Share

Bab 2

Aku dan Ibu saling melempar pandang. Banyak pertanyaan yang tersimpan dari tatapan Ibu.

”Iya benar. Mana Mas Beni? Sudah hampir sebulan Mas beni nggak pulang.”

”Memangnya Mas Beni tidak pernah cerita tentang aku? Kamu ini, bagaimana sih jadi istri? Makanya punya suami itu diurus, dirawat. Bukan sibuk ngurus diri sendiri!”

Mendengar ucapan wanita itu, aku dan Ibu kembali saling melempar pandang.

”Jangan asal ngomong, ya!” Rasa kesal membuatku menaikkan nada bicara. Ibu menarik tanganku. Meredam emosiku.

Suara motor Bapak menghentikan percakapan kami. Semua mata menatapnya.

”Kenapa berdiri di luar? Mau jadi tontonan tetangga, hah? Masuk!” perintah Bapak dengan mendorong tubuh Ibu yang berdiri di depan pintu.

Bapak, Ibu dan wanita itu duduk di ruang tamu. Sedangkan aku memilih masuk kamar. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dari kamar. Karena rumah kami tidak besar, hanya berukuran enam kali delapan meter persegi.

”Siapa dia, Mas?” tanya ibu pelan. Sepertinya rasa penasaran Ibu jauh lebih besar dari apa yang aku rasakan.

”Dia Mita, istriku,” sahut Bapak cepat.

Ada denging di kepalaku. Dinding batu berubah menjadi api, panas dan membuatku sesak napas. Kalimat Bapak seperti petir yang tiba-tiba menyambar, sebelum hujan turun ke bumi.

”Maksud, Mas?” 

”Tidak usah diperjelas. Mita akan tinggal di sini bersama kita, kamu bisa tidur dengan Vio, biarkan Mita tidur di kamarmu, dia sedang hamil.”

”Tapi, Mas?”

”Sudah, cukup! Sekarang buatkan Mita makan siang, dia belum makan.”

Cobaan apalagi, Tuhan? Bapak benar-benar membangun neraka di rumah ini. Satu orang istri saja tidak pernah ia cukupi. Sekarang? Ia membawa pulang seorang wanita hamil yang ia akui sebagai istrinya. Apa kata tetangga? Apa kata teman-temanku?

Aku ingin pergi dari rumah ini, tapi ke mana? Kalau aku pergi, bagaimana dengan Ibu?

Waktu berjalan sangat lama. Bapak dan wanita itu bercanda di depan televisi, mereka tertawa, sesekali wanita itu merengek manja, dan itu membuat dadaku sakit. Bagaimana dengan dada Ibu?

Lagi-lagi, aku bisa apa? Aku masih menjadi penonton dari drama rumah tangga yang Bapak sutradarai.

Ibu memindahkan barang-barangnya ke kamarku. Berulang aku melihatnya mengusap mata, tapi tak ada isak yang keluar dari bibirnya, dan itu membuatku sangat tersiksa.

Selepas asar, Dika pulang. Aku baru keluar dari kamar mandi. Dika berdiri di depan lemari es, meneguk botol minuman dingin, lalu menatapku tajam. Mita dan Bapak sudah tertidur di depan televisi.

”Siapa wanita itu?” 

”Istri Bapak.”

”Apa? Di mana Ibuk?”

”Belanja ke warung.”

”Setelah ini kita pergi dari rumah. Aku sudah muak melihat kelakuan Bapak. Aku tidak mau lepas kendali jika terus melihatnya seperti ini.”

”Kita mau ke mana?”

”Aku tahu tempat kontrakan yang aman dari Bapak. Kamu bantu Ibu bereskan barang-barang.”

”Bagaimana jika Bapak mengamuk? Bagaimana jika ...?”

”Biar aku yang menghadapi Bapak. Kamu bawa Ibu pergi.”

Dika mengambil gawai dari saku celana. Ia mengirimkan nomor telepon seseorang ke gawaiku.

”Hubungi nomor itu jika ada apa-apa. Mereka akan datang untuk menolongmu.”

”Mereka siapa?” 

”Tidak usah banyak tanya, mereka teman-temanku.”

Tak selang lama, Ibu kembali dari warung. Menaruh belanjaan di dapur lalu pergi ke kamar mandi. Suara dengkuran Bapak memenuhi seluruh isi rumah. Sementara wanita itu tidur sembari memeluk tubuh Bapak, dan itu terjadi di depan Ibu.

Selesai mandi Ibu masuk ke kamarku. Aku dan Dika sudah menunggu dengan dua tas besar yang berisi pakaian dan surat-surat berharga. Dika menceritakan rencana pelarian itu. Awalnya Ibu menolak, tetapi aku dan Dika terus memohon. Sampai akhirnya Ibu menyetujui permintaan kami.

Kami berjalan pelan menuju pintu belakang melalui dapur,  berharap tidak menimbulkan suara apa pun. Namun, malang tak dapat ditolak. Tas yang aku bawa menyenggol rak piring dan membuatnya ambruk.

Seketika Bapak dan Mita terbangun, mereka menemukan kami di pintu belakang. Sialnya, kakiku terkena pecahan piring. Dika menarik tanganku, tapi beling yang menancap di kakiku ternyata cukup dalam dan itu membuatku kesakitan.

”Bawa Ibuk lari, Dik. Tak usah pedulikan aku!” seruku.

”Jangan keluar! Berani kalian keluar dari rumah ini, aku pastikan kalian semua tidak bisa berjalan.” 

Bapak berjalan ke arah Ibu. Aku berusaha menghalangi dengan sisa tenaga yang aku miliki. ”Bawa Ibu pergi, Dik!” teriakku.

Seketika Bapak memukul mulutku, aku kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh. Namun, kesadaranku belum hilang, aku meraih kaki Bapak, memeluknya erat, membuat Bapak sulit berjalan. Sekuat tenaga aku menahan, tetapi tetap kalah dengan tenaga Bapak. Ia menjambak rambutku, lalu melemparku, hingga tubuh kecilku membentur wastafel.

Pandanganku berkunang-kunang. Namun, aku masih bisa mendengar dengan jelas perkataan Ibu.

”Cukup, Mas. Aku tidak akan pergi, tapi biarkan Vio dan Dika pergi. Biarkan mereka hidup, sudah cukup kamu menyiksa mereka selama ini.”

Pandanganku kembali jelas. Aku melihat Dika berjalan mendekat ke arah Bapak yang masih mencengkeram tangan Ibu sambil mengeluarkan kata-kata kasar. Aku melihat Dika mengeluarkan pisau lipat dari jaketnya. Lalu, aku melihat Mita mendorong tubuh Dika. Pisau itu terlempar.

Bapak melepas Ibu. Kali ini Dika yang menjadi bulan-bulanan Bapak. Meski sempat beberapa kali membalas, tetapi pada akhirnya Dika terjatuh.

”Kamu mau membunuhku, hah, B*jingan kecil?” ucap Bapak sembari mencekik leher Dika. ”Ayo lawan aku!” teriak Bapak sambil terbahak.

Dika menatap Bapak, ada kobar api di matanya. Amarah yang mungkin selama ini ia pendam, hari ini benar-benar terbakar. 18 tahun kami diam dan selalu menerima perlakuan kasar Bapak. Kami bahkan harus menerima sindiran tetangga tentang tabiat buruk Bapak.

Mungkin, hari ini adalah puncak dari kemarahan Dika. Ia berani melawan Bapak, sekali dua kali ia juga berhasil menepis pukulan dari Bapak. Namun, tenaga Bapak sangat kuat, Dika tidak bisa melepaskan tangan Bapak dari lehernya. Wajah Dika memerah, sementara Bapak tertawa dengan wajahnya yang mengerikan.

”Mamp*s kamu, ya! Kamu pikir bisa melawanku, hah? Anak laknat!” racau Bapak tanpa melepaskan tangannya dari leher Dika.

Tiba-tiba aku melihat Ibu berlari ke arah Bapak. Mita pun melakukan hal yang sama. Aku pikir, Ibu akan menarik tangan Bapak dari leher Dika, tetapi aku salah. Aku melihat dengan jelas, melihat dengan mata kepalaku sendiri Ibu menusukkan sebilah pisau dapur di punggung Bapak.

Hujan kunang-kunang kembali deras di kepalaku. Semua yang kulihat menjadi kabur. Rasa sakit di sekujur tubuh seolah hilang. Aku mendengar suara wanita hamil itu berteriak-teriak memanggil nama Bapak sambil sesekali mengumpat Ibu.

Samar aku melihat Bapak berbalik, dengan terhuyung ia berjalan menyusul Ibu yang sudah lebih dulu berjalan menjauh darinya. Wajah kesakitan itu tertawa--menyeramkan.

Pandanganku semakin kabur, telingaku berdenging, denyut di kepalaku semakin menjadi. Lalu, semua seperti hilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status