Manusia adalah makhluk paling menjijikan.
Rasa-rasanya semua yang ia bicarakan benar adanya. Orang-orang di sekitar dirinya dengan menjijikan membuat dirinya seperti ini. Dasar yang ia punya kuat hingga ia berani mengatai seperti ini.
Delisha memang belum dewasa dan masih anak-anak, tapi ia akan ditempah untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Ia harus bersikap dewasa, ia harus menghadapi masalah orang dewasa.
Dan orang yang membuatnya hancur, sekaligus orang itu yang bisa menenangkan dirinya sekarang. Delisha tak tahu, sudah berapa lama ia menangis karena merasa sakit hati. Padahal rencananya ia ingin mengakhiri hidupnya, malah Ayden langsung menarik tubuh kecilnya.
"Aku memang naif, karena tak bisa melawan orang tua aku." Delisha hanya menangis, walau Ayden seperti berusaha menghiburnya. Harusnya gadis itu membenci laki-laki ini, nyatanya ia masih membutuhkan laki-laki ini juga. Orang yang membuat dirimu hancur dan dia juga yang membu
Delisha suka belajar, tapi tidak dengan pelajaran olahraga. Bagaimana dengan keadaannya sekarang ia tidak bebas bergerak. Bagaimana praktik olahraga terakhir sebelum minggu depan melaksanakan ujian nasional, dan Delisha akan fokus pada kehamilannya, dan menyambut kelahirannya, walau ia mungkin akan mengurus semuanya sendirian.Terik matahari begitu menyengat. Delisha masih pakai sweater, walau tubuhnya kecil tapi tubuh ibu hamil dan tidak itu sangat berbeda.Delisha hanya berdoa semoga tidak ada gilirannya, bagaimana mereka harus berlari 15 putaran mengelilingi lapangan basket, dan akan ada sit up 50 kali. Membayangkan saja Delisha akan pingsan duluan, dari dulu ia paling malas berolahraga.Mana namanya termasuk awal sesuai dengan jadwal. Delisha hanya terdiam di bawah pohon Ketapang, melihat teman-temannya buat kelompok dan bergurau bersama.Entah kenapa Delisha begitu takut, jika ketahuan sekarang. Gadis itu menghitung atau pura-pura
Delisha tahu cepat atau lambat semua ini akan tiba, walau ia berusaha menguatkan diri dan meyakinkan berkali-kali jika ia bisa melewati ini semua, tapi rasanya tetap saja membuat jantungnya nyaris copot.Komunikasi terakhir dengan Ayden seminggu yang lalu. Sebenarnya Delisha tak terlalu mengharapkan laki-laki itu, buat apa toh Ayden tidak membantu hanya membuat semuanya makin runyam.Delisha sedang relaksasi mendengarkan musik agar tidak terlalu panik, karena sejujurnya Delisha sudah merasakan keram di perutnya. Gadis itu hanya bolak-balik di kamar takut ketahuan orang rumah karena bagaimanapun, bangkai yang disimpan rapat itu pasti akan tercium.Delisha sering melihat video melahirkan. Ia cemas, takut, panik, semua perasaan bercampur karena ia benar-benar akan melahirkan sendirian.Gadis itu terduduk di kamarnya, sekarang ia tak memakai pakaian apa hanya dalaman. Delisha terdiam mematung di depan cermin melihat pantulan dan mengel
Tak perlu berbasa-basi agar diterima oleh orang lain, karena Delisha tahu takkan ada yang menyukai dirinya.Tubuhnya masih merasa gemetaran. Nenek Ayden baik, lembut, layaknya Oma yang ia punya. Sekarang Delisha seperti tak mau lagi mengenal Oma karena terlalu malu. Wanita hebat itu pasti kecewa berat saat tahu dirinya seperti ini, Delisha kesayangan bisa punya anak di usia semuda ini.Delisha baru selesai membersihkan diri, karena Nenek Ayden tahu gadis itu penuh dengan darah. Nenek Ayden langsung mengurusi bayi merah itu dan menyuruh Ayden beli susu untuk bayi baru lahir. Delisha memakai kaos panjang sampai menutupi pahanya dan celana short sebatas paha. Baju itu diberikan Nenek Ayden. Delisha benar-benar merasakan apa itu rumah, namun sadar diri ini rumah orang.Delisha mendekati bayinya yang sedang tertidur, dan sudah dimandikan dibungkus dengan nyaman dengan banyak kain berlapis. Nenek Ayden masih banyak menyimpan pakaian bayi dan semua pe
Terdiam, hanya duduk dan merenungi nasibnya, apa yang sebenarnya terjadi.Delisha terduduk sambil memeluk lututnya dan melihat ke arah bayi merah yang sedang tertidur. Bagaimanapun ia akhirnya belajar dan menerima jika dirinya sudah menjadi seorang ibu sekarang, bukan lagi remaja normal pada umumnya.Gadis itu menekan payudara yang terasa berat dan mulai mengeluarkan air susu. Awalnya enggan untuk menyusui tapi menyadari kewajibannya Delisha akhirnya mau menyusui bayi ini. Delisha menatap keajaiban itu, dan terdiam. Mungkin ia akan diusir dari rumahnya setelah ini tapi Delisha sudah siap dengan segala resiko yang ada.Delisha hanya diam, ketika melihat Ayden masuk ke dalam dan menggosok tubuhnya dengan handuk.Delisha merasa mereka benar-benar sudah menjadi suami-istri hanya saja tak ada status di antara keduanya. Delisha melihat kembali bayi merah tersebut dan tanpa sadar tersenyum, dia adalah malaikat bagiku. Mungkin kehadirannya tidak
"Mau ngapain?" tanya Delisha sambil menggigit kukunya. Ayden menelpon ingin berjumpa, Delisha tak bebas untuk keluar karena ia belum berani menghadapi kenyataan ini. Gadis itu menoleh ke arah anaknya yang sedang tertidur pulas. Kegiatan Baby Cheryl hanya tidur dan terus tertidur.Gadis itu mengelus-elus pipi bayi merah itu dan tersenyum. Dulu ia menganggap ini musibah, tapi sekarang ia bersyukur Cheryl hadir di hidupnya. Delisha akan menyanyangi. Cheryl dengan sepenuh hati."Anak mami." Delisha masih mengelus-elus pipi itu dan kembali menciumnya, bayi satu minggu yang mengemaskan."Ih, Mami masih muda, tapi Mami senang Cheryl hadir di sini." Bahkan Delisha tak canggung untuk menyebut dirinya seorang ibu, dia bangga."Lisha!" Delisha melihat layar ponsel dan laki-laki itu masih menelpon dirinya."Boleh nggak aku ke rumah kamu?""A-aku nggak tahu. Aku belum laporan kalau aku bawa bayi ke rumah. Aku belum sia
"Timang-timang, anakku sayang. Jangan menangis, Mama di sini." Delisha tersenyum sambil tersenyum. Dia sedang bangga menjadi seorang ibu sekarang. Kegiatannya ia habiskan untuk mengurus Cheryl hingga ia tak lagi merasa kesepian atau terus meratapi nasibnya. Delisha hanya perlu menerima semua ini dan mengurus anaknya hingga besar. Walau orang-orang di rumah ini belum tahu tentang status anak ini. Mereka mengira anak pungut sungguhan dan menyarankan Delisha untuk lapor polisi."Kamu udah mau besar. Bentar lagi bisa jalan, bisa nyanyi, bisa ngomong. Tetap jadi anak kesayangan mami." Delisha mengendong Cheryl dan menowel-nowel pipi bayi itu yang sedang menyedot makannya. Saat melihat Cheryl, Delisha otomatis tersenyum dan semua rasa capek, rasa ingin marah, rasa ingin mengeluh menguap."Kamu sumber kekuatan mami."Sekarang hari Minggu, semua orang berkumpul di rumah. Sebelum para penghuni bangun, Delisha sudah bersiap duluan, dia memasak untuk diri
"Ada apa sih, Pa." Delisha merasa seolah langit runtuh dan menimpa dirinya. Tubuhnya langsung terasa lemas, dia kabur dari kandang singa ke kandang macan. Delisha hanya mencengkram gendongan itu dan terdiam. Dari dulu, dia tak pernah percaya dengan orang tua dan orang dewasa. Baginya orang dewasa itu bengis dan begitu egois. Mereka hanya mau dapat bagian enaknya dan tak mau berkorban atau mereka menuntut agar anak yang lebih mengerti mereka, padahal anak tak pernah minta untuk dilahirkan.Sinta yang bergabung langsung terdiam saat melihat yang berdiri di tangga, begitu juga dengan Ayden yang juga berdiri kaku memegang ransel berwarna coklat tersebut."Oh dia yang hamil itu kan?" Mata Delisha mengikuti Ibu Ayden yang melihat gendongan yang ia bawa berisi bayi bukan umbi-umbian."Mama, Lisha, mau tinggal di sini aja." Delisha menunduk, dia tak pernah minta untuk tinggal di sini. Ayden yang memaksanya dan sekarang terlihat jika dia yang menyuruh l
Delisha pura-pura mencium Cheryl, malu bukan kepalang setelah Ibu Ayden menangkap basah mereka yang tengah ketahuan berciuman."Cheryl tidur di sini aja." Delisha berkata dengan malu-malu, walau Ibu Ayden menatapnya tajam."Nanti kalian nggak bisa ciuman lagi. Awas Cheryl punya adik lagi." sindir Sinta. Delisha malu luar biasa. Gadis itu hanya menunduk dan pura-pura mengelus-elus pipi merah Cheryl. Dia mengangkat wajahnya dan Ibu Ayden masih berdiri di sana. Dia sudah merasa tak nyaman dan besok Delisha bisa diusir rasanya."Mama mau nunggu atau biar Cheryl di sini?" tanya Ayden."Ya udah, tidur sama kalian aja." Delisha bernapas lega saat Ibu Ayden keluar kamar. Dia malu, dia adalah tamu tak undang di rumah ini dan bisa diusir kapan saja.Gadis itu meletakan putrinya yang masih merah dan mengelus-elus pipi Cheryl. Delisha tersenyum, tiada hari tanpa senyum jika melihat wajah polos Cheryl. Bayi ini segalanya untuknya,