Lingga yang habis kesabarannya melesat ke arah Susena dan langsung meninjunya.
Bammm Susena terpental mengenai dinding. Namun dia masih baik-baik saja karena Lingga tidak mengeluarkan segenap tenaganya. "Aku berbaik hati kepada bajingan sepertimu namun kamu berani menghina ibuku." Lingga tidak lagi peduli dengan keluarga wirajaya. Susena tersenyum, bahkan setelah menerima tinju dari Lingga. Dia menyeka darah yang keluar dari bibirnya. "Kamu hanya beruntung karena aku tidak waspada. Apa kamu marah padaku? Ibumu memang pelacur murahan." Lingga yang sangat murka tiba-tiba sudah berada di hadapan Susena. Dia mencekiknya kemudian langsung memukuli wajahnya. Bammm Bammm Bammm "Apa kamu sudah bersikap waspada?" tanya Lingga sambil terus memukulinya. Susena berteriak kesakitan menerima setiap pukulan dari Lingga. Dia tidak berdaya menghadapinya dan dalam waktu singkat mukanya babak belur dan mengeluarkan banyak darah. Sekarsari dan Bagaswara hanya bisa terdiam menyaksikan Lingga. Mereka tidak dapat berkata-kata melihat kekejamannya. Bagaimana tidak? Muka Susena berlumuran darah dan tidak dapat lagi dikenali. Susena merangkak dan merangkul kaki Lingga. "Ampuni aku! Tolong jangan pukuli aku lagi!" "Berlututlah dan menggonggong seperti anjing!" perintah Lingga. Susena yang sudah tidak tahan segera berlutut dan menggonggong, "guk ... guk ... guk ...." Lingga mengelus kepala Susena. "Anak yang baik." "Aku sudah melakukan apa yang kamu minta. Izinkan aku pergi!" pinta Susena. "Tapi orang sepertimu masih perlu diberi pelajaran," balas Lingga sambil menarik lengan kanan Susena lalu memelintirnya. Krakkk Suara tulang retak terdengar cukup nyaring menandakan jika lengan kanan Susena telah patah. "Aaaa." Susena berteriak kesakitan sambil berguling-guling di lantai. "Itu karena kamu telah menghina ibuku," ucap Lingga kemudian menarik lengan kiri Susena dan kembali memelintirnya. Krakkk "Dan itu karena kamu sangat arogan." Susena berteriak semakin kencang karena kedua lengannya kini patah. Dia merintih dan terus merintih kesakitan. "Enyah dari sini!" usir Lingga setelah merasa puas menyiksa Susena. Dengan menahan sakit, Susena bangkit dari lantai kemudian dengan tergopoh-gopoh segera berlari keluar dari kediaman bagaswara. Bagaswara mencoba menenangkan diri. Dia tidak menyangka Lingga berani membuat masalah dengan keluarga wirajaya. "Keluarga wirajaya tidak akan tinggal diam, kita lebih baik pergi meninggalkan kota mawar putih." Bagaswara bermaksud melarikan diri dari kota mawar putih beserta seluruh keluarga besarnya yang berjumlah sekitar tujuh puluh orang. "Sudah terlambat, keluarga wirajaya tidak akan membiarkan keluarga kita keluar dari kota," sahut Sekarsari. Bagaswara hanya menghela nafas. Perkataan putrinya memang benar. "Sekarsari,,, cepat suruh pamanmu bersiap menghadapi serangan keluarga wirajaya!" Bagaswara memutuskan berjuang sampai titik darah penghabisan karena perang adalah jalan satu-satunya. "Baik," jawab Sekarsari kemudian pergi meninggalkan ayahnya dan Lingga. "Paman,,, aku akan bertanggungjawab dan akan menghadapi keluarga wirajaya seorang diri." Lingga sudah siap dengan konsekuensi yang akan dia hadapi. "Keluarga wirajaya memiliki lima puluh seniman beladiri yang hebat. Aku tidak yakin kamu mampu menghadapi mereka seorang diri," balas Bagaswara. "Paman bisa menyalahkanku atas kejadian ini." Lingga tidak ingin keluarga bagaswara ikut bertanggungjawab atas apa yang telah dia lakukan. Jika Bagaswara menyalahkannya, keluarga bagaswara mungkin masih bisa selamat. "Nasi sudah menjadi bubur, dan keluarga bagaswara memilih melawan keluarga wirajaya. Aku juga sudah muak dengan mereka yang bertindak semena-mena." Tidak berapa lama, Sekar kembali dengan tiga pamannya dan tiga puluh orang dari keluarga bagaswara yang siap berperang. "Kakak, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kita harus menghadapi keluarga wirajaya?" tanya adik Bagaswara yang bernama Candramani. "Pemuda ini telah menganiaya Susena." Bagaswara melirik Lingga. "Namun, aku juga sangat kesal karena Susena memaksa Sekarsari untuk menjadi anjing penghiburnya. Keluarga wirajaya telah menginjak-injak harga diri kita," lanjutnya. "Jika kakak memilih melawannya, kita akan berjuang meskipun kematian adalah hasilnya." Candramani menyadari melawan keluarga wirajaya adalah hal yang sangat mustahil. Namun dia akan selalu mendukung kakaknya, begitupun dengan anggota keluarga yang lain. Lingga merasa keluarga bagaswara adalah keluarga yang baik. Mereka memilih melawan keluarga wirajaya dan tidak menyalahkannya demi keselamatan keluarga mereka. "Memang sehebat apa keluarga wirajaya?" tanya Lingga. Bagaswara menatap Lingga. "Mereka sangat kuat, melawannya sama saja kehancuran bagi keluarga kita. Nak, pergilah bersama Sekarsari dan selamatkan diri kalian!" "Aku tidak akan pergi, aku akan mencoba melawan mereka seorang diri." Meskipun Lingga belum mengetahui kekuatan keluarga wirajaya, dia sangat yakin dengan kemampuannya. "Anak muda, aku mengagumi keberanianmu, namun kamu terlalu melebihkan kemampuanmu." Candramani menganggap Lingga hanya membual dan beromong kosong. "Ayah, paman, Sekarsari juga akan tetap berada disini! Jika keluarga kita musnah, kita akan mati bersama-sama." Sekarsari tidak ingin melarikan diri. Dia lebih memilih mati bersama-sama daripada harus hidup tanpa keluarga. Lagian, melarikan diripun percuma. "Tidak ada satupun dari keluarga kita yang dapat kabur dari keluarga Wirajaya." Candramani tidak membantah Sekarsari. "Baiklah." Bagaswara akhirnya hanya bisa pasrah. "Lebih baik kita segera bersiap!" perintahnya. Sementara itu, Susena telah sampai di kediamannya. Dia langsung mengadu kepada ayahnya, Wirajaya. Wirajaya yang naik pitam segera memanggil orang kepercayaannya yang dijuluki Si Mata Satu. "Tuan, ada apa kamu memanggilku?" tanya Si Mata Satu. "Segera kumpulkan seluruh pasukan keluarga wirajaya! Kita akan meratakan keluarga bagaswara," perintah Wirajaya. Si Mata Satu mengerutkan alis. "Tidakkah berlebihan mengumpulkan seluruh pasukan? Keluarga bagaswara hanyalah keluarga kecil, lima orang saja sudah cukup untuk meratakan mereka." "Ikuti saja perintahku! Ini sekaligus pelajaran untuk keluarga lain agar tidak berani menyinggung keluarga wirajaya," kata Wirajaya. "Baik tuan," jawab Si Mata Satu kemudian pergi meninggalkan Wirajaya. Selang beberapa saat, Si Mata Satu kembali menghadap. "Tuan, lima puluh pendekar sudah siap meratakan keluarga bagaswara."Setelah menyantap hidangan, Lingga memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan berpamitan kepada kepala dan tetua desa. Dia harus segera menuju ke kota awan perak agar tidak tertinggal mengikuti turnamen. Jarak antara desa banyu biru dengan kota awan perak sudah sangat dekat, mungkin butuh waktu sehari untuk sampai kesana. Setelah melesat selama sehari, Lingga akhirnya sampai di kota awan perak. Dia mengagumi keindahan kota dimana banyak bangunan-bangunan megah yang berdiri tegak. "Tuan, apa ada kamar yang kosong?" tanya Lingga setelah memasuki sebuah penginapan. "Penginapan kami telah penuh," jawab pemilik penginapan. Kota awan perak sangat ramai, baik dari kalangan peserta turnamen ataupun pengunjung. Hal itu membuat penginapan-penginapan penuh sesak. Linggapun akhirnya keluar untuk mencari penginapan yang lain. "Huh, penginapan disini semuanya penuh, apa tidak ada lagi yang kosong?" desah Lingga setelah memasuki beberapa penginapan tapi tidak kunjung juga memperolehnya.
