“Dari mana lo?”
Pertanyaan itu menyambut Kaila segera setelah ia melangkahkan kaki berniat melintasi ruang tamu. Kaila tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara. Namun, karena refleks, gadis itu menoleh juga, membuatnya bertemu pandang dengan Kaisar.
Kaila tidak langsung menjawab. Gadis itu memberi jeda demi menatap Kaisar dengan sorot tidak suka. Raut serta nada suaranya tetap datar ketika kemudian ia menyahut, “Bukan urusan lo.”
Kaisar lantas menghela. Kedua orang tua mereka tengah berada di ruang tengah, hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka sekarang. Memancing emosi Kaila hanya akan menciptakan huru-hara yang mungkin dapat berakibat panjang. Ia tidak menginginkan keributan apa pun. Apalagi jika sampai menyebabkan masalah sepele ini diketahui orang tua mereka. Tapi bagaimana pun, Kaisar penasaran. Karenanya, berusaha berpikir masa bodoh, lelaki itu bangkit dari duduknya lalu bertanya dengan nada setenang mungkin.
“Ayo bikin perjanjian.”Kalimat datar itu tanpa aba-aba. Tanpa pendahuluan atau pembukaan yang ramah. Dilontarkan padanya segera setelah pintu kamarnya terbuka tanpa permisi. Membuat Kaisar mengernyit tidak suka lalu melepas sebelah earphone di telinganya."Bisa, nggak, kalo masuk kamar orang itu ketok pintu dulu?" tanyanya, memandangi sosok yang kini berdiri di ambang pintu.Kaila Rashi. Kakak yang lahir tiga belas menit lebih awal darinya."Udah," jawab Kaila pendek, kepalanya menoleh ringan lalu mengedik pada pintu yang terbuka di belakangnya. "Gue udah ketok tiga kali. Kalo lo nggak denger, bukan salah gue."Kaisar mendengkus. Ini khas Kaila. Keras kepala, tidak mau dibantah, menjengkelkan. Sadar perdebatan ini tidak akan menemukan titik terang jika Kaisar menjadi sama keras kepalanya, ia mengalah. Meninggalkan posisi rebahnya di kasur, lelaki itu bangkit duduk. Sepasang earphone-nya sudah terlepas penuh dari kedua
Bertahun-tahun sudah berlalu sejak permintaan Kaila pada Kaisar waktu itu. Keduanya telah tumbuh jauh meninggalkan masa lalu. Juga, meninggalkan satu sama lain.Pada akhirnya, rencana Kaila semasa SMA tidak berjalan mulus. Rahasianya dan Kaisar hanya bertahan selama satu semester penuh. Semua terkuak begitu saja di hari pembagian rapor kala mamanya sampai di kelas Kaisar setelah selesai mengambil rapor milik Kaila."Loh, Tante mamanya Kaila?" tanya si penjaga meja absensi kelas Kaisar ketika tanpa sengaja membaca nama Kaila Rashi Nismarasati di rapor yang dibawa ibu-ibu yang sedang membubuhkan tanda tangan di kertas absensi di hadapannya. Mata si penjaga—yang merupakan teman ekstrakulikuler Kaila—itu lantas mengikuti arah tangan sang ibu-ibu, tanpa sadar mencari tahu di sisi nama siapa tanda tangan beliau dibubuhkan.Kaisar Aji Ragimandala."Iya. Papanya nggak bisa ikut, jadi Tante deh, yang ngambil rapor dua-duanya."Jawaban itu ramah,
“Girls, gue balik duluan, ya,” pamit Resya setelah sempat berkutat memeriksa ponselnya. Satu tangan gadis itu melambai ke arah para sahabatnya sementara satu yang lain masih memegang ponsel yang mendadak bergetar.“Buru-buru amat, udah ditungguin Mas Pacar?” goda Ilma sembari membalas lambaian Resya.Resya hanya tertawa kecil. Ia sudah bangkit berdiri kala matanya menangkap tatapan Kaila mengarah padanya. Tawa Resya lantas berubah menjadi cengiran.“Mana Mas Pacar, kenalin ke kita, dong, Re. Biar bisa nongki bareng sekalian gue ospek,” celetuk Kaila, nadanya bercanda. Namun, diam-diam, gadis itu memang penasaran perihal jati diri dari kekasih sang karib. Pasalnya, sudah tiga bulan berjalan sejak Resya sering kali pamit pulang lebih awal ketika mereka sedang bersama, seolah memang ada orang lain yang juga memenuhi waktunya—seseorang yang tidak Kaila dan Ilma ketahui. Tiap kali menerima pertanyaan, Resya tidak per
Zaki baru saja keluar dari kamar mandi kala ia mendengar pintu kamarnya diketuk perlahan. Mulanya, ia ragu. Ketukan itu terlalu lemah hingga membuat Zaki hampir merasa ia hanya salah dengar. Namun, di tengah suasana yang hening, suara itu justru semakin kentara.“Siapa?” Zaki memberanikan diri bertanya. Seingatnya, tidak ada teman yang bilang akan berkunjung malam ini.Rumah indekos Zaki lebih mirip bangunan rumah kontrak. Kamarnya terletak di baris paling depan dari pagar masuk, merupakan kamar pertama yang paling dekat dengan pintu pagar. Di barisnya, hanya ada tiga kamar. Zaki mengenal para penghuni dua kamar di sebelahnya. Yang satu seorang karyawan swasta, baru akan pulang di atas jam sembilan malam. Sedangkan pemilik kamar paling kanan merupakan mahasiswa baru yang tadi sore berpapasan dengannya saat ia pulang. Seingat Zaki, anak itu bilang akan menginap di indekos teman. Kecuali itu seseorang dari kamar di baris dalam—yang sudah pasti tidak ter
“LO SEMALEM NGINEP DI KOSAN–” Resya menutup mulut lalu melirik sekeliling. Tubuhnya merunduk sedikit. “–Zaki?”Kaila memutar bola matanya malas sementara Ilma memukul lengan Resya, menyuruhnya diam. Ketiganya sedang berada di ruang baca lantai dua perpustakaan pusat. Tidak seperti ruang diskusi yang cukup ramai, ruang baca cenderung sepi di siang hari. Selain rak-rak buku besar yang menjulang hingga atap, tidak ada orang lain di sekitar mereka sejauh mata memandang. Kecuali mungkin, di balik salah satu rak buku itu.“Anjrit,” Resya bertepuk tangan girang, membuat Ilma memelototinya garang. “Sumpah, Kai? Zaki yang itu?”“Zaki yang itu,” jawab Kaila malas.“Zaki Satria?”“Zaki Satria.”“Bahan bagus, nih, buat gosip hangat FE,” gadis itu menyahut, cepat menyambar ponsel lalu menyalakan layarnya. Resya mendadak sibuk dengan ponselnya hingg
Kaisar bergerak gelisah dalam duduknya. Jemarinya berulang kali mengetuk meja kantin, tatapannya bergerak pada Zaki sebentar, lalu menghindarinya lagi. Itu terjadi berulang kali hingga tanpa sadar, Zaki turut merasa gelisah dan mengusap belakang lehernya canggung.“Sar ....”Kaisar bangkit berdiri, abai pada panggilan Zaki atas dirinya. Lelaki itu kemudian berbalik menghadap sang kawan, sorot matanya sulit diartikan. “Siapa aja yang tahu?” tanyanya.Zaki menghela. “Lo, gue, Ila.”Kaisar lantas mengembus lega. Ia kembali duduk dalam satu gerakan cepat, tubuhnya condong, merapat pada Zaki. “Beneran cuma kita bertiga?”“Tadinya cuma gue sama Ila, malah,” Zaki menelengkan kepalanya. “Tapi daripada lo denger dari orang, atau gue nggak sengaja keceplosan di masa depan terus lo salah paham, ya mending gue kasih tahu sekarang, lah.”Hening. Kaisar memandangi kawannya lekat-lekat
“Lo nggak lihat orangnya?”Pertanyaan itu terlontar santai, diselingi perebutan kemasan Cheetos antara Kaisar dan Fahril. Namun, bagaimana pun, Zaki tahu kawannya baru saja bertanya serius. Meski demikian, ia terpaksa menggeleng.“Nggak. Pas gue nengok, bis dateng. Heboh, dah, tuh, sehalte.”Terdengar suara Cheetos dikunyah. Disusul suara berisik yang aneh. Zaki lantas menoleh, menemukan dua kawannya yang masih berperang memperebutkan kemasan makanan ringan yang isinya hampir habis itu. Ia lalu mendengkus. “Ngapain, sih, kampung. Beli lagi sono di Indomaret depan. Timbang Cheetos lima ribu lebih dikit aja berantemnya sampe ngotorin kosan gue.”Baik Kaisar dan Fahril lekas melepaskan pegangan masing-masing dari kemasan makanan ringan tadi. Membiarkan bungkusan itu jatuh ke lantai dan isi remahannya berceceran, membuat Zaki mengerang frustrasi.“Iya, iya, nanti sebelum balik gue nyapu dulu,” celetuk Fah
“Baru pulang, Sar?”Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak