Beranda / Horor / LEMBUR TENGAH MALAM / Insiden Abu Kremasi

Share

Insiden Abu Kremasi

Penulis: Futopia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-02 00:04:46

Hari itu terasa panjang bagi Gracya. Matahari mulai meredup di langit senja, menandakan bahwa tugasnya di kampus hampir selesai. Namun, Gracya masih punya satu tugas terakhir sebelum benar-benar bisa pulang. Dia diminta membantu bersih-bersih di ruang kerja mendiang Bu Direktur, yang kini ditempati oleh anak pemilik yayasan kampus. Sejak Bu Direktur meninggal beberapa bulan lalu, ruangan itu jarang sekali digunakan, dan tumpukan kertas, buku-buku, serta barang-barang pribadi mendiang masih tertinggal di dalamnya.

Gracya tidak tahu banyak tentang Bu Direktur. Dia terkenal sebagai sosok yang tegas namun dihormati, bahkan ditakuti oleh beberapa mahasiswa. Namun, ada satu hal yang sering menjadi topik pembicaraan: konon, Bu Direktur memiliki indera keenam. Banyak yang mengklaim bahwa beliau bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang biasa. Itu adalah salah satu alasan mengapa ruangan kerjanya sering kali dianggap menyeramkan.

Ketika Gracya membuka pintu ruang kerja itu, dia disambut oleh aroma debu dan kertas tua. Ruangan itu terasa sunyi, seperti menyimpan rahasia yang terpendam selama bertahun-tahun. Matahari sore yang temaram menembus tirai, memberikan cahaya keemasan yang memantul di atas tumpukan dokumen-dokumen lama di meja.

"Yah, tidak seburuk yang kupikir," gumam Gracya sambil melepaskan tasnya. Dia mengambil kemoceng dan mulai membersihkan rak buku yang berderet di sisi ruangan.

Saat dia membersihkan meja, matanya tertuju pada sebuah guci kecil yang terletak di sudut, dikelilingi oleh beberapa buku tebal. Guci itu tampak aneh, tidak seperti dekorasi biasa. Gracya mengernyitkan dahi, merasa asing dengan keberadaan benda itu. Tapi dia tidak terlalu memikirkannya dan melanjutkan dengan lap pembersih di tangannya, bergerak dari satu meja ke meja lain, hingga akhirnya dia sampai di dekat guci tersebut.

"Harusnya guci ini sudah dipindahkan," gumamnya sambil mencoba menggesernya sedikit. Namun, saat Gracya menyentuh guci itu, tiba-tiba penutupnya tergelincir, dan sesuatu yang lembut dan berdebu keluar dari dalamnya.

"Aduh!" Gracya melonjak mundur, panik. "Apaan sih?"

Abu kremasi. Itulah yang ada di depan matanya. Gracya menatap abu tersebut dengan bingung, tetapi kesadarannya langsung muncul. Itu pasti abu mendiang Bu Direktur. Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi jantungnya berdetak cepat. Tidak ada yang pernah memberitahunya bahwa abu Bu Direktur masih disimpan di sini. Dalam benaknya, tempat itu seharusnya sudah kosong, hanya diisi oleh barang-barang biasa, bukan sesuatu yang tidak biasa dan cenderung tidak pada tempatnya, seperti abu tersebut.

"Astaga, aku benar-benar harus lebih hati-hati!" katanya sambil buru-buru mengambil tisu dari tasnya. Ia berusaha membersihkan abu yang bertebaran di meja. Saat dia membersihkan debu tersebut, sehelai abu yang sangat halus tiba-tiba beterbangan di udara dan—tanpa sadar—Gracya menarik napas dalam. Debu abu itu terhisap masuk ke dalam hidungnya.

Gracya terdiam, matanya melebar. Dia terbatuk pelan, merasa sedikit sesak, tetapi yang lebih membuatnya tidak nyaman adalah perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Sebuah rasa dingin merayap di kulitnya, seperti ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya.

"Hadeh… cu-cuma debu. Tidak perlu panik," katanya pelan, mencoba menenangkan diri. "Ini semua cuma kebetulan."

Dia mencoba melanjutkan bersih-bersih, meskipun rasa aneh itu masih menggantung di pikirannya. Setelah beberapa menit, dia memutuskan bahwa ruangan sudah cukup bersih, dan memutuskan untuk keluar. Namun, saat Gracya membuka pintu dan melangkah ke luar, dia merasa ada sesuatu yang menahannya. Seperti ada mata yang mengawasi dari balik kegelapan ruangan itu.

Dengan cepat, Gracya mengabaikan perasaan itu, menutup pintu, dan berlalu pergi. Tapi langkahnya terasa lebih cepat dari biasanya, seolah-olah ada yang ingin ia tinggalkan di belakang.

Malam itu, Gracya tidak bisa tidur dengan tenang di kamar kosannya. Ada yang aneh. Dia merasa seperti terus-menerus diawasi. Setiap kali dia memejamkan mata, dia merasa ada bayangan-bayangan di tepi penglihatannya. Bayangan yang seolah berbisik, tapi dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Dia mencoba menenangkan diri, meyakinkan diri bahwa ini semua hanya akibat kelelahan dan insiden di ruangan Bu Direktur tadi.

"Sudah cukup tidur untuk hari ini. Besok juga sudah beres," bisiknya kepada dirinya sendiri, memaksa dirinya terlelap.

Namun, malam-malam berikutnya tidak lebih baik. Gracya mulai mengalami penglihatan-penglihatan sekilas. Saat dia sedang berjalan di kampus, bayangan sosok-sosok samar muncul di sudut matanya—kadang seorang pria berpakaian pasien rumah sakit yang tampak tersesat di koridor, kadang bayangan seorang perempuan yang berdiri memandanginya dari jauh.

Gracya berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutan. Dia tetap bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Ketika penglihatan itu muncul, dia hanya akan mengalihkan perhatiannya ke hal lain, seperti sibuk bermain ponsel atau memperbaiki kacamatanya. Jika ada mahasiswa yang melihat reaksinya, mereka mungkin mengira Gracya hanya sedang lelah, padahal jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Semuanya baik-baik saja," Gracya sering berkata kepada dirinya sendiri. "Ini cuma stres menghadapi tanggal tua."

Namun, malam semakin panjang dan rasa takutnya mulai tumbuh.

Malam berikutnya, saat Gracya bertugas sendirian di ruang kuliah, suasana sunyi begitu mencekam. Dia merasa udara semakin berat, dan entah mengapa, punggungnya terasa dingin. Di sudut matanya, Gracya bisa melihat sosok samar—seperti bayangan seseorang yang duduk di kursi paling belakang ruangan. Gracya menelan ludah, mencoba mengabaikan kehadiran itu.

"Sekali lagi, ini hanya imajinasiku," gumamnya sambil memfokuskan diri pada buku catatan di depannya. Tapi kehadiran itu tidak hilang.

Setiap kali dia mengangkat kepala, bayangan itu seolah bergerak, tapi begitu dia menoleh, bayangan itu menghilang.

Gracya mulai merasa lebih tidak nyaman. Dia memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke luar kelas. Namun, sebelum dia bisa mencapai pintu, suara samar terdengar di telinganya. Suara yang seakan datang dari jauh, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

"G-ra… cya..."

Gracya berhenti, tubuhnya kaku. Dia menahan napas, mendengarkan. Tidak ada yang lain selain sunyi.

"Itu... cuma imajinasi," katanya pelan, meskipun dalam hatinya dia tahu, itu bukan sekadar imajinasi. Suara itu nyata. Sesuatu sedang memanggilnya.

Ia cepat-cepat keluar dari ruangan, langkahnya semakin cepat saat mendengar langkah kaki lain yang seakan mengikutinya dari belakang. Tapi ketika dia menoleh, tidak ada apa-apa.

Hari-hari berikutnya, penglihatan itu semakin intens. Suara bisikan dan tawa kecil yang aneh muncul, bayangan-bayangan semakin sering terlihat. Setiap kali dia bertugas sendirian di malam hari, Gracya merasa ada sesuatu yang berusaha mendekatinya. Tapi dia terus berpura-pura tidak peduli, meski tubuhnya selalu waspada.

"Ini semua gara-gara abu kremasi itu," pikirnya suatu malam, saat ia berbaring di kasurnya, terjaga. "Aku pasti terlalu banyak pikiran juga, butuh tidur yang cukup nih mulai sekarang."

Tapi tidurnya selalu terganggu oleh bisikan-bisikan aneh, bayangan yang semakin jelas muncul di mimpi buruknya. Dan setiap kali dia mencoba melupakannya, bayangan itu semakin mendesaknya untuk memahami.

