“Baru pulang, Sar?”
Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.
“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.
“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”
Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”
“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”
Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak
“Corporate Governance tuh, sebenernya topik yang tricky.” Fano berujar sembari menyentuh touchpad laptop Kaila. “Secara teori sama olahan data angka, emang keliatan ada hubungannya antara penerapan tata kelola perusahaan yang baik sama peningkatan nilai perusahaan. Tapi di lapangan sebenernya agak rancu. Apalagi kalo udah bahas-bahas dewan komisaris sama direksi gini. Soalnya kadang status independensinya cuma pajangan doang, nggak guna-guna banget. Bukan orang yang beneran kompeten juga. Pembimbing lo nggak komentar apa-apa emang?”Lelaki itu mengembalikan laptop tadi pada pemiliknya. Yang lekas menerima sembari meringis kecil memandangi apa yang kini tertera di layar laptopnya.“Komentar, sih,” sahut Kaila tanpa melihat Fano. Fokusnya tengah berpusat pada beberapa fail yang tampak terhampar memenuhi layar laptopnya. Gadis itu menyalin beberapa di antaranya dan memindahkannya ke folder miliknya. &
“Jadi, sekarang lo udah sedeket itu sama si–siapa namanya?” Resya mengangkat wajah, mengalihkan pandangan dari catatan yang tadi sedang dibacanya. Kaila yang duduk dua kursi darinya lantas memutar bola mata.“Fano,” balas Kaila cuek. “Dan nggak, gue nggak deket. Apalagi sedeket itu.”Resya mengangguk dengan gestur menyebalkan. “Fine, Honey,” ia kemudian memindahkan tatapannya pada Ilma yang duduk di antara mereka. “Ma, tadi Pecking Order, tuh, tahun berapa?”Kening Kaila berkerut samar akibat perubahan topik yang tiba-tiba itu. Ia kemudian hanya menggeleng pelan lalu mengembalikan fokus pada lembaran kertas di tangannya–print out bahan referensi yang ia dapat dari Fano beberapa hari lalu. Sementara di sisi Kaila, Ilma menoleh ringan menghadap Resya.“Tahun 1984, Re. Myers, Majluf. Tuh, gue jawab sekalian biar lo nggak nanya lagi.”
“Nggak pegel, Kai?” Kaila melepaskan pandangan dari layar laptopnya demi mendongak dan beradu pandang dengan si penanya. Fano. Yang kini tengah tersenyum bodoh menatap ke arahnya. “Apanya?” Gadis itu bertanya dengan kening berkerut, sepenuhnya tidak mengerti arah pembicaraan Fano. Lelaki di hadapan Kaila itu lantas mengedikkan kepala, menunjuk laptop yang terbuka di meja, di antara mereka. “Fokus banget melototin laptop dari tadi. Nggak pegel?” Itu sebuah kelakar. Fano jelas melontarkannya dengan nada bercanda. Namun, Kaila tidak tertawa. Ia justru mendengkus malas. “Gue malah heran sama lo,” balas Kaila, menggeser laptopmya sedikit ke samping, kini menempatkan atensinya penuh-penuh pada si lelaki. “Hobi banget ngikutin gue tiap gue mau ngerjain skripsi. Nggak pegel?” Sindiran pedas Kaila hanya melebarkan cengiran di wajah Fano. “Kan, biar gue bisa ngebantu kalo lo tiba-tiba blank terus butuh temen brainstorming.”
“Menurut informan gue, namanya Fano. Anak JIP, satu angkatan di atas kita. Kenal sama Kaila nggak sengaja, kebetulan dia ngerti dikit-dikit soal skripsinya Kaila jadi suka diskusi bareng gitu katanya, sih,” Fahril menggantung laporannya dengan mulut penuh, sibuk mengunyah remahan Cheetos terakhir dari bungkusnya. “Nih, ada fotonya tapi nggak jelas.”Kaisar menerima angsuran ponsel Fahril, lalu menyipit memperhatikan layarnya. Sebuah foto– yang tampaknya diambil tanpa kesadaran para objek di dalamnya–ditampilkan di sana. Kaisar mengenali latarnya sebagai ruang diskusi perpustakaan pusat. Namun, tidak bisa melihat dengan jelas wajah sosok lelaki yang kelihatan duduk berhadapan dengan Kaila.“Nggak keliatan,” protes Kaisar, mengembalikan ponsel Fahril pada pemiliknya. “Tapi sekilas mirip, sih, sama yang kemaren gue liat.” Kepalanya lalu menoleh pada Zaki yang duduk bersila di sudut ruangan, tengah menulikan diri
“Dari mana lo?”Pertanyaan itu menyambut Kaila segera setelah ia melangkahkan kaki berniat melintasi ruang tamu. Kaila tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara. Namun, karena refleks, gadis itu menoleh juga, membuatnya bertemu pandang dengan Kaisar.Kaila tidak langsung menjawab. Gadis itu memberi jeda demi menatap Kaisar dengan sorot tidak suka. Raut serta nada suaranya tetap datar ketika kemudian ia menyahut, “Bukan urusan lo.”Kaisar lantas menghela. Kedua orang tua mereka tengah berada di ruang tengah, hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka sekarang. Memancing emosi Kaila hanya akan menciptakan huru-hara yang mungkin dapat berakibat panjang. Ia tidak menginginkan keributan apa pun. Apalagi jika sampai menyebabkan masalah sepele ini diketahui orang tua mereka. Tapi bagaimana pun, Kaisar penasaran. Karenanya, berusaha berpikir masa bodoh, lelaki itu bangkit dari duduknya lalu bertanya dengan nada setenang mungkin.
