Share

Situasi Darurat

“Baiklah, saya menghargai privasi Anda. Satu hal yang harus saya katakan, saya lupa tadi menyampaikannya, bahwa pasien saat ini sedang mengandung janin berusia sekitar enam minggu.”

“A-apaa? Hamiiil?” Rangga menatap wajah dokter itu dengan ekspresi terkejut bukan main.

“Ya, itu saja yang ingin saya sampaikan. Permisi!” Dokter itu kemudian berdiri dan berlalu meninggalkan Rangga yang masih terkejut dengan informasi yang baru saja didengarnya.

Pria itu masih duduk tepekur dikursi, bergelut dengan pikirannya sambil menunggu Zaldi menyelesaikan urusan administrasi. Jelas sekali terlihat wajah kusutnya, seakan tengah menyimpan beribu beban dipundaknya.

“Ga, Aku sudah menyelesaikan semuanya. Wanita itu sedang dalam proses persiapan pemindahan perawatan,” beber Zaldi yang tiba-tiba saja sudah duduk bersama Rangga.

Zaldi yang melihat sahabatnya itu hanya diam tanpa menunjukan ekspresi apapun, merasa heran. Tak biasanya Rangga mengacuhkan ucapan dirinya seperti saat ini.

“Ada apa lagi, Ga?” Zaldi bertanya dengan pelan, takut membuat Rangga bertambah buruk suasana hatinya.

“Wanita itu hamil, Zal.” Rangga melontarkan pernyataan yang membuat Zaldi tersentak.

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Membatalkan semuanya?”

“Tidak! Lakukan seperti yang kubilang tadi, Aku hanya terkejut. Itu saja!”

Kemudian keduanya terdiam, larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga seorang perawat menghampiri mereka, mengatakan bahwa pasien sudah siap dipindahkan.

Akhirnya mereka berdua pun mengikuti langkah perawat itu menuju mobil ambulance yang akan membawa wanita itu ke sebuah rumah sakit terbesar dikota.

***

Sementara itu di rumah sakit AMINAH, nampak kesibukan seperti biasanya. Namun ada yang berbeda kali ini, tiga orang dokter specialis andalan yang berada di rumah sakit tersebut secara mendadak dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Hanya dokter jaga yang tetap siaga di ruang IGD, beserta perawat yang memang berdinas malam.

Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, terdengar raungan mobil ambulance memasuki pelataran rumah sakit, kemudian berhenti tepat di depan ruang IGD. Dan saat bersamaan pula, Zaldi dan Rangga menghampiri sebuah brankar tempat wanita yang ditemukannya dipinggir jalan berada.

“Bawa pasien ini ke ruang ICU segera, berikan tindakan yang diperlukan. Kamu! Saya minta awasi perkembangannya setiap saat, dan laporkan kepada saya segera!” Zaldi menunjuk dan berbicara pada salah satu dokter yang bertugas, kemudian ia menarik lengan Rangga agar mengikuti dirinya.

Zaldi dan Rangga masuk ke dalam ruang rapat khusus dokter, kemudian tanpa basa-basi langsung memberikan data pasien yang ia bawa dari rumah sakit semula pada semua dokter yang berada di sana.

“Ini! Wanita ini adalah salah satu korban kekerasan yang dilakukan oleh orang yang tak bertanggung jawab, saya minta kerjasama kalian dalam menangani pasien tersebut. Lakukan tindakan apapun yang diperlukan agar wanita itu kembali pulih. Dan berikan pelayanan terbaik kalian untuknya, jangan buat kami kecewa!” Zaldi memberikan instruksinya dengan ekspresi dingin, membuat semua dokter yang berada di sana semakin merasa segan untuk menolak.

“Dan satu hal lagi. Rahasiakan keberadaan pasien tersebut, jika ada yang berkhianat, jangan harap masih bisa melihat matahari terbit!” Zaldi dan Rangga kemudian berlalu meninggalkan ruangan itu menuju ruang pribadi Zaldi.

“Sudahlah, wanita itu sudah berada di sini sekarang. Istirahatlah di sofa itu, dan ini, minumlah!” Suara datar Zaldi terdengar menyarankan Rangga agar beristriahat, seraya menyodorkan sebuah minuman soft drink padanya.

“Thanks,” jawab Rangga lemah, nyaris tak terdengar sembari menerima yang diberikan sahabatnya itu. Zaldi pun memaklumi kondisi sahabatnya yang sedang kacau pikirannya, kemudian ia pun duduk di kursi tempatnya bekerja.

“Istirahatlah Ga, kamu membutuhkannya sekarang agar otakmu tetap waras. Biarkan malam ini aku yang akan menjaga wanita itu, aku akan bangunkan kau jika sesuatu terjadi padanya.” Zaldi kembali mengingatkan,

Rangga pun tak hendak membantah ucapan sahabatnya. Karena sebenarnya, dirinya pun merasakan badannya sudah tak memiliki tenaga lagi. Maka tanpa bicara lagi Rangga pun merebahkan tubuhnya di sofa panjang, tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari mulutnya. Zaldi pun beranjak mengenakan jas dokternya, kemudian meninggalkan sahabatnya terbuai sejenak di alam mimpi.

Saat Zaldi baru saja menutup pintu ruangannya, tergopoh-gopoh seorang perawat memberitahunya bahwa kondisi wanita itu memburuk. Tak ayal mendengar kabar tersebut, Zaldi mengambil langkah seribu untuk segera sampai di ruangan tempat wanita itu berada.

Dengan napas terengah-engah, Zaldi langsung menggunakan pakaian khusus yang digunakan untuk masuk di ruang ICU. Setelah selesai, langsung masuk dan menanyakan kondisi pasien pada dokter yang ada di ruangan tersebut.

“Bagaimana kondisi pasien?” Zaldi langsung bertanya.

“Pasien mengalami sesak napas, dengan detak jantung lemah. Tensi darah pun jauh diambang normal, bahkan Hb-nya pun hanya diangka lima. Perawat sedang mengambilkan persediaan darah, dan juga alat cardiograph untuk memantau detak jantung pasien.” Dokter jaga menjelaskan riwayat yang dialami pasiennya.

“Baiklah, kalian semua boleh keluar. Biarkan beberapa orang perawat di sini untuk membantu saya, kerja bagus dan terima kasih.”

Zaldi pun kini mengambil alih pemeriksaan terhadap wanita yang ditolong Rangga, sepenuhnya perhatiannya diberikan untuk membuat wanita itu bisa bertahan. Setelah peralatan serta kantung darah yang disiapkan sudah tersedia, segera Zaldi dengan dibantu perawat melakukan tindakan. Secara perlahan kondisi wanita itu berangsur membaik, meski belum bisa mengembalikan kesadarannya. Namun setidaknya sudah tidak mengalami sesak napas dan detak jantungnya pun kini berangsur normal.

“Lakukan X-Ray dan juga MRI, segera! Dan hasilnya taruh di ruang pribadi saya!” Zaldi berkata pada perawat, dengan sigap perawat melakukan yang diinstruksikannya.

Dokter yang usianya sudah memasuki usia kepala enam itu kemudian berjalan meninggalkan ruang ICU, dengan langkah gontai ia kembali memasuki ruang pribadinya. Nampak Rangga masih terbaring, Zaldi pun ikut merebahkan tubuhnya di sofa lainnya.

Tuut! Tuuut! Tuuut!

Suara telepon di meja kerjanya, menggagalkan keinginan Zaldi untuk sejenak beristirahat.

“Ya?” Suara Zaldi terdengar lemah karena memang dirinya saat ini sangat membutuhkan istirahat.

[ …. ]

“Apaa?”

Kemudian Zaldi langsung membangunkan Rangga tergesa-gesa dengan suaranya yang menandakan kepanikan yang luar biasa.

“Ga, bangun! Wanita itu ….!”

Rangga pun karena dibangunkan dengan cara seperti itu, tentu saja seperti orang linglung dibuatnya.

“Wanita? Wanita siapa Zal?”

“Wanita yang kau tolong itu, sekarang ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status