Judul: Lenyapnya Suami Durjana.
Part: 2.
***
"Mas, mau ke mana lagi kamu?" tanya Kendis menghentikan langkah Joko di ambang pintu.Joko menatap ke arah Kendis dengan matanya yang merah. Aroma minuman keras menguak ke udara.
"Banyak kali pertanyaanmu! Dasar istri tidak berguna!" hardiknya.
"Mas, aku mohon jangan keluar lagi! Aku ingin menyampaikan kabar bahagia padamu," bujuk Kendis.
"Ah! Persetan dengan kabar apa pun darimu."
Joko tetap pergi tanpa menghiraukan Kendis.
Wanita yang berusia tiga puluh tahun itu menghela napas sembari mencoba sabar.
.
Malam harinya, Joko kembali dengan seorang wanita.
Tak ada siapa yang melihat, sebab Joko memang pulang saat malam sudah terlalu larut.
Kendis terkejut. Ini pertama kalinya sang suami pulang bersama wanita lain. Biasanya Joko hanya mabuk.
"Mas, siapa wanita ini?" tanya Kendis dengan suara yang masih lembut.
"Minggir! Jangan ganggu kesenanganku!"
Joko mendorong Kendis hingga menabrak dinding.
Kendis mengaduh, tapi Joko tetap tak peduli. Ia dan gundiknya masuk ke dalam kamar milik Kendis. Lalu mengunci pintu dari dalam.
"Mas, buka!" teriak Kendis. "Bedebah kau, Mas!"
Di dalam kamar Joko sedikit pun tak mempedulikan isakan tangis Kendis. Keduanya tetap melakukan hubungan terlarang itu dengan menggebu-gebu.
Kendis luruh ke lantai dengan air mata yang memenuhi wajah tirusnya.
Lima tahun sudah menikah dengan Joko, wajah Kendis sudah tak secantik dulu. Setiap hari ia makan hati sebab kelakuan tak senonoh sang suami.
Berjudi, mabuk-mabukkan, lalu saat ini main perempuan di depan matanya sendiri.
Sebagai seorang istri, Kendis sudah tak dihargai.
.
Selang beberapa jam berlalu, wanita dengan pakaian serba mini itu keluar. Ia menyunggingkan senyum sinis ke arah Kendis yang masih terduduk di depan pintu kamar.
Kemudian, wanita itu berlalu pergi.
Kendis dengan cepat masuk ke dalam kamar.
Ia melihat pemandangan yang memuakkan. Sang suami terkapar tanpa sehelai benang. Namun, ia masih mencoba sabar.
.
Pagi harinya, Joko bangun dan mulai berteriak meminta sarapan.
Hal itu selalu terulang-ulang sejak 3 tahun belakangan.
Sikap Joko sangat menyebalkan. Tak ada lagi kemesraan padahal mereka belum memiliki keturunan.
"Mas, aku hamil ...."
Mata Joko membesar mendengar ucapan Kendis. Makanan yang ia suap, kini ia semburkan keluar sebab terkejut.
Kendis mengukir senyum. Berharap suami akan berubah karena kehamilannya tersebut.
"Apa kau bilang? Kenapa kau ceroboh sekali? Aku tak mau punya Anak! Kehidupan kita sudah pas-pasan Kendis! Dengan kamu punya Anak, pastinya akan menambah bebanku!"
Bagaikan petir yang menyambar hati Kendis. Air mata tertahan di pelupuk matanya yang sendu.
"Ikut denganku!" Joko menarik tangan Kendis.
"Kemana, Mas?"
"Ke tempat pengguguran janin!"
"Tidak!"
Kendis menyentak tangan Joko. Itu adalah perlawanannya yang pertama kali.
"Sudah berani membantah kamu?"
"Aku tidak mau membuang bayiku, Mas. Terserah jika kau tak menginginkannya."
Kedua tangan Joko mengeras. Detik berikutnya Joko meraih rambut Kendis dan mendorongnya dengan begitu kuat.
