Share

6. Tentang Kebetulan

“Lo nggak lihat orangnya?”

Pertanyaan itu terlontar santai, diselingi perebutan kemasan Cheetos antara Kaisar dan Fahril. Namun, bagaimana pun, Zaki tahu kawannya baru saja bertanya serius. Meski demikian, ia terpaksa menggeleng.

“Nggak. Pas gue nengok, bis dateng. Heboh, dah, tuh, sehalte.”

Terdengar suara Cheetos dikunyah. Disusul suara berisik yang aneh. Zaki lantas menoleh, menemukan dua kawannya yang masih berperang memperebutkan kemasan makanan ringan yang isinya hampir habis itu. Ia lalu mendengkus. “Ngapain, sih, kampung. Beli lagi sono di Indomaret depan. Timbang Cheetos lima ribu lebih dikit aja berantemnya sampe ngotorin kosan gue.”

Baik Kaisar dan Fahril lekas melepaskan pegangan masing-masing dari kemasan makanan ringan tadi. Membiarkan bungkusan itu jatuh ke lantai dan isi remahannya berceceran, membuat Zaki mengerang frustrasi.

“Iya, iya, nanti sebelum balik gue nyapu dulu,” celetuk Fahril cepat sembari mengusapkan tangan ke celana jinnya. “Jadi, gimana, tuh, cowok yang gangguin adek lo?” tanyanya kemudian, mengedik pada Kaisar.

“Kakak,” koreksi Kaisar malas.

“Ya kembaran lo, lah, pokoknya. Ribet amat.”

Kaisar angkat bahu. Lelaki itu telah kembali pada mode acuh tak acuhnya saat membicarakan Kaila. “Ya mana gue tahu. Zaki ngasih info nggak lengkap.”

“Ya, kan, Ila juga ceritanya gitu doang, anjir,” elak Zaki, tidak terima disalahkan.

Ketiganya lalu terdiam. Fahril menjadi yang pertama bosan berdiam lantas mendaratkan tatapannya pada Zaki. Ia mengamati kawannya sejenak sebelum sebuah cengiran mendadak muncul di wajahnya.

“Lo beneran nggak pernah naksir Kaila, Zak?”

Pertanyaan sederhana itu membuat dua pasang mata sontak menatap sengit ke arah Fahril.

“Ngomong apa barusan?” tuntut Kaisar.

“Bahasan lo nggak pernah berbobot, Ril,” keluh Zaki, menimpali.

Melihat reaksi dua temannya, Fahril tergelak. Ia lalu melempari Kaisar dengan bungkus Cheetos yang kini sudah diremas hingga membola. Tangannya terangkat ke arah Zaki, mengajukan permintaan maaf.

“Bercanda, elah,” kilahnya. “Tapi lo berdua pernah mikir nggak, sih?  Lo, Sar,” Fahril menunjuk Kaisar. “Daripada kembaran lo sama orang nggak jelas, kan mendingan sama Zaki? Udah jelas lo tahu orangnya kayak apa. Kalo macem-macem juga tinggal lo aduin ke bapaknya. Kalo adek gue seumuran kita, sih, mau juga gue comblangin sama Zaki. Mantan santri, rajin mengaji, berbudi pekerti–HAHAHA.” Monolog Fahril terpaksa terhenti akibat tangan Zaki yang tiba-tiba mendorong sisi kepalanya.

“Kapan dia nyantri, anjir,” dengkus Kaisar. Pandangannya lantas bertemu canggung dengan sorot Zaki. Saling mengenal untuk waktu yang begitu lama, rupanya membuat keduanya mampu bertukar pesan melalui sorot mata. Karenanya, Kaisar hanya menggeleng. Tatapannya teralih pada Fahril. “Lagian Zaki mana demen sama Ila, ya kan, Zak?”

Yang ditanya mengangguk ringan. Membuat Fahril mendengkus.

“Itu nggak demen karena udah sering lo ultimatum aja kali.”

“Ini bocah ngelawan aja kalo dibilangin!” Kaisar melempar balik bekas bungkus Cheetos yang tadi Fahril lemparkan padanya.

Fahril tergelak sesaat. “Ya udah, ya udah. Sekarang kalo misal, malah si Kaila yang naksir Zaki, gimana?”

Setelahnya hening. Gagasan itu rupanya cukup mengganggu baik bagi Kaisar maupun Zaki. Keduanya berpura-pura tidak acuh dan mengalihkan perhatian dari pertanyaan Fahril. Yang justru menyebabkan Fahril terbahak geli di tempatnya.

“Hayoloh, hayoloh,” goda Fahril. Hanya selang dua detik sebelum bantal Zaki telak menubruk wajahnya.

“Diem, gila,” sergah Zaki, setengah kesal. Ia menoleh pada Kaisar, hendak meminta bantuan, namun Kaisar justru tengah memandangnya dengan tatapan tak terbaca.

“Tapi kalo Ila beneran naksir lo, lo bakal gimana, Zak?” tanya Kaisar, suaranya mengambang.

Zaki lantas melotot ke arahnya. “Nggak mungkin, lah, gila!”

“Kenapa nggak?”

“Ila nggak suka yang kayak gue.”

“Sok tahu si anjir.”

“Beneran, anjir!”

Kaisar mendengkus tertawa menyaksikan perdebatan dua kawannya. Lelaki itu lalu bersandar pada dinding di samping tempat tidur Zaki. Rautnya cukup tenang kala kemudian ia menyela, “Udah, kampung. Ribut amat berdua ngomongin kembaran gue.”

Fahril terkikik sementara Zaki berdecih. Kaisar memandang Zaki sejenak, sorotnya santai. Namun, Zaki justru merasa tidak senang.

“Sar, dari awal gue baik sama Ila, kan, karena lo yang nyuruh,” ungkitnya. “Kenapa sekarang jadi gue yang dipojokin?”

“Apaan, fitnah. Lo baik-baikin dia sendiri,” kekeh Kaisar. “Lagian nggak ada yang mojokin lo, Zak. Fahril lo dengerin.”

Di sudut, Fahril merasa menang. Tawanya menguar di udara. Sementara Zaki terdiam. Ia sadar mungkin ia telah bereaksi berlebihan. Untuk sejenak tadi, ia hanya terlalu takut terjadi kesalahpahaman. Zaki tidak memiliki niat lain apa pun terhadap Kaila. Selama ini, sikap baiknya murni atas dasar pertemanan. Pun jika bukan, ia memperlakukan Kaila dengan baik karena Kaisar adalah karibnya. Lagipula, Kaila memercayainya sebesar itu. Mengapa ia harus berlaku buruk atau mengambil kesempatan?

“Ya, sori.” Zaki mengalihkan pandang, setengah malu. Ia berusaha abai pada raut jahil Fahril yang seolah sengaja masih ingin menggodanya.

“Udahlah,” Kaisar berujar ringan. “Tapi kalo Ila ada cerita apa-apa lagi soal cowok creepy itu, kabarin gue, Zak.”

Zaki mengangguk singkat. Benaknya kini agak kusut. Berada di tengah Kaila dan Kaisar ternyata cukup menguras tenaga. Ia menyadari itu sejak lama, namun belakangan ini, Zaki merasa situasinya semakin berantakan. Ia sadar seberapa besar Kaila menaruh kepercayaan terhadapnya dan seperti apa Kaisar menilainya sebagai teman. Di satu sisi, Zaki memiliki keinginan untuk mendamaikan sepasang kembar itu. Karena ia tahu, Kaila dan Kaisar masih sering kali saling peduli. Tapi di sisi lain, Zaki juga tahu. Bahwa ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk itu.

Bukan karena Kaila dan Kaisar adalah dua orang paling keras kepala yang pernah ditemuinya, melainkan karena seseorang yang belum bisa berdamai dengan diri sendiri sepertinya, tidak akan bisa mendamaikan orang lain.

***

“Kai, di manaaa?”

Dengan enggan, Kaila menjauhkan ponselnya dari telinga sambil mendengkus. Suara tawa Resya menyambutnya di seberang sana. Tanpa benar-benar memerhatikan apa yang Resya katakan di telepon, Kaila meneruskan langkahnya menuju parkiran gedung Auditorium Pusat kampus. Ia baru tersentak kala Resya mendadak mengeraskan suara.

“Apaan, sih, Bawel? Gue masih di Audipus,” jawabnya, menjepit ponsel antara pipi dengan bahu sementara tangannya sibuk merogoh isi tas. “Ini baru mau balik.”

“Jadi bawa motor?”

“Jadi,” sungutnya. “Dosen lo gila. Acara jam sepuluh baru ngabarin jam delapan lewat. Untung gue masih inget cara ngebut yang santun.”

Tawa berisik Resya sekali lagi menguar memenuhi indra pendengaran Kaila. Sayup terdengar suara Ilma yang menyuruhnya diam. Kening Kaila berkerut sedikit. “Lo di mana, Re? Udah di Ilma?”

“Iya. Lo buruan sini, katanya mau nugas.”

“Iya, iya, ini jalan,” sahut Kaila, nyaris memekik senang akibat berhasil menemukan kunci motor di tasnya.

