Ruangan serba putih, dengan jarum infus di tangan kiri. Rasa sakit menyebar di sekujur tubuh, terutama di telapak kaki kanan yang ternyata sudah terbalut perban. Aku memegang kepala, denyutnya sudah reda. Namun, benjolan di dahi akibat terbentur menyisakan rasa sakit yang berbeda. Aku mengedarkan pandang. Dika duduk di sudut ruang memainkan ponselnya.”Dik ....” panggilku pelan.”Kamu sudah bangun?” Dika berjalan mendekat, memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket. Lalu, duduk di sebelahku.”Ini jam berapa, Dik? Ibuk di mana?””Jam 12 malam. Kalau masih pusing tidur saja!””Ibuk di mana?” Aku mengulang pertanyaan yang diabaikan oleh Dika.”Di kantor polisi.””Bapak?””Sudah jangan banyak tanya! Tidur saja biar besok boleh pulang.”Aku menghela napas. Aku memunggungi Dika yang kembali berkutat dengan ponselnya usai notifikasi pesan berbunyi lirih.’Bagaimana keadaan Ibu di kantor polisi, dengan siapa Ibu di sana?’ Pikiran itu menari-nari di otakku.Bagaimana Dika bisa setenang itu
Matahari mengintip dari balik tirai yang tersingkap. Rupanya aku tertidur lagi. Dika sudah tidak ada di kursi. Jatah sarapan dari rumah sakit sudah ada di atas nakas. Jam 07.00 WIB. Aku meregangkan otot. Rasa sakit di tubuhku sudah banyak berkurang, yang masih terasa nyeri hanya telapak kaki kanan. Mungkin luka pecahan piring cukup dalam menembus kulitku.”Sarapannya dimakan dulu, Mbak.”Seorang perawat membuka pintu, memeriksa suhu tubuh dan tekanan darah. ”Mau dibantu, Mbak?” lanjutnya. Aku menggeleng. ”Apa hari ini aku sudah boleh pulang, Mbak?” tanyaku lirih.”Sepertinya sudah. Nanti kita tunggu Dokter visit dulu, ya. Untuk suhu tubuh dan tekanan darah Mbak Vio normal, kok. Apa ada keluhan lain?” terang perawat cantik itu. Lagi-lagi aku menggeleng.Aku duduk di tepi ranjang. Makanan yang disediakan oleh rumah sakit belum kusentuh. Aku mencoba berdiri dan berhasil, tetapi hanya sekian detik. Rasa nyeri menyerang hingga ke ubun-ubun. Aku duduk sebentar, lalu mencoba lagi. Percobaan
Aku masuk ke kamar. Menghidupkan ponsel yang sejak tadi malam kumatikan. Bukan tanpa sebab, aku ingin menghindari banyak pertanyaan tentang keluargaku. Seperti yang kuduga, banyak pesan masuk. Gea, Sashi, dan teman-teman sekolah lainnya. Hampir semua pesan yang masuk intinya sama--bertanya kabar. Namun, Ada satu pesan yang menarik perhatianku, dari nomor tanpa nama itu. Ada sembilan belas panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.[Aku sampai di rumah sakit, tapi kata perawat kamu sudah pulang.][Rumahmu di sebelah mana?][Aku boleh, kan, ke rumahmu?][Kenapa ponselmu mati?]Aku menghela napas. Siapa ia sebenarnya. Tidak ada foto profile, tidak ada nama. Namun, aku seperti tidak asing dengan gaya bicaranya.[Aku sudah pulang.] jawabku singkat.[Aku boleh ke rumahmu? Maaf aku lancang bertanya alamatmu di rumah sakit.][Gak usah repot-repot. Aku sudah membaik.]Tidak ada balasan lagi, padahal layar chat centangnya sudah berwarna biru. Mungkin ia sudah menyerah.Aku mengambil celengan
Orang itu membantu Dika menepikan motor, lalu berlari ke arahku. Tubuhnya juga sudah basah, kemeja putih yang ia pakai, mencetak bentuk tubuhnya yang atletis.”Kamu gakpapa, 'kan? Kakimu?””Saya gakpapa.” potongku cepat.”Tapi perban di kakimu basah,” lanjut Dokter Darel. Ya, lelaki yang mengendarai mobil tadi adalah Dokter Darel. Orang yang kemarin merawatku di rumah sakit.”Bagaimana, Vi? Bisa jalan?” ucap Dika saat sudah berada bersamaku dan Dokter Darel. Aku mengangguk.”Kita ke rumah sakit. Biar aku lihat kondisi kaki Vio,” ajak Dokter Darel.”Gak perlu, Dok. Nanti biar perbannya saya ganti di rumah,” tolakku.Dika menghidupkan motornya, aku berusaha naik ke atas motor. Namun, rasa nyeri membuatku meringis kesakitan. Dokter Darel menarik pergelangan tanganku.”Kalau tidak mau ke rumah sakit, biar aku antar kamu pulang. Lukamu tidak boleh bertambah basah. Aku takut bisa mengakibatkan infeksi. Nanti biar kuganti perbannya di rumahmu.”Aku menatap Dika, ia mengangguk. Mungkin Dika j
