Share

Kenyataan Yang Mengecewakan

“Apa ini?”

Tertera Zora Intan Prameswari disampul surat, berlogo sebuah klinik kesehatan. Bergegas pria itu membuka surat tersebut, seketika itu pula matanya terbelalak kala ia telah membaca semua yang tertulis dalam surat itu.

“Ya Tuhan! Apa yang sudah kulakukan?” Pria itu terduduk lemas diatas kasur, sembari mengusap wajahnya kasar dan bergumam.

“Jadi, kamu sedang mengandung buah hati kita sayang? Karena itukah, kamu mendesakku untuk segera menikah?” Kembali laki-laki itu mengungkapkan penyesalannya, bahkan kini tanpa ia sadari tetesan air matanya mulai membasahi kedua pipinya.

Wajah tampan nan rupawan itu kini tergugu, kala menyadari kekeliruannya. Semakin lama tangisan itu berubah menjadi raungan yang menyesakkan. Tiba-tiba saja ia bangkit dan berlari menuju balkon tempatnya tadi ia bersantai, seperti orang gila ia mencari-cari serpihan kecil foto mereka yang sudah ia hancurkan, kini dipungutinya satu per satu serpihan itu bersama uraian air mata.

Setelah merasa yakin tak ada lagi serpihan yang tercecer, pria itu melangkah tergesa-gesa dan kemudian setelah duduk, ia menyingkirkan gelas teh dan meletakan serpihan itu di atas meja. Dengan telaten ia mulai bekerja keras menyusun potongan kecil menyerupai puzzle pada sehelai kertas HVS.

Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk dapat menyelesaikan kepingan foto itu kembali jadi satu. Meski hasilnya tak sempurna, setidaknya ia masih memiliki satu-satunya foto dimana itu adalah moment terindah yang pernah mereka miliki bersama.

Dipandanginya foto tersebut, dengan wajah sendu nan sembab. Kenangan indah mereka bersama, berputar kembali di dalam benaknya, seperti mesin proyektor yang sedang menyajikan sebuah film. Tak ada satu hari pun terlewatkan tanpa rasa bahagia saat masih bersama, kecuali dalam dua minggu terakhir ini.

Wanita yang dicintainya tiba-tiba berubah, menjadi pendiam dan tertutup. Sekalinya berbicara, pastilah mendesak agar pria itu menikahinya segera. Tentu saja hal itu membuat sang pria menjadi kesal dan emosi, tak jarang kekasihnya itu mengucapkan beberapa kata yang melukai harga dirinya.

Bukan hendak lari dari tanggung jawab, tapi karena sebuah alasan ia selalu mengulur waktu untuk memenuhi keinginan Zora. Terutama tekanan dari orang terdekatnya, sehingga akhirnya ia gelap mata dan melakukan hal yang akan ia sesali seumur hidupnya.

Braakk!

Terdengar suar pintu ditutup secara kasar, membuat pria itu terlonjak dan nyaris terjatuh dibuatnya. Segera ia mengambil sebuah benda dari dalam laci nakas di kamarnya, kemudian segera berlari menuju ruang depan. Namun baru saja sampai di ruang keluarga, langkahnya terhenti melihat serang wanita yang dikenalnya sekaligus kini membencinya.

“Apa yang kamu lakukan disini?”

“Aku? Apa yang kulakukan di sini? Tentu saja untuk mengambil hakku.” Wanita itu menjawab lugas tanpa basa-basi dengan gayanya yang angkuh.

“Hak yang mana maksudmu?”

“Apa kamu lupa dengan perjanjian yang kita miliki? Bukankah *bl*s itu sekarang sudah m*t*?” Wanita itu menjawab pertanyaan yang diajukan pria yang dihadapannya dengan mendekatkan wajahnya seraya mendesis.

“Jaga mulutmu! Buatku Zora tak pernah m*t*, ia tetap hidup. Jangan pernah berharap ada bagian apa-apa. Karena Zora sudah menguasakan padaku semuanya.” Pria itu menjawab dengan tegas, kini ia berbalik menyerang dengan mencekal kedua rahang wanita itu hanya menggunakan sebelah tangannya. Sementara tangannya yang lain ia gunakan untuk memegang senjata api, dan menempelkannya tepat di kepala wanita itu.

“Dan satu hal lagi, aku mampu melenyapkan wanita yang kucintai. Dan takkan ada masalah untukku, jika kemudian harus membunuhmu juga. Itu hal sangat mudah buatku, camkan itu!”

Setelah berkata seperti itu, ia menghentakan cengkramannya.

“Sekarang pergilah! Jangan pernah kau berani menampakkan wajahmu dihadapanku, atau benda ini yang akan berbicara.” Pria itu mengacungkan senjatanya kemudian berlalu meninggalkan seorang wanita yang tengah sibuk menahan amarahnya karena merasa tujuannya tak berhasil.

‘Aku takkan mengalah, Adi. Takkan pernah!’

***

Sudah hampir satu minggu berlalu sejak Rangga menemukan seorang wanita yang tergeletak tak berdaya di pinggir jalan. Selama itu pula dengan sabar, ia meluangkan waktunya di rumah sakit, bahkan tak jarang sampai menginap di sana.

Entah mengapa hatinya merasakan ada sesuatu antara dirinya dengan wanita yang saat ini masih terbaring tak berdaya di dalam sana. Seringkali perasaannya menjadi tak tenang, gelisah, jika dirinya sampai tak sempat mengunjunginya. Itu sebabnya, selarut apapun dan selelah apapun kondisinya, ia akan sempatkan untuk sekedar melihat wajahnya, meski wajah itu masih terbalut kain kasa seluruhnya.

Sejauh ini perkembangan wanita itu cukup baik, semuanya menunjukan baik-baik saja. Kandungannya pun tak ada masalah sedikitpun. Hanya tinggal menunggu kesadarannya kembali, dan kemudian dilihat tindakan apa yang harus dlakukan setelahnya.

Dan malam ini pun Rangga baru saja meletakan bokongnya di sebuah kursi tunggu, saat sebuah tangan menepuknya dari samping.

“Baru datang, Bro?” Sebuah sapaan mengejutkan Rangga dari lamunannya.

“Ah kau Zal, bikin kaget saja.”

“Hanya tinggal menunggu dia siuman saja, Ga. Dan semuanya akan terungkap, dan kamu sudah bisa menghubungi keluarganya. Setelah itu bisa kembali fokus dengan rutinitasmu,” tutur Zaldi mengajak bicara sahabatnya.

“Yah, aku tahu Zal. Hanya saja entah kenapa, kamu bilang seperti itu, ada yang berdenyut di dalam sini,” ujar Rangga menunjuk dada kirinya dengan lengannya.

“Kamu yakin, kalau baru mengenal wanita itu? Belum pernah bertemu dengannya sebelum kejadian perampokan itu?” Zaldi bertanya serius menatap sahabatnya lekat.

“Aku yakin Zal, dan yang aku heran, akhir-akhir ini aku sering bermimpi didatangi putraku. Seolah dalam senyumnya, ada yang hendak disampaikan. Entahlah, mungkin karena aku terlalu merindukannya, hingga aku sering berkhayal dan memimpikannya,” desah Rangga, ucapannya sarat akan rindu yang sangat kepada putra satu-satunya.

“It’s gonna be ok, Bro. Believe me!” Sahabatnya itu sangat mengerti dengan apa yang Rangga rasakan saat ini.

Di usianya sekarang, Rangga memang kurang beruntung. Dalam berkarier serta urusan bisnis, teman yang sudah ia kenal sejak bangku SMA itu, tak perlu diragukan kemampuannya. Hanya saja mengenai urusan pribadinya, bisa dibilang memprihatinkan. Istrinya sudah lebih dulu meninggal, tak lama setelah melahirkan putranya. Sejak saat itu Rangga melakukan semuanya sendiri, meski orang tuanya berulangkali menjodohkannya dengan beberapa wanita. Tapi karena stigma ibu tiri yang cenderung kejam, maka Rangga tak ingin jika putranya mengalami hal yang buruk.

Terlebih saat putranya sudah beranjak dewasa, ia sangat selektif sekali memilih wanita yang akan menjadi menantunya. Segalanya ia pertimbangkan, hanya karena sudah terbiasa memberikan yang terbaik untuk seorang Hendrick Pangestu, putra kebanggaannya.

Namun semua mimpi dan harapannya lenyap, saat suatu hari Hendrick memberikan sebuah kenyataan yang membuat Rangga sangat murka. Dan hal inilah yang disesalinya hingga kini ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status