“Ayo bikin perjanjian.”Kalimat datar itu tanpa aba-aba. Tanpa pendahuluan atau pembukaan yang ramah. Dilontarkan padanya segera setelah pintu kamarnya terbuka tanpa permisi. Membuat Kaisar mengernyit tidak suka lalu melepas sebelah earphone di telinganya."Bisa, nggak, kalo masuk kamar orang itu ketok pintu dulu?" tanyanya, memandangi sosok yang kini berdiri di ambang pintu.Kaila Rashi. Kakak yang lahir tiga belas menit lebih awal darinya."Udah," jawab Kaila pendek, kepalanya menoleh ringan lalu mengedik pada pintu yang terbuka di belakangnya. "Gue udah ketok tiga kali. Kalo lo nggak denger, bukan salah gue."Kaisar mendengkus. Ini khas Kaila. Keras kepala, tidak mau dibantah, menjengkelkan. Sadar perdebatan ini tidak akan menemukan titik terang jika Kaisar menjadi sama keras kepalanya, ia mengalah. Meninggalkan posisi rebahnya di kasur, lelaki itu bangkit duduk. Sepasang earphone-nya sudah terlepas penuh dari kedua
Bertahun-tahun sudah berlalu sejak permintaan Kaila pada Kaisar waktu itu. Keduanya telah tumbuh jauh meninggalkan masa lalu. Juga, meninggalkan satu sama lain.Pada akhirnya, rencana Kaila semasa SMA tidak berjalan mulus. Rahasianya dan Kaisar hanya bertahan selama satu semester penuh. Semua terkuak begitu saja di hari pembagian rapor kala mamanya sampai di kelas Kaisar setelah selesai mengambil rapor milik Kaila."Loh, Tante mamanya Kaila?" tanya si penjaga meja absensi kelas Kaisar ketika tanpa sengaja membaca nama Kaila Rashi Nismarasati di rapor yang dibawa ibu-ibu yang sedang membubuhkan tanda tangan di kertas absensi di hadapannya. Mata si penjaga—yang merupakan teman ekstrakulikuler Kaila—itu lantas mengikuti arah tangan sang ibu-ibu, tanpa sadar mencari tahu di sisi nama siapa tanda tangan beliau dibubuhkan.Kaisar Aji Ragimandala."Iya. Papanya nggak bisa ikut, jadi Tante deh, yang ngambil rapor dua-duanya."Jawaban itu ramah,
“Girls, gue balik duluan, ya,” pamit Resya setelah sempat berkutat memeriksa ponselnya. Satu tangan gadis itu melambai ke arah para sahabatnya sementara satu yang lain masih memegang ponsel yang mendadak bergetar.“Buru-buru amat, udah ditungguin Mas Pacar?” goda Ilma sembari membalas lambaian Resya.Resya hanya tertawa kecil. Ia sudah bangkit berdiri kala matanya menangkap tatapan Kaila mengarah padanya. Tawa Resya lantas berubah menjadi cengiran.“Mana Mas Pacar, kenalin ke kita, dong, Re. Biar bisa nongki bareng sekalian gue ospek,” celetuk Kaila, nadanya bercanda. Namun, diam-diam, gadis itu memang penasaran perihal jati diri dari kekasih sang karib. Pasalnya, sudah tiga bulan berjalan sejak Resya sering kali pamit pulang lebih awal ketika mereka sedang bersama, seolah memang ada orang lain yang juga memenuhi waktunya—seseorang yang tidak Kaila dan Ilma ketahui. Tiap kali menerima pertanyaan, Resya tidak per