Tubuh lemah Kendis membentur meja makan. Perutnya terasa sakit sebab tertekan oleh hantaman dari sang suami.
Darah segar mengalir ke kakinya. Kendis menjerit kesakitan.
Bukannya khawatir, Joko malah tertawa senang.
"Akhirnya kau keguguran. Jadi aku tak perlu repot-repot membuang uang untuk melenyapkan bayi si*lan itu," ujar Joko.
Kendis menangis dengan memegangi perutnya.
Sementara Joko pergi meninggalkan rumah.
Sekuat tenaga Kendis mencoba menghubungi dokter. Hingga vonis keguguran sah ia terima.
Bersambung.
Ros ingin berdiri dan menyelamatkan diri dari sana. Namun, kedua kakinya terasa lemah. Ia hanya mencoba menarik napas agar sedikit tenang."Ibu, saya sungguh tak menyangka kalau Ibu sama sekali tak bisa berubah. Ibu rela menjebak Anak Ibu sendiri demi ambisi yang tak ada hasilnya itu!" papar Husein dengan sorot mata siap menerkam."Husein ... itu semua belum tentu benar, Nak! Nona Khana pasti sudah merekayasanya. Kalau tidak, dari mana dia bisa menemukan rekaman yang dua puluh tahun lalu? Itu omong kosong, bukan?"Husein beralih menatap ke arah Khana."Aku mendapatkannya di hotel tempat kejadian itu, Tuan. Aku memang curiga, dan aku menyelidikinya. Kalau Tuan tak percya, silakan cek keaslian video rekaman ini!"Husein ingin semuanya jelas tanpa menduga-duga lagi. Ia mengundang seseorng yang ahli mengamati semua konten.Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, Flo dan Riva akhirnya tiba di rumah utama. Bersamaan dengan orang suruhan Husein."Ada apa kami dipanggil malam-malam begini?" ta
Husein mengambil bantal dan berbaring di sofa yang ada di kamar tersebut."Kenapa Tuan tidur di situ?" tanya Flo dengan suara gemetar. Ia gugup bercampur terlalu senang."Lalu saya harus tidur di ranjang denganmu?" Wajah Husein sangar menatap ke arahnya.Flo menunduk dan menjawab, "Saya pikir Tuan memang mau tidur di kamar ini satu ranjang dengan saya.""Jangan mimpi! Saya pun sebenarnya tak sudi berada di sini. Semua saya lakukan hanya semata-semata untuk Riva," hardik Husein.Flo tak berani lagi membuka suara. Ia naik ke atas ranjang seraya memperhatikan secara diam-diam sosok lelaki yang menutup mata di atas sofa. Ia tersenyum miris, tapi hatin ya tetap saja merasakan senang karena setidaknya ia bisa berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang malam ini.'Mungkin sekarang Tuan memang tak mau satu ranjang dengan saya, tapi suatu hari nanti saya yakin Tuan akan luluh juga. Riva akan tetap jadi senjata bagi saya melemahkanmu, Tuan," batin Flo.__Pagi sekali Husein telah menghilang
Malam harinya, semua kembali berkumpul di meja makan. Khana dan Ara tak pernah melewatkan makan malam bersama di rumah utama. Keduanya selalu memenuhi perintah Husein.Namun, malam ini Areta dan Arsya yang tak terlihat batang hidungnya. Sedangkan Riva bersama Flo turut hadir berkunjung, karena besok adalah wekeend."Ke mana Areta?" tanya Husein menatap ke arah Khana."Mungkin di kamar Arsya," sahut Khana dengan santai."Panggil dan ajak makan bersama!" titah Husein pula."Biar Ara saja yang memanggil Mama dan Arsya," sambung Ara yang dengan sugap berdiri.Ia melangkah perlahan dan mencoba memeberanikan diri menemui Arsya. Ia tahu, pasti Arsya juga sakit hatinya padanya.Sampai di depan kamar, Ara mengetuk pintu yang tak terkunci itu. Kemudian ia menerobos masuk."Mama, Arsya ... Papa sedang menunggu kalian untuk makan malam," ujar Ara mengukir senyum kaku."Kau makan saja dengan yang lain, Ara! Arsya tidak mau keluar kamarnya. Mama akan mengimbanginya makan di sini nanti," papar Areta