Lingga terus mencoba mempraktikkan tarian pedang poenik. "Terlihat indah, namun sulit dipelajari," desahnya. Setelah seratus kali mencoba, Lingga akhirnya dapat menguasai jurus pertama amukan pedang poenik tersebut. Itu adalah sebuah prestasi yang sangat memukau, bahkan kultivator hebat belum tentu dapat menguasainya dengan cepat. Setelah mahir memperagakan jurus pertama, sebuah lukisan kembali muncul. 'Poenik Melawan Langit.' Itulah jurus kedua yang harus Lingga kuasai yang tertera di dalam lukisan. Sebuah bayangan tiba-tiba kembali keluar dari dalam lukisan. Bayangan itu lalu mempraktikkan jurus kedua yaitu Poenik Melawan Langit. "Jurus apa itu?" Lingga melongo melihat Poenik Melawan Langit. Bayangan di hadapannya melompat tinggi ke udara, kemudian kembali ke daratan sangat cepat hingga terjadi suara menggelegar saat pedang itu mengenai lantai. Bommm Suara dentuman itu membuat telinga Lingga seolah terkoyak, namun Lingga berhasil mengatasinya. Itulah jurus Poenik Melaw
Lingga yang penasaran mendekat dan menghadap pemuda bertopeng serigala. "Saudara, apa yang akan kamu lakukan dengan perawan desa?" Pemuda bertopeng serigala seketika menjadi sangat marah. Dia tidak ingin ada yang membantah maupun menanyakan tentang perintahnya. Sementara warga desa sendiri sudah mengetahui jika perawan desa akan dijadikan budak di sekte serigala hitam. Wusss Pemuda bertopeng serigala itu langsung melompat ke arah Lingga. Dia berniat membunuhnya untuk dijadikan contoh agar warga desa tidak menentangnya. "Berani sekali kamu bertanya?" katanya sambil melesatkan tinju. Kepala desa dan warga desa hanya dibuat semakin takut melihat kemarahan pemuda bertopeng serigala. Mereka bisa saja dibunuh karena tingkah Lingga. "Darimana datangnya pemuda itu? Berani sekali dia ikut campur dengan urusan desa," gumam kepala desa. Kepala desa dan warga desa menganggap Lingga akan mati karena pemuda bertopeng serigala mengerahkan segenap kemampuannya meninju Lingga. Namun, L
Dengan kecepatannya, beruang hitam mengejar tubuh Lingga yang baru saja terlempar. Saat sudah dekat, dia berusaha mencabiknya dengan kedua cakarnya. Lingga tentu tidak tinggal diam, dia berguling untuk menghindar sehingga cakar beruang hitam mengenai pohon. Lingga tersenyum kecut melihat pohon kokoh dan besar tercabik dan hancur berkeping-keping terkena cakar beruang hitam. "Terlambat sedikit saja menghindar, mungkin akulah yang akan hancur seperti pohon itu." Cakar beruang hitam itu tidak ubahnya seperti sebuah pedang yang sangat tajam. Ketajamannya bahkan mampu menghancurkan bebatuan yang sangat keras. Lepas dari cengkraman sang beruang, Lingga mengalirkan tenaga dalam kedalam kepalan tinjunya. "Tinju Auman Singa." Dia meninju bagian belakang beruang itu. Beruang hitam tampak tidak terpengaruh sedikitpun, masih berdiri tegak di tempatnya berada. Hal itu membuat Lingga kaget mengetahui kekebalan beruang hitam itu. Beruang hitam itu menengok ke belakang kemudian membabi bu
Lingga berniat meningkatkan teknik dasar beladirinya dengan menghadapi singa buas. Dia langsung bersiap mengepalkan tangannya, akan mencoba menghadapinya dengan tangan kosong. Singa buas itu berbalik arah kemudian berlari sangat cepat ke arah Lingga. Saat sudah berada dekat dengan Lingga, dia melebarkan mulutnya seolah hendak memakannya. Dengan tumpuan kaki, Lingga menghentak ke tanah kemudian melesat menyambut singa buas dengan kepalan tinjunya. "Tinju Auman Naga." Lingga meneriakkan nama jurus secara asal. Saat kepalan tinju Lingga hendak mengenai kepala singa buas, singa itu bergerak ke kiri dengan gesit dan cekatan sehingga tinju Lingga hanya mengenai angin kosong. Lingga menghentikan langkahnya kemudian berbalik arah menghadap sang singa, begitupun dengan singa itu yang sudah kembali menghadap Lingga. "Sial, aku sudah mengumpulkan tenagaku untuk meninjunya tapi dia menghindarinya," gerutu Lingga. Goarrr Singa buas meraung, mukanya tampak lebih menyeramkan dari seb
Lingga tidak pergi meninggalkan kota daun emas, tetapi kembali ke penginapan. Dia akan berkultivasi dan memperbanyak lagi energi qi yang telah terkuras habis. Sementara itu, walikota menyuruh para prajurit kota mengurusi mayat-mayat yang tewas, begitupun dengan mayat Adiprana, Gana dan Jaka. Setelah sampai di penginapan, Lingga duduk dengan posisi lotus dan mulai menyerap energi qi. Sehari, dua hari, tiga hari Lingga terus berkultivasi. Energi qi dalam dantiannya kini telah bertambah semakin banyak sebesar kepalan tangan. Hal itu perlu dibanggakan dan Lingga bisa dikatakan sebagai pemuda yang sangat jenius. Kultivator pemula bahkan bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk melakukan seperti yang Lingga lakukan. Duarrr Ledakan spiritual tiba-tiba terjadi, hal itu menandakan jika Lingga berhasil mencapai tingkat pelatihan qi tahap pertama. Lingga tersenyum menyeringai. "Akhirnya aku berhasil, ternyata seperti ini rasanya menjadi kultivator pelatihan qi tahap pertama." B