“Baru pulang, Sar?”
Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.
“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.
“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”
Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”
“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”
Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak
“Dari mana lo?”Pertanyaan itu menyambut Kaila segera setelah ia melangkahkan kaki berniat melintasi ruang tamu. Kaila tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara. Namun, karena refleks, gadis itu menoleh juga, membuatnya bertemu pandang dengan Kaisar.Kaila tidak langsung menjawab. Gadis itu memberi jeda demi menatap Kaisar dengan sorot tidak suka. Raut serta nada suaranya tetap datar ketika kemudian ia menyahut, “Bukan urusan lo.”Kaisar lantas menghela. Kedua orang tua mereka tengah berada di ruang tengah, hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka sekarang. Memancing emosi Kaila hanya akan menciptakan huru-hara yang mungkin dapat berakibat panjang. Ia tidak menginginkan keributan apa pun. Apalagi jika sampai menyebabkan masalah sepele ini diketahui orang tua mereka. Tapi bagaimana pun, Kaisar penasaran. Karenanya, berusaha berpikir masa bodoh, lelaki itu bangkit dari duduknya lalu bertanya dengan nada setenang mungkin.
“Menurut informan gue, namanya Fano. Anak JIP, satu angkatan di atas kita. Kenal sama Kaila nggak sengaja, kebetulan dia ngerti dikit-dikit soal skripsinya Kaila jadi suka diskusi bareng gitu katanya, sih,” Fahril menggantung laporannya dengan mulut penuh, sibuk mengunyah remahan Cheetos terakhir dari bungkusnya. “Nih, ada fotonya tapi nggak jelas.”Kaisar menerima angsuran ponsel Fahril, lalu menyipit memperhatikan layarnya. Sebuah foto– yang tampaknya diambil tanpa kesadaran para objek di dalamnya–ditampilkan di sana. Kaisar mengenali latarnya sebagai ruang diskusi perpustakaan pusat. Namun, tidak bisa melihat dengan jelas wajah sosok lelaki yang kelihatan duduk berhadapan dengan Kaila.“Nggak keliatan,” protes Kaisar, mengembalikan ponsel Fahril pada pemiliknya. “Tapi sekilas mirip, sih, sama yang kemaren gue liat.” Kepalanya lalu menoleh pada Zaki yang duduk bersila di sudut ruangan, tengah menulikan diri
“Nggak pegel, Kai?” Kaila melepaskan pandangan dari layar laptopnya demi mendongak dan beradu pandang dengan si penanya. Fano. Yang kini tengah tersenyum bodoh menatap ke arahnya. “Apanya?” Gadis itu bertanya dengan kening berkerut, sepenuhnya tidak mengerti arah pembicaraan Fano. Lelaki di hadapan Kaila itu lantas mengedikkan kepala, menunjuk laptop yang terbuka di meja, di antara mereka. “Fokus banget melototin laptop dari tadi. Nggak pegel?” Itu sebuah kelakar. Fano jelas melontarkannya dengan nada bercanda. Namun, Kaila tidak tertawa. Ia justru mendengkus malas. “Gue malah heran sama lo,” balas Kaila, menggeser laptopmya sedikit ke samping, kini menempatkan atensinya penuh-penuh pada si lelaki. “Hobi banget ngikutin gue tiap gue mau ngerjain skripsi. Nggak pegel?” Sindiran pedas Kaila hanya melebarkan cengiran di wajah Fano. “Kan, biar gue bisa ngebantu kalo lo tiba-tiba blank terus butuh temen brainstorming.”
“Jadi, sekarang lo udah sedeket itu sama si–siapa namanya?” Resya mengangkat wajah, mengalihkan pandangan dari catatan yang tadi sedang dibacanya. Kaila yang duduk dua kursi darinya lantas memutar bola mata.“Fano,” balas Kaila cuek. “Dan nggak, gue nggak deket. Apalagi sedeket itu.”Resya mengangguk dengan gestur menyebalkan. “Fine, Honey,” ia kemudian memindahkan tatapannya pada Ilma yang duduk di antara mereka. “Ma, tadi Pecking Order, tuh, tahun berapa?”Kening Kaila berkerut samar akibat perubahan topik yang tiba-tiba itu. Ia kemudian hanya menggeleng pelan lalu mengembalikan fokus pada lembaran kertas di tangannya–print out bahan referensi yang ia dapat dari Fano beberapa hari lalu. Sementara di sisi Kaila, Ilma menoleh ringan menghadap Resya.“Tahun 1984, Re. Myers, Majluf. Tuh, gue jawab sekalian biar lo nggak nanya lagi.”
“Corporate Governance tuh, sebenernya topik yang tricky.” Fano berujar sembari menyentuh touchpad laptop Kaila. “Secara teori sama olahan data angka, emang keliatan ada hubungannya antara penerapan tata kelola perusahaan yang baik sama peningkatan nilai perusahaan. Tapi di lapangan sebenernya agak rancu. Apalagi kalo udah bahas-bahas dewan komisaris sama direksi gini. Soalnya kadang status independensinya cuma pajangan doang, nggak guna-guna banget. Bukan orang yang beneran kompeten juga. Pembimbing lo nggak komentar apa-apa emang?”Lelaki itu mengembalikan laptop tadi pada pemiliknya. Yang lekas menerima sembari meringis kecil memandangi apa yang kini tertera di layar laptopnya.“Komentar, sih,” sahut Kaila tanpa melihat Fano. Fokusnya tengah berpusat pada beberapa fail yang tampak terhampar memenuhi layar laptopnya. Gadis itu menyalin beberapa di antaranya dan memindahkannya ke folder miliknya. &
“Baru pulang, Sar?”Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak