“Suka?” Sebuah pertanyaan yang sama Raga tanyakan pada perempuan di pelukannya. Seperti sebuah kebiasaan,
“Suka, soalnya kamarnya bagus? Lain kali ajak aku di tempat yang seperti ini juga.” Gaia kali ini langsung menjawab dengan santai dan tersenyum memeluk Raga. Mereka berselimut tebal dan tersenyum saling memandang. “Boros.” Raga tertawa dan Gaia juga sama. Laki-laki itu makin memeluk Gaia seolah dia gemas dengan perempuan itu. Gaia juga merasa jika Raga sedikit berbeda kali ini. Tapi Gaia menampik perasaan dan mengira karena tempat yang berbeda merubah suasana hati mereka. “Tapi kamu berbeda, lebih....” Raga tersenyum menatap perempuan itu untuk menggoda tentang apa yang mereka berdua baru saja lakukan. Gaia hanya tersenyum dan kemudian mengganti saluran televisi. Perempuan itu lupa menggenakan kacamatanya ketika keluar kamar kedua orang tuanya. “Jam berapa? Aku gak bawa handphone.” Gaia bertanya kepada Raga yang kemudian dia teringat untuk memeriksa pekerjaan kantor. “Hampir gelap, lihat jendela tuh.” Gaia terkejut dan kemudian menyingkap selimut yang cukup tebal dan memungut baju yang tercecer. “Mandi dulu saja?” Sebuah saran yang membuat Gaia melotot ke arah Raga yang terkesan becanda. Perempuan itu segera memakai lengkap semua pakaiannya dan menata rambut serta mencuci wajahnya sedikit, menggunakan handuk tanpa meminta izin. Raga sudah menggenakan boxer dan memeluk ketika Gaia keluar dari kamar mandi. “Apa? Aku kembali ke kamar dulu.” Gaia kali ini terkesan lebih lembut. Raga juga menampakkan sikap yang cukup berbeda. Dia mengecup pipi Gaia. Perempuan itu sedikit terkejut dan Raga tertawa kecil. “Gak usah melakukan sesuatu diluar kebiasan.” Gaia kembali menjadi ketus, Raga melepaskan pelukan dan tersenyum. “Pastikan kamu kembali lagi nanti.” Raga tertawa kecil dan Gaia membuka pintu perlahan, tidak ada siapa-siapa di lorong itu dan Gaia langsung keluar dari kamar Raga. Dia berjalan satu langkah besar dan mengetuk pintu kamar di depannya. Masih juga belum ada jawaban. Setelahnya Gaia memutuskan untuk menuju ke kamar sebelah Raga. Sekali ketuk pintu dibuka oleh dua anak kecil yang masih bermain-main. Gaia terlihat cukup terkejut dengan kamar adiknya yang sudah berantakan karena dua bocah yang bermain-main di kamar itu. “Aku gak bawa handphone. Daritadi di luar, boleh minta tolong hubungi Bapak atau Ibu?” Gaia memberikan alasan yang memang terjadi. Tapi dia merasa sangat lelah dan mengantuk. Adiknya mencoba untuk menghubungi dan akhirnya membantu Gaia mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya itu. “Nanti acaranya apa?” Gaia bertanya kepada adik dan adik iparnya. “Paling jalan-jalan, nanti makan. Katanya mau bareng keluarganya Raga, soalnya mau ke mana gitu. Biar sekalian makan malam bareng rame-rame.” Gaia sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan adiknya. “Bukannya kita jalan ke mall?” Gaia bertanya ulang. Dan Adiknya menggeleng perlahan. “Di tempat makan itu juga ada kids park, terus bisa santai dan ngobrol. Ya lebih ke nice untuk keluarga. Jadi kakak laki-laki Raga yang pertama sudah booking dan menawarkan supaya kita ikut.” Adik Gaia menjelaskan lagi. Perempuan itu terdiam dan kemudian berjalan untuk masuk ke dalam kamar kedua orang tuanya. “Sudah pada mandi? Katanya setelah ini perlu kemana bareng keluarga Raga?” Gaia terkesan malas dan kemudian mengambil handuk miliknya serta baju yang akan dia kenakan. Tanpa menunggu jawaban kedua orang tuanya dia masuk ke kamar mandi. Gaia menyiram tubuhnya dengan air hangat. Memakai sabun dan juga shampo untuk membersihkan tubuhnya. Perempuan itu tahu jika dia sangat mengantuk, tapi setelah ini dia harus mengikuti apa yang akan dilakukan oleh keluarganya. Ketika Gaia keluar dari kamar mandi, kedua orang tuanya sudah siap untuk keluar. Gaia masih harus menyisir dan merapikan rambutnya yang basah. “Aku nanti belakangan gak apa, rambutnya masih basah.” Gaia terkesan meminta supaya kedua orang tuanya pergi terlebih dahulu. Kedua keponakan Gaia sudah berteriak meminta mereka semua untuk berkumpul. Gaia masih mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. “Masih lama? Semua orang sudah di lobby lantai dua katanya.” Adik Gaia tiba-tiba muncul. Perempuan itu kemudian menunjukkan rambutnya yang sedang dia keringkan. “Ya sudah kita turun dulu ya.” Adik Gaia langsung saja mengajak kedua orang tua mereka untuk turun lebih dulu. Gama terlihat sudah mengerti jika kakaknya sudah biasa menyusul nanti dengan cepat. Kedua orang tuanya berjalan lebih lambat jadi mereka berangkat lebih dulu. Tas kecil Gaia terisi dengan beberapa barang yang penting, setelahnya dia kemudian berjalan cepat keluar dari kamar dan tentu tidak lupa menyimpan kunci kamar di tasnya. “Kamu baru keluar juga?” Raga tersenyum keluar dari kamarnya. Gaia sedikit tidak enak karena melihat keduanya menggenakan baju dengan warna hampir senada. Biru dan putih. Gaia mencoba berjalan lebih dulu, dan Raga berusaha mengikuti. “Pelan saja, lagipula mereka bisa berangkat dulu.” Raga terkesan sangat santai dan Gaia juga memperlambat jalannya. Ponsel Gaia berbunyi bersamaan dengan ponsel Raga yang berjalan bersisian sebelum masuk ke dalam lift. “Ya?” Raga sudah menjawab panggilan dari teleponnya. Gaia juga sama menjawab. Adik Gaia meminta kakaknya untuk pergi dengan Raga, karena mereka sudah lebih dulu meninggalkan hotel. “Oke, sharelock. Aku padahal sudah mau turun kok.” Raga menutup panggilan telepon dan melihat ke arah Gaia. Mereka masuk ke lift bersama, Gaia terlihat cukup santai dan melihat ke arah Raga. Laki-laki itu juga sepertinya biasa saja. “Sudah pergi semua, kamu bareng aku.” Gaia mengangguk karena adiknya sudah memberitahunya baru saja melalui panggilan telepon. Raga meraih tangan Gaia, perempuan itu sedikit terkejut dengan sikap yang berbeda. Tapi kali ini Gaia mengingat juga ketika mereka sempat berlibur bersama. Di sebuah kota yang bukan tempat tinggal mereka Raga bisa bersikap sangat romantis bahkan di ruang terbuka. Jadi Gaia membiarkan semuanya begitu saja. Sebuah mobil putih yang Gaia kenal tentu saja. Perempuan itu masuk setelah Raga di dalam mobil. Raga mulai menetapkan tujuan dengan map di layar kecil di mobil itu. Gaia hanya duduk dan menutup mulutnya karena menguap. Ada kantuk yang benar kurang bisa ditahan, dan perempuan itu belum minum kopi sejak tadi pagi. “Itu, aku baru beli kopinya, minum saja. Um sebelum mereka berangkat aku nitip. Ingat kamu suka minum kopi. Lainnya itu milikku, mojito.” Raga