“Jangan lupa ngebut yang santun.”

“Berisik, Resya.”

Sambungan telepon diputus sepihak tepat setelah Resya kembali memperdengarkan tawa. Kaila berdecak. Merasa kesal pun percuma. Sama sekali tidak ada yang bisa menjadi pelampiasan kekesalannya saat ini.

Pagi tadi, secara mendadak, dosen pembimbingnya tiba-tiba meminta setiap mahasiswa bimbingan beliau untuk ikut menjadi peserta di sebuah acara seminar Akuntansi dan Pajak yang diadakan di gedung Auditorium Pusat kampus. Kaila yang baru membaca pesan itu lewat setengah jam dari waktu terkirimnya, terpaksa kalang kabut dan terburu-buru bersiap. Menggunakan transportasi umum seperti kereta gagal menjadi pilihan Kaila mengingat pagi ini Ilma mengiriminya berita kereta anjlok di rute yang masih berhubungan dengan rute yang akan ia tempuh, menyebabkan penumpukan keberangkatan akibat jadwal yang tersendat. Jadilah, dengan bersungut-sungut dan mengumpat, gadis itu memutuskan untuk mengendarai motor ke kampus. Keputusan yang cukup berbahaya mengingat terakhir kali Kaila mengendarai motor sendiri dalam jarak jauh adalah semasa ia masih SMA.

Tergesa, gadis itu menancapkan kunci lalu memundurkan motornya. Setelah menyalakan mesin motor–dan membiarkannya memanas sejenak–Kaila mengenakan helm serta serangkaian persiapan berkendara yang biasa dilakukan. Ia lantas melajukan motor keluar dari area parkir gedung, menyusuri jalan antar fakultas yang cenderung lengang. Belum sempat berbelok menuju jalan besar, mesin motor Kaila mendadak terbatuk, sebelum akhirnya berhenti hanya berjarak beberapa meter dari pintu masuk parkir. Setengah kesal dan panik, gadis itu turun dari motornya.

“Kenapa, dah?” omelnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Kaila tidak mengerti mesin dan sudah cukup lama tidak berinteraksi dengan motornya. Kebingungan, gadis itu memasang standar samping dan melepas helm, mengamati motornya tanpa tujuan. Berusaha menghidupkan mesinnya kembali adalah perkerjaan yang sia-sia. Putus asa, Kaila mendudukkan diri di trotoar.

Terlintas di benaknya untuk menelepon seseorang dan meminta bantuan. Nama pertama yang muncul tentu saja Zaki. Namun, mengingat ia sudah banyak merepotkan lelaki itu belakangan ini, Kaila lantas mengurungkan niat. Ia kemudian mempertimbangkan pilihan menghubungi Resya, untuk kemudian memohon pada Resya agar meminta bantuan pada pacarnya–siapa pun itu. Tapi niat itu turut urung akibat rasa sungkan yang terlampau besar. Maka menyesali nasib dan mengumpat seorang diri sambil menunduk masih menjadi pilihan Kaila saat ini.

Sampai suara langkah kaki mendadak mendekat ke arahnya.

“Mbak, ada yang bisa–lah, lo?”

Acara saling tatap itu berlangsung sebentar, Kaila lekas mengalihkan pandangan dan bangkit berdiri setelah matanya membola menyadari siapa yang ada di sana. Fano. Oh, astaga, dari sepuluh ribu lebih mahasiswa di kampus ini, mengapa harus Fano yang berdiri di depannya sekarang?

“Lo yang ngapain?” tuntut Kaila, tubuhnya mundur beberapa senti, bentuk sebuah mekanisme pertahanan diri. “Lo nguntit gue, ya? Bisa-bisanya selalu ada di mana-mana?”

Suara tawa menyambut tuduhan Kaila. Tawa yang ringan, tanpa beban.

“Lo yang ngapain,” balas Fano. “Tuh, fakultas gue di seberang,” tunjuknya pada gedung Fakultas Ilmu Budaya yang tepat bersebelahan dengan lahan parkir utama gedung Auditorium Pusat. Dengan senyum kemenangan, lelaki itu melanjutkan, “Wajarlah gue keliaran di daerah sini. Lah, lo ngapain?”

Sembari merengut, Kaila mengalihkan pandang. “Abis ada seminar di Audipus,” jawabnya dalam gumaman.

“Oh,” Fano menyahut. “Terus ngapain duduk di jalanan?”

Untuk sepersekon, Kaila berniat mempertahankan ego. Ia begitu ingin menjawab ketus seperti biasa sebagai bentuk penolakan terhadap kehadiran Fano. Namun, rasa lelah yang Kaila hadapi sejak terlalu dini hari ini nampaknya berpengaruh cukup besar baginya. Bukannya bersikap kasar, Kaila justru mengusap wajahnya frustrasi.

“Motor gue mendadak mati.”

Dari ekor matanya, Kaila bisa melihat Fano mengangkat alis. “Kenapa?”

“Nggak ngerti.”

Sesaat, lelaki itu manggut-manggut. Kepalanya kemudian menoleh penuh-penuh ke arah Kaila. “Gue boleh nyoba bantuin, nggak?”

Kaila menghela. Di saat seperti ini, memangnya ia punya pilihan?

“Silakan.”

Fano menghampiri motor matic merah miliknya, tampak memutar kunci lalu menekan electric starter hanya untuk mendengar suara mesin yang berusaha menyala namun gagal. Lelaki itu beralih memandangnya.

“Udah coba di-engkol?”

Dengan kernyit samar di wajah–karena kurang menyukai istilah itu–Kaila menggeleng. “Gue nggak bisa nyelah.”

Untuk kesekian kali sejak pertama bertemu, Kaila mendengar Fano tertawa. Meski asing, suara itu mulai terasa akrab. Seolah bukan berasal dari orang yang jahat. Tunggu. Tapi, Fano memang bukan orang jahat. Pikiran Kaila-lah yang selalu memusuhinya akibat kesan pertama yang kurang menyenangkan.

“Nggak bisa juga,” lapor Fano, sembari mengembalikan kick starter motor Kaila ke posisi semula. Membuat Kaila tersadar ia melamun sejak tadi. “Ini biasa sebelum dipake dipanasin dulu, nggak?”

Kaila mengangguk ragu. “Tapi udah lama nggak dipake.”

Pandangan Fano kembali pada si gadis yang masih berdiri canggung di tempatnya itu. Sorotnya menyelidik. “Terakhir di-tune up kapan?”

“Lupa,” gumam Kaila, setelah sesaat terdiam. “Kayaknya udah lama ... banget.”

Fano tertawa kecil. Kepalanya tergeleng sembari sesekali melirik Kaila, seolah tengah mengonfirmasi sebuah teori yang hanya dirangkai dalam kepalanya.

“Gue, sih, bisa dan mau aja bantuin,” ujar Fano, melangkah mendekati Kaila. “Tapi masalahnya gue nggak bawa apa-apa,” lelaki itu menunjukkan tangan kosongnya. “Lo mau ke mana emang?”

Sesaat, gadis itu menatap ragu.

“Beltek,” jawabnya kemudian, menyebutkan nama daerah pemukiman di belakang Fakultas Teknik–di luar area kampus–yang lebih dikenal dengan Beltek–singkatan dari Belakang Teknik.

“Gue anter aja, gimana? Motor lo tinggal sini aja, titip ke temen gue sekalian diliat apa yang kumat,” tawar Fano.

Kaila lantas melotot. Ia mungkin memutuskan untuk berbaik hati pada Fano hari ini. Tapi, memberikan kepercayaan sebanyak itu di saat mereka tidak saling mengetahui apa pun perihal satu sama lain, terdengar seperti hal yang janggal bagi Kaila. Maka gadis itu menggeleng cepat, rahangnya mengeras.

“Apa jaminannya motor gue nggak bakal lo bawa kabur?”

Fano mendengkus tertawa, rautnya seakan menyesali keputusannya menawarkan pilihan barusan. Namun, selain itu, Kaila tidak melihat lelaki itu tersinggung.

“Oke, sori,” katanya cepat. “Kalo gitu, gue bantuin dorong motor sampe Beltek? Gue tahu bengkel yang bagus di sana.”

Bibir Kaila ternganga. Gadis itu seolah ingin mengatakan sesuatu namun berakhir mengatupkannya kembali. Ia memandang Fano, kemudian mengembuskan napasnya pasrah. Membayangkan jarak dari tempatnya sekarang sampai ke Beltek sama sekali bukan hal menyenangkan.

“Nggak ada pilihan yang mendingan apa?” keluh Kaila.

“Itu udah mendingan. Daripada lo dorong motor sendirian sampe Beltek? Jauh, loh, mayan.”

Ada sesuatu di senyum Fano yang justru membuat Kaila jengkel. Senyum itu seolah tengah mengejeknya, merasa menang atas entah apa. Tapi lelaki itu benar. Berjalan kaki tanpa membawa motor saja rasanya sudah pelik. Kaila sungguh malas membayangkan bagaimana ia akan mendorong motor mogoknya sampai Beltek seorang diri.

Tapi, apakah lelaki di sebelahnya ini benar-benar bisa dipercaya?

