Share

LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK
LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK
Penulis: Zia Novi Ristanti

Bab 1

Aku benci ketika lelaki itu di rumah. Aroma tuak murahan selalu menguar dari mulut yang kerap mengeluarkan kata-kata kotor itu. Jika tidak mengumpatku, ia akan memaki Dika, bahkan tidak segan memukul Ibu.

Ia pulang jika uangnya sudah habis. Entah habis untuk membayar tubuh perempuan atau habis di meja judi. Aku hanya mendengar kasak-kusuk dari tetangga tentang kebiasaan buruk Bapak. Ya, lelaki bertubuh kekar dengan banyak tato di tubuhnya itu adalah lelaki yang membuatku ada di dunia ini. Namun, aku membencinya.

***

Kali ini ia pulang tanpa makian. Ia datang dengan membawa empat bungkus nasi goreng dan sepotong martabak telor berukuran jumbo. Ibu menyambutnya dengan senyum. Wajah yang biasanya menunduk takut, malam ini tampak ceria. Lelaki yang kerap membuat lebam di sekujur tubuh Ibu, malam ini bersikap manis, sangat manis.

”Ning, kemarin aku menang besar. Kita bisa makan enak malam ini. Panggil Dika dan Vio, kita makan bersama!”

Aku mendengarnya. Aku bahkan mendengar ibu berjalan ke arah pintu kamarku. Aku bergegas memalingkan tubuh, menaikkan selimut hingga dada, lalu memejamkan mata. 

”Vio, bangun, Nduk! Bapak pulang bawa nasi goreng. Yuk, makan dulu!” Ibu mengguncang tubuhku pelan, aku menggelengkan kepala tanpa membuka mata. ”Kamu nggak mau bapak marah, kan?” imbuh Ibu.

Aku membuka mata, melihat ada binar di mata Ibu. Sepertinya, bunga-bunga tengah bermekaran di dadanya. Kepulangan Bapak malam ini tidak menyulut api, tidak membuat air mata jatuh di wajahnya yang cantik. Aku beranjak, aku tidak ingin merusak suasana yang tumbuh di hati Ibu.

Dika sudah duduk di sebelah Bapak. Mungkin apa yang ia rasakan sama seperti apa yang aku rasakan. Semua demi Ibu, aku tidak ingin ada pertengkaran malam ini, tidak ada caci maki dan sumpah serapah. Begitulah, rumahku penuh sumpah. Entah sumpah yang mana yang akan dikabulkan Tuhan satu hari nanti.

”Enak?” tanya Bapak memecah hening di meja makan. 

”Iya, enak. Mas Beni beli di mana?” jawab Ibu pelan.

”Di dekat terminal. Kalau kalian suka, besok Bapak belikan lagi, tapi kalau Bapak menang, ya. Doakan Bapak menang tiap hari.”

Apa? Aku harus mendoakan Bapak menang judi setiap hari? Apakah Tuhan akan mengabulkan doaku? Doa macam apa itu? Aku bahkan tahu nasi goreng yang aku makan saat ini adalah makanan haram, hasil dari Bapak berjudi. Namun demi Ibu, aku rela menelan semuanya, termasuk menelan kenyataan bahwa aku anak dari seorang penjudi, pemabuk dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

”Kok, tidak ada yang jawab? Kalian tidak mau mendoakan bapak, hah?” Nada Bapak meninggi. Serta merta Ibu memegang tangannya, menenangkan Bapak.

”Iya, Mas. Kita doakan yang terbaik untuk, Mas,” ucap Ibu demi menjaga suasana agar tidak kacau.

Tiba-tiba Dika melempar sendoknya ke piring. Ia berdiri lalu berjalan ke kamarnya. Bapak yang tidak suka dengan sikap Dika segera berjalan menyusul Dika. Menendang kamar Dika, menarik tubuhnya hingga keluar kamar, lalu menghempaskannya hingga membentur tembok ruang makan.

Ibu berusaha menengahi, tapi Bapak menepis dengan keras. Ibu tersungkur. Bapak kembali menarik tubuh Dika. Mencengkeram kaos, lalu memberikan satu tamparan di pipi kanan Dika.

”Sekarang kamu merasa sudah besar, hah? Sudah berani melawan Bapakmu? Ayo lawan Bapak!” Bapak menantang Dika.

Aku melihat Dika mengepalkan tangan. Namun, belum sempat Dika mengayunkan tangannya, Bapak sudah lebih dulu memukul perut Dika. Ibu berteriak histeris, menutupi tubuh Dika dengan tubunya yang kecil. Sementara Bapak terus mengumpat, melempar piring di meja, sambil sesekali menendang apa saja yang ada di dekatnya.

Apa yang aku lakukan? Aku hanya mematung, menonton adegan demi adegan tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun, apa yang aku rasakan, apa yang aku pikirkan? Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu.

Makan malam yang seharusnya tenang, kembali berakhir dengan sebuah kejadian menyedihkan. Apakah karena nasi goreng yang kami makan berasal dari uang haram Bapak? Entahlah.

***

Seminggu setelah kejadian malam itu Bapak tak pernah pulang. Ibu berjualan di pasar setiap hari, sementara aku bisa belajar dengan tenang tanpa harus mendengar dan melihat pertengkaran.

Aku dan Dika saudara kembar, umur kami 18 tahun. Sebentar lagi kami akan menghadapi ujian kelulusan sekolah. Namun, sejak kecil kami sudah harus menghadapi ujian hidup yang belum selesai hingga saat ini.

Ibu terlalu mencintai Bapak dengan watak tempramentalnya. Sementara Bapak terlalu mencintai dunianya sampai lupa bahwa ada kami yang juga sudah menjadi bagian dari kehidupannya

Jika Bapak di rumah, Dika sering pulang malam dengan alasan belajar kelompok di rumah teman. Bahkan terkadang izin untuk tidur di rumah temannya. Aku pernah mendengar dari teman satu sekolahnya kalau Dika suka berkumpul dengan anak-anak punk. Namun, jika aku belum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan semudah itu percaya. Toh, selama ini Dika tidak pernah mendapat teguran dari sekolah, ia selalu mendapatkan juara kelas dan semua terlihat baik-baik saja.

Aku dan Dika memang tidak satu sekolah. Dika masuk ke sekolah kejuruan, sedangkan aku memilih sekolah umum. Meski saudara kembar, aku dan Dika tidak begitu dekat. Mungkin karena kami sudah mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing, atau mungkin karena tidak pernah terbangun kehangatan di rumah kami.

”Kenapa Ibu tidak meninggalkan Bapak?” Pertanyaan itu aku lontarkan beberapa waktu lalu. Ketika Bapak pulang dengan kondisi mabuk parah, mulutnya meracau mengeluarkan semua binatang buas yang bersarang di kepalanya.

”Suatu saat nanti, Nduk. Saat kalian sudah tidak membutuhkan Ibu. Ibu pasti meninggalkan Bapakmu.”

Jawaban Ibu membuatku sedikit lega. Setidaknya, Ibu berani mengambil sikap. Ada niatan untuk meninggalkan Bapak, meski masih menjadi tanda tanya kapan itu akan terjadi.

***

Ujian kelulusan sekolah selesai. Selama libur sekolah, aku membantu Ibu berjualan kue di pasar. Kue yang Ibu jual adalah titipan orang-orang. Ibu berjualan dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang. Hasilnya cukup untuk menghidupi kami sekeluarga.

Sedangkan Bapak? Selain seorang penjudi, Bapak seorang sopir ojek online. Namun, uang hasil dari mengojek tidak pernah sampai ke tangan Ibu. Justru Bapak sering meminta uang ke Ibu untuk modal berjudi.

Selepas zuhur aku dan Ibu sudah sampai di rumah. Aku terkejut melihat seorang wanita cantik duduk di teras. Perutnya buncit, seperti sedang mengandung.

”Selamat siang, Mbak,” sapa Ibu ramah. Wanita itu hanya mengangguk membalas uluran tangan Ibu. ”Maaf, mencari siapa, ya?” imbuh Ibu.

Aku ikut menyalami wanita yang kutaksir baru berusia sekitar dua puluh lima tahunan itu. Tangannya dingin. Wajahnya ketus, dan di sampingnya ada sebuah kopor berwarna merah tua.

”Aku disuruh datang dan menunggu di rumah ini oleh Mas Beni. Kamu, Mbak Ningsih, kan?”

Wanita hamil itu mengenal Ibu, ia bahkan mengenal Ibu. Siapa ia sebenarnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status