."

Aku tertawa. "Tapi disana panas."

"Kalo gitu kita kesananya sore."

"Hemm… oke."

Kami terus berjalan keluar menuju area parkir. Evelyn juga membawa mobil, bedanya kalau mobilku adalah toyota yaris lama warisan Papa, mobil Evelyn adalah Audi A3 yang masih kinclong dan mulus. Dia keturunan Tionghoa yang kaya raya. Orang tuanya punya toko emas. Tapi Evelyn memilih bekerja di tempat lain untuk mengasah kemampuannya meski nantinya dua toko emas besar itu tetap akan jadi miliknya.

"Loh, ban mobilku kempes."

Aku terkejut saat melihat ban depan mobilku kempes sebelah.

"Wah sudah perlu ganti ban kayaknya, Ja."

Aku mengangguk, meski seingatku ban mobil itu belum lama diganti.

"Ya udah aku anter."

"Nggak usah, Ev. Senja biar aku yang anter."

Jonas.

Aku menghela napas, entah bagaimana caraku bilang padanya. Segala ancaman ku tak juga mempan. Evelyn menatapku, sementara Jonas, tanpa raut wajah berdosa dia membuka pintu samping mobil, tersenyum sambil menatapku.

"Naiklah Senja. Aku hanya mengantarmu pulang. Sungguh, aku janji."

***

Comments (4)
goodnovel comment avatar
MaySila83
seru sih ceritanya
goodnovel comment avatar
Atika Jmb
maaf saya keluar
goodnovel comment avatar
Sri Sulastri
off saja....hrs pake koin...maaf ...saya keluar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status