Areta dan Husein saling melempar pandangan mendengar penuturan dari Khana."Nona Khana ... apa maksudmu?" tanya Husein menyelidik.Ros seketika langsung pucat dan ketar-ketir."Husein, jangan dengarkan omong kosong dari istrimu yang tak setia ini. Dia mencoba memfitnah Flo! Padahal dirinya dulu pernah berkhianat."Suasana memanas. Arsya yang tengah terluka hatinya, ia memberontak dan berteriak akan kekacauan yang seolah tak menghiraukan keadaannya."Semua sama saja! Tidak ada yang mengerti perasaanku saat ini!" teriaknya, kemudian ia berlari ke dalam kamar.Areta menyusulnya. Untuk sesaat Areta tak mau memikirkan masalah lain. Arsya jauh lebih penting baginya."Nona Khana ... tolong kau jelaskan apa maksud ucapanmu barusan?" tanya Husein mengulang kalimatnya.Khana melemparkan pandangan tajam ke arah Ros dan seketika ia menyeringai sinis. "Ibu yang paling mengerti. Maka, tanyakanlah padanya!""Ibu sama sekali tak tahu apa yang dibicarakan istrimu ini, Husein. Ibu rasa dia sudah gila!'
Malam semakin larut, tamu undangan yang hadir pun sudah pulang. Hanya tersisa Raka dan Bagas di sana."Kau ke sini membawa mobil sendiri atau diantar jemput?" tanya Raka pada Ara."Aku membawa mobil sendiri. Kenapa?""Kalau begitu, aku ikut di mobilmu, boleh?""Tidak!" Ara menolak dengan cepat. Sebab ia melihat wajah Arsya sudah berubah menjadi tegang."Pelit sekali," cibir Raka.Ara tak merespon apa-apa lagi. Ia hanya berharap Raka dan Bagas segera pergi dari rumah utama."Ya sudah, sekarang ayo pulang!" ajak Bagas pula."Kau duluan saja," sahut Ara."Aku tak akan tenang pulang duluan, sementara ada seorang wanita yang menyetir sendirian tengah malam begini."Raka melotot mendengar bentuk perhatian Bagas yang tecurah untuk Ara, wanita impiannya."Ara, ayo pulang. Aku akan mengikutimu di belakang," sambung Raka yang tak mau kalah."Tapi, bukankah kau pulang bersama Ayahmu? Lihatlah, Ayahmu sudah menunggu di dalam mobil. Sebaiknya kau segera ke sana! Urusan Ara, kau tak perlu khawatir!
Seharian hari ini suasana hati Riva tak baik-baik saja. Ia terngiang-ngiang akan ucapan Husein yang mengatakan kalau pernikahan dirinya dengan Flo hanyalah sebuah kecelakaan."Kenapa? Kenapa aku harus mendengar pernyataan yang menyakitkan itu? Jika, memang pernikahan Mami dan Papa cuma karena keterpaksaan, berarti aku juga adalah Anak yang tak diinginkan," gumamnya seorang diri di dalam ruangan kerja.Tak lama, Husein pun sampai di sana. Riva menatap datar ke arah sang ayah yang menyapa. "Selamat pagi, sayang! Kenapa kau pergi dari rumah tanpa pamit dengan Papa?""Hem, maaf Tuan Husein! Sebaiknya kita bersikap profesional di sini. Takut ada yang mendengar, lalu identitasku terbongkar. Nanti akan membuat Tuan malu," desis Riva seraya menyeringai miris.Husein terkejut mendapati sikap Riva pagi ini. Tak biasanya Riva berbicara seserius itu ketika sedang berdua."Tidak akan ada siapa-siapa yang mendengar di sini, Nak. Ruangan ini dibangun kedap suara," ujar Husein pula.Riva membuang muk