Dan malam itu, saat dentingan lonceng terdengar di telinganya, Gracya mulai menyadari bahwa dia mungkin telah terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap dari sekadar stres, lelah, maupun tanggal tua.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Momen Kecanggungan

    Gracya sedang menyantap mie ayam di kantin kampus ketika ia menangkap sosok Chandra yang berdiri ragu-ragu di pintu masuk. Pemuda itu terlihat gelisah, sesekali melirik ke arahnya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya."Chan!" panggil Gracya dengan suara lantang, membuat beberapa staf di sekitar menoleh. "Ngapain berdiri kayak patung begitu?"Wajah Chandra langsung memerah. Dengan langkah kaku, ia menghampiri meja Gracya. "Pa-pagi, Kak.""Tumben pagi-pagi udah keliatan. Biasanya kan kamu shift siang?" goda Gracya sambil tersenyum jahil."Itu... saya..." Chandra tergagap, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.Di meja sebelah, beberapa perawat senior mulai berbisik-bisik sambil cekikikan. "Cieee... yang brondong ngejar-ngejar kakak senior nih.""Ssst, tapi cocok loh. Yang satu cantik yang satu ganteng," timpal yang lain.Chandra semakin salah tingkah mendengar bisikan-bisikan itu. Ia hendak berbalik pergi ketika Gracya menarik

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Rahasia Chandra

    Chandra mengamati Gracya dari kejauhan, menyaksikan bagaimana seniornya itu dengan tenang membaca jurnal Bu Susan sambil sesekali mengetik sesuatu di laptopnya. Sudah seminggu berlalu sejak ia ditugaskan menemani Gracya selama shift malam, sebuah "kehormatan" yang sebenarnya tidak diinginkan oleh staf lain karena cerita-cerita seram yang beredar."Kak Grace," panggil Chandra pelan, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kakak nggak takut ya kerja malam terus?"Gracya mengangkat wajahnya dari jurnal, tersenyum tipis. "Kenapa harus takut? Kan ada kamu yang nemenin."Chandra merasakan wajahnya memanas. Tiga tahun perbedaan usia mereka terasa tidak berarti saat Gracya melemparkan candaan-candaan ringan seperti ini. Namun di balik sikapnya yang terkesan penakut, Chandra menyimpan tujuan yang lebih dalam."Kak," Chandra memberanikan diri. "Kakak percaya nggak sama cerita lonceng kematian itu?"Gracya terdiam sejenak, matanya menerawang. "Dulu n

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Kena Mental

    Gracya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya setelah malam penuh ketegangan di ruang arsip. Ia masih memikirkan dokumen-dokumen yang baru saja ia temukan—daftar pasien dengan kematian misterius, catatan tentang "Lonceng Kematian," dan tulisan tangan Bu Susan yang menyebutkan kuil tua sebagai asal mula lonceng tersebut. Namun, semua itu terpaksa ia simpan sementara waktu. Ada hal lain yang lebih mendesak: Chandra.Cowok itu kini duduk dengan wajah pucat di ruangan staf, memeluk lututnya seperti anak kecil yang baru saja melihat hantu. Gracya mengamati dari pintu ruangan, mencoba menahan tawa kecil yang muncul di tengah rasa lelahnya. "Anak baru ini benar-benar kena mental," pikirnya."Kak Gracya..." Chandra memanggil pelan, suaranya gemetar. "Boleh nggak saya duduk di sini aja sama Kakak? Jangan suruh saya balik ke ruangan staf sendirian lagi, ya?"Gracya mengangkat alis. "Kenapa? Bukannya tadi kamu cuma mau ke toilet?"Chandra mengangguk cepat, matanya melebar seperti an

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Arsip Tersembunyi

    Gracya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan pertemuannya dengan Bu Ratri dan janji untuk bertemu di ruang arsip malam itu. Meski tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal tentang perubahan sikap Bu Ratri—perempuan yang selama ini dikenal dingin dan tak pernah bersikap ramah tiba-tiba memberinya akses ke ruang arsip yang selama ini dijaga ketat. Apakah ini jebakan? Apakah ada maksud lain di balik sikap Bu Ratri?Gracya menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cuaca cerah siang itu tidak mampu mengusir kegelisahannya. Bahkan suara langkah kaki anak kos lain yang berjalan di lorong membuatnya mudah terkejut. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha tidur, tapi bayangan tentang apa yang akan ia temukan di ruang arsip terus menghantui pikirannya."Ken