Setelah berpikir agak lama, akhirnya aku mengambil dompet Ibu. Hanya dompet Ibu, uangku masih aman di dompetku.”Kembalikan kunci motornya Dika, baru aku kasih uang ini ke Om.” Aku meminta syarat sebelum memberikan uang itu.Om Hengki menyerahkan kunci motor ke Dika, lalu menyambar uang yang aku genggam.”Hanya segini?” tanya Om Hengki sambil membulatkan mata.”Memangnya Om kira kami orang kaya!” timpal Dika. ”Semua itu uang milik Ibu yang harusnya untuk biaya makan kami setiap hari.” Dika memicingkan mata, aku tahu, Dika tengah mati-matian meredam emosinya.”Aku tidak peduli, bahkan kalau kalian kelaparan sekali pun aku tak peduli!” Om Hengki berbalik menuju motornya. Ia pergi setelah itu.Dika mengepalkan tangan, memukul angin sambil mengumpat. Aku menarik lengan bajunya. Aku takut Dika lepas kendali, aku tidak ingin kejadian serupa terulang. Dika harus lulus sekolah. Ia tidak boleh terlibat dengan tindakan kriminal.”Harusnya kamu jangan kasihkan uang itu!” ucap Dika sambil menghid
Dika tidak menjawab, ia menerobos masuk mendahuluiku. Aku berusaha mengejar. Namun, aku kalah cepat. Dika sudah masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarnya.”Dik, kamu kenapa?” Aku mengetuk pintu kamar Dika berulang kali. Namun, tetap tak ada jawaban. ”Diiik!””Ganti bajumu lalu makanlah! nanti aku cerita,” ucap Dika dari dalam kamar.Aku menuruti kemauan Dika tanpa bertanya lagi. Dika tidak suka diintrogasi. Dika akan cerita semua ketika ia mau, bukan dengan paksaan. Aku sangat mengenal watak Dika, ia memang keras, tetapi hatinya sangat baik. Ia bisa dengan mudah memukul, tetapi bisa dengan cepat meminta maaf. Mungkin, sifat kerasnya turun dari Bapak. Namun, hatinya sangat baik. Dan aku tahu, tidak mudah menjadi Dika yang kini juga punya tanggung jawab untuk menjagaku, meski usia kami sama.Usai mengganti baju, aku menggoreng dua telor mata sapi. Aku sudah menanak nasi tadi pagi dan membuat omlet untuk sarapan. Aku tidak punya bahan makanan lain untuk dimasak kecuali telor dan m
Bab 9Usai mengambil kartu ujian di sekolah aku menunggu Dika untuk pergi ke kantor polisi. Aku izin pulang lebih awal, karena tepat jam sepuluh kami harus sudah sampai di sana. Tidak kuduga, mobil silver milik Dokter Darel sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Melihatku keluar dari sekolah, ia pun keluar dari mobilnya sambil melambaikan tangan.Persis adegan dalam drama korea yang pernah kutonton. Dokter Darel terlihat sangat tampan dengan kaos putih dan luaran kemeja bermotif kotak halus yang lengannya dilipat hampir sampai siku. Andai ia seumuranku, dan status sosial kami tidak jauh berbeda, mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Cinta monyet mungkin, karena sampai usiaku delapan belas tahun, aku belum penah merasakan jatuh cinta itu seperti apa. Aku hanya mendengar cerita dari Ghea yang sudah berpacaran sejak di bangku SMP.Pernah sekali waktu aku mendapat kiriman coklat di hari valentine disertai dengan ungkapan cinta dari salah satu teman sewaktu duduk di bangku SMP. Namun,
Sekian detik, Ibu menatap Dokter Darel. Lalu tiba-tiba menutup mulutnya.”Kamu ... Arka, bukan?””Iya, aku Arka, adiknya Mahesa.”Aku kembali dibuat melongo oleh pengakuan Dokter Darel. Ia mengaku sebagai Arka, dan Ibu mengenalnya.”Bagaimana kamu bisa ...?” ucap Ibu tertahan.”Kebetulan, Vio pasienku di rumah sakit. Kejadian hari itu gempar dan viral. Saat kulihat wajah pelaku tersebut aku dibuat kaget karena sangat mirip dengan Mbak Ningsih. Sampai aku mencari sumber berita yang valid untuk memastikan kalau itu Mbak Ningsih. Dan wajah Vio, sangat mirip denganmu, Mbak.”Aku melihat mata ibu berkaca-kaca. Aku semakin penasaran dengan Dokter Darel. Kalau hanya hubungan biasa, Dokter Darel tidak akan memperlakukanku sampai sebaik ini.”Kamu sudah menjadi Dokter?” tanya Ibu sambil mengusap air mata yang jatuh di pipinya.”Iya, berkat Mas Mahes. Sayangnya, sekarang Mas Mahes--””Ada apa dengan Mahes?” potong Ibu”Nanti setelah semuanya lebih baik, aku akan mengajak Mas Mahes menemui Mbak