“Sebelum itu,” putus Kaila akhirnya, tangannya terlipat di dada. “Nama?”

Sebelah alis Fano terangkat. “Bukannya gue udah sering ngasih tahu? Fano.”

Kaila memutar bola matanya. “Maksud gue, nama lengkap.”

“Oh,” Fano terkekeh. “Grifano Adrian. Ini harus sambil jabat tangan, nggak?”

Kerutan segera terbentuk di kening Kaila. Ia sadar sejak awal ia memang tidak terlalu menyukai sikap sok akrab Fano. Terkesan sok asik, begitu menurut Kaila. Namun, untuk hari ini saja, gadis itu terpaksa menahan diri dan menerima tingkah laku aneh lelaki di hadapannya.

“Nggak perlu,” tolak Kaila, sembari menggeleng. “Perlunya sambil ngeluarin KTP. Mana?”

“Anjrit!” Fano tertawa keras hingga sepasang matanya menyipit hilang. “Buat apaan?”

“Mau liat, lo jujur apa bohong,” sahut Kaila cepat, menelengkan kepala. “Mana, buruan!”

Fano berdecak, masih setengah tertawa. Tangannya lantas merogoh saku belakang jinnya, meraih dompetnya dari sana. “Nih.”

Lelaki itu mengangsurkan kartu identitasnya, yang segera diterima Kaila dan diperhatikan dengan seksama. Kaila memindai setiap informasi yang tertera di kartu berukuran 8 x 3 sentimeter itu. Nama yang tertulis sama dengan yang didengarnya beberapa saat lalu. Grifano Adrian, usianya empat tahun lebih tua dari Kaila–satu fakta yang membuat Kaila mengerutkan kening cukup dalam, bertempat tinggal di daerah Jakarta Selatan. Diam-diam, Kaila menyimpan informasi alamat itu baik-baik dalam kepala, kemudian mengembalikan kartu tersebut pada sang pemilik.

“Udah interogasinya?” tanya Fano kala menerima kartu identitasnya kembali.

Kaila lantas menggeleng. “Jurusan?”

“Koridor 4B.”

“Bukan jurusan TransJakarta!” Kaila mendelik kala tawa Fano menguar di udara. “Jurusan kuliah.”

“JIP,” sahut Fano santai.

“Ilmu Perpus?” selidik Kaila, memastikan.

Yang ditanya mengangguk ringan. “Ini kenapa pertanyaannya jadi pribadi? Bentar lagi lo bakal nanya nomor sepatu, ukuran baju, nomor tel–”

“Nggak bakal,” potong Kaila disertai dengkusan. “Ini cuma jaga-jaga biar kalo lo macem-macem, gue tahu harus ngelaporin siapa.”

Fano mengerling. “Okay. Jadi, udah selesai?”

“Sementara udah,” gadis itu menghela. “Now, if you don’t mind,” ia menoleh pada motornya, membuat Fano melakukan gerakan yang sama. “Tolong ....” cicit Kaila dalam suara pelan.

Tawa renyah itu terdengar lagi, dalam volume lebih pelan. Tanpa bicara lebih lanjut, Fano melangkah mendekati motor Kaila lalu menaikkan standarnya. Pandangan keduanya bertemu, menyebabkan Fano mengedik samar, seolah meminta Kaila berjalan lebih dulu.

Perjalanan panjang itu terasa jauh lebih panjang dari yang seharusnya, setidaknya menurut Kaila. Meski Fano berulang kali berusaha mencairkan suasana, Kaila masih merasa canggung. Bagaimana bisa ia semudah itu meminta pertolongan pada seseorang yang bahkan belum benar-benar dikenalnya?

“Lain kali sering-sering di-tune up, Neng, motornya,” ledek Fano setelah ia memarkirkan motor gadis itu di tempat yang ditunjukkan montir bengkel beberapa saat lalu. Ia kemudian duduk di sebelah Kaila, satu tangannya mengusap peluh di dahi, lalu beralih mengipasi dirinya sendiri.

“Mau tisu?” tawar Kaila, disambut gelengan Fano.

“Nggak usah,” tolaknya. “Nama aja.”

“Hah?”

Lelaki itu lantas terkikik pelan. “Gue mau nama lo aja. Atau, masih belom boleh? Ya, kalo belom juga nggak pa-pa, sih. Lucu aja–”

“Kaila.”

“Apa?”

“Nama gue,” Kaila menghela napasnya. “Kaila.”

Tidak ada tanggapan. Yang Kaila dapati kala ia menoleh mencari reaksi Fano hanyalah figur lelaki itu, tengah mengangguk khidmat sembari mengulum senyum.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status