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Keterkaitan dengan Bu Ratri

    Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Gracya masih terpaku pada jurnal Bu Susan yang terbuka di hadapannya. Matanya yang lelah menelusuri setiap kata, mencoba memahami misteri yang tersembunyi di balik tulisan tangan rapi mendiang Bu Direktur."15 April 2019 - Ratri semakin menjauh. Aku tahu dia kecewa, tapi ini demi kebaikan semua. Proyek Penyelamatan Besar tidak bisa dilanjutkan. Terlalu berbahaya..."Gracya mengernyitkan dahi. Ini entri ketiga yang menyebutkan nama Bu Ratri dan proyek misterius itu. Sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar dari koridor. Shift pagi sudah dimulai."Pagi, Kak Grace!" sapa Mbak Yuni, salah satu perawat senior. "Lembur lagi?"Gracya tersenyum tipis, dengan cepat menutup jurnal Bu Susan. "Iya nih, banyak yang harus dikejar."Saat itulah sosok Bu Ratri melewati ruangan dengan langkah tegap. Mata tajamnya sekilas melirik ke arah Gracya, dingin dan menusuk, sebelum berlalu tanpa kata."Bu Ratri masih s

  • LEMBUR TENGAH MALAM    Lonceng dan Dosa

    Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Jurnal Rahasia

    Gracya berdiri terpaku di tengah ruangan dokumen. Bayangan hitam yang mengintimidasi semakin mendekat, bergerak seperti asap pekat yang hidup. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rak-rak bergetar, dokumen-dokumen beterbangan, dan suara-suara samar seperti bisikan terdengar dari berbagai sudut. Gracya tahu apa yang akan terjadi. Bayangan itu seolah mencari celah untuk masuk, berusaha merasukinya.Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menenangkan diri. Tuhan, tolong aku... lindungi aku dari semua ini. Ia mulai berdoa dalam hati, suaranya terdengar bergetar di pikirannya sendiri. Bayangan itu bergerak semakin dekat, dan udara terasa semakin berat.Dentang lonceng terdengar tiba-tiba, memecah kesunyian. Suaranya bergema, mengguncang ruangan seperti alunan peringatan yang kuat. Gracya membuka matanya. Pemandangan di depannya telah berubah. Tidak ada lagi rak-rak kayu atau tumpukan dokumen yang berserakan. Sebagai gantinya, ia ber

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Rahasia Kampus

    Gracya berjalan dengan langkah cepat di koridor kampus farmasi yang sepi, sementara Dewi, yang terlihat cemas, terus mengikuti di belakangnya. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang yang hanya diterangi lampu-lampu redup. Angin malam meniupkan hawa dingin dari celah jendela tua, membuat lorong terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Grace, tunggu,” panggil Dewi dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Kamu mau ke mana? Jangan tinggalin aku sendirian di sini.”Gracya berhenti, menoleh ke belakang. Dewi tampak semakin takut, matanya melirik ke sudut-sudut gelap lorong. Gracya menghela napas, mencoba mengendalikan rasa kesalnya. Kenapa dia harus ikut malam ini? Aku harus menyelesaikan ini sendiri.“Aku cuma mau ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini,” jawab Gracya setenang mungkin.“Enggak! Aku ikut. Aku nggak mau sendirian,” Dewi bersikeras, matanya membulat penuh ketakutan. “Tempat ini... kamu tahu sendiri, kan? Tempat ini nggak normal.”Gracya tidak punya pilihan selain membiar

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Hantu Ojek Online Kembali

    Langit sore itu mulai meredup. Matahari berusaha menembus awan tebal, namun cahayanya kalah oleh mendung kelabu yang menggantung di atas kota. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk dan membuat Gracya merapatkan jaketnya lebih erat. Langkahnya perlahan menyusuri trotoar menuju kampus, sambil sesekali menggenggam saku celana di mana lonceng kecil berdiam tanpa suara. Benda ini, yang pagi tadi ia temukan dalam genggamannya saat bangun tidur, kini menjadi beban yang ia bawa dengan berat hati.Lonceng ini seharusnya sudah dikembalikan ke ruangan Bu Susan, pikirnya. Namun entah mengapa, ada perasaan ragu dan takut yang membuatnya belum berani melakukannya. Seolah-olah ada energi misterius dalam lonceng ini yang mengikatnya, dan membawa Gracya ke dalam arus kejadian-kejadian aneh yang semakin sulit ia jelaskan dengan logika.Dalam benaknya, ia teringat akan permintaan Dewi, rekan sekaligus teman yang dikenal sangat penakut. Dewi memintanya untuk menemani shi

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status