memberitahu ketika dia mulai mengemudi keluar dari halaman hotel. “Boleh aku tidur? Jauh atau tidak?” Gaia bertanya karena dia memang benar-benar lelah. Raga terdiam sebentar, dia berfikir. “Hanya sekitar lima belas menit, tapi kalau mau tidur gak apa juga. Aku akan menunggu kamu bangun nanti. Lagipula kita kan hanya akan makan di sana. Hiburan paling karaoke, ngobrol bareng. Lihat pemandangan.” Raga terlihat sangat romantis dalam berbicara. Gaia mengambil kopi di samping kanannya dan kemudian menyesapnya sedikit. Perempuan itu memutuskan untuk terjaga.Mungkin karena AC di kamar Raga memang dingin, Gaia meringkuk di pelukan Raga sepanjang malam tanpa dia sadari. Perempuan itu terlelap memeluk tubuh yang sebenarnya enggan dia peluk. Raga bahagia dengan apa yang terjadi malam ini karena Gaia yang mendekati tubuhnya lebih dahulu dan tenggelam dalam pelukannya sepanjang malam. Meski tentu saja dia hampir tidak merasakan lengan sebelah kirinya ketika bangun terlebih dahulu. Laki-laki itu menatap dengan senyum wajah istrinya dalam lampu kuning di tepi tempat tidur. Raga lega, laki-laki itu mencium kening Gaia perlahan dan masih tersenyum. Perempuan itu bergerak sedikit tapi dia masih memejamkan matanya. Di sisi lain Gaia ada keponakannya yang masih juga tertidur pulas. Raga sungguh terkesan dengan apa yang sedang dia lakukan saat ini. Memandang seseorang yang sedang tertidur bukanlah sebuah kebiasaan atau tidak akan menjadi hal yang dilakukan oleh Raga. Membuang waktu. Tapi, saat ini tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat pere
Tidak berapa lama bel pintu berbunyi dan Raga segera menuju ke depan untuk membuka pintu. Mba Rana terlihat masuk dengan tergesa melewati ruang tengah menuju ke kamar tengah. Gaia masih diam bersama keponakannya dan tidak beranjak dari sofa ruang tengah itu.“Tapi Mba, Kai sudah tidur. Kalau aku tidak bersama dengannya maka dia akan bingung besok pagi.” Suara Erin terdengar meski pelan. Raga masih berdiri di depan pintu kamarnya. “Kalau begitu bawa Kai juga.” Mba Rana sepertinya serius dengan apa yang dia katakan.“Sudah malam Mba, mau tidur dimana juga tidak masalah. Kenapa jadi seperti ini?” Erin sepertinya masih berkeras untuk tidak menuruti apa yang Mba Rana minta.“Tidak di sini. Kamu mau gendong Kai atau aku?” Mba Rana terlihat cukup serius dengan apa yang dia ucapkan. Erin terlihat kesal dengan apa yang sedang terjadi. Dia tidak bisa minta bantuan kepada siapapun. Dan akhirnya dia menggendong Kai bersamanya keluar dari kamar itu.“Kasihan kamu Kai, tidak boleh tidur di rumah y
Kai dan dua keponakan Gaia sedang menikmati cake yang dibeli tadi di mall, sedangkan orang dewasa lainnya sedang makan camilan juga yang dibawakan oleh Ibu dan Mba Rana. Gaia sebenarnya cukup senang dengan sikap Mba Rana dan Ibu Raga yang santai kepada Erin. Meski beberapa pertanyaan canggung memang harus di dengar.“Jadi kamu ingin menata kamar tengah itu untuk Kai?” Mba Rana melihat kamar yang hanya berisi beberapa barang dan memang kecil.“Soalnya kamar kerja akan terlalu besar untuk Kai, dan juga akan lebih nyaman jika dia sudah punya kamar sendiri.” Raga terlihat tersenyum menjelaskan.“Kalian berdua tidak menganggap anakku sebagai penganggu bukan?” Erin terlihat berucap ketus di ruang tengah. Di depan semua orang perempuan ini bicara dengan sangat kasar, bagi Gaia.“Tidak, kami tidak pernah begitu. Hanya supaya Kai juga berlatih untuk tidur sendiri, punya kamar dan juga punya dunianya sendiri.” Raga kembali menjelaskan sebelum Gaia yang bicara.“Kai kan mas
“Kai ingin bermain?” Gaia bertanya kepada anak kecil berusia lima tahun itu ketika mereka keluar dari tempat makan. Anak laki-laki itu terlihat tidak terlalu mengerti dengan pertanyaan Gaia. “Mau main di arena bermain?” Erin bertanya dengan senyum di wajahnya kepada Kai dengan lembut. Kai mengangguk perlahan.“Kalau begitu kita ke sana.” Gaia menunjuk sebuah tempat bermain tepat di depan tempat mereka berempat tadi makan. Raga terlihat kurang begitu suka dengan apa yang Gaia lakukan. Tapi Gaia menatap laki-laki itu seolah sedang memberikan sebuah sinyal jika dia harus menuruti apa yang Gaia katakan.“Aku akan mengisi kartu untuk mainnya lebih dulu.” Gaia terlihat cukup senang karena tidak ada antrian untuk mengisi kartu. Dia meninggalkan Raga dan Erin serta Kai tidak lama kemudian sudah kembali lagi. “Tap di tempat yang Kai ingin mainkan.” Gaia menyerahkan kartu itu kepada anak laki-laki Raga dan Erin. Sudah tentu Erin mengikut Kai yang kemudian memilih mainan yan
Gaia kembali duduk di bagian belakang di mobil. Tapi itu juga bukan hal yang cukup besar untuk membuat Raga tidak memperhatikan istrinya itu, sepanjang jalan mereka membicarakan hendak kemana dan perlu membeli apa saja.“Tolong angkat telepon dari Mba Rana Babe.” Raga membuat Gaia kemudian meraih ponsel di saku celana sebelah kiri dari Raga. Erin terlihat tidak ingin melihat apa yang sedang Gaia lakukan.“Ya Mba?” Gaia menggeser tombol ikon telepon berwarna hijau di layar telepon milik Raga.“Gia?” Mba Rana sedikit terkejut meski seharusnya tidak. “Iya Mba, Raga sedang nyetir.” Gaia menjawab singkat.“Oo… Itu, nanti aku ke rumah sama Ibu. Kamu sudah sehat?” Mba Rana bertanya karena mungkin Raga lupa memberitahu kabar Gaia saat ini.“Sudah Mba, jam berapa ke rumah Mba?” Gaia bertanya lagi meski Raga tidak mengatakan apapun.“Makan sudah? Nafsu makan masih belum membaik?” Rana bertanya lagi kepada Gaia.“Um… Iya Mba, tapi memang lebih baik tidak terlal
Manusia memang selalu punya sisi yang tidak pernah bisa ditebak manusia lainnya. Unik, Raga lupa jika Margia itu memang tidak seperti perempuan lain, tidak seperti teman tidurnya yang lain. Dia punya semua hal yang Raga juga punya. Jika Raga punya kekasih, Gaia juga. Raga punya keluarga, Gaia juga. Dan Gaia punya caranya sendiri menjalani hidup. Raga lupa jika Gaia bukan perempuan yang akan meminta kepada laki-laki, bukan perempuan yang akan menyandarkan bahunya pada laki-laki untuk meminta kemakmuran di hidupnya. “Kita fokus untuk Kai saja, sekali lagi jika kamu ingin kami membiayai sekolah Kai, tapi kamu ingin Kai tetap bersama denganmu. Aku juga tidak keberatan.” Gaia kembali menyatakan sebuah penawaran.“Kai juga butuh kasih sayang Ayahnya. Kamu berusaha menghalangi?” Erin berusaha menyudutkan Gaia. Gaia menggeleng perlahan.“Tidak juga, Kai boleh bertemu dengan Raga kapanpun, boleh juga menginap. Tapi jika itu kamu aku tidak menngizinkan.” Raga kembali tersenyum de