Gaia memeluk Raga ketika pertanyaan itu meluncur dari bibir laki-laki yang sungguh dia kenal bertanya bukan karena simpati atau mungkin dia juga memang belum tahu apa-apa. Raga menjauhkan tangan Gaia ketika perempuan itu hendak memeluk.
“Jangan melakukan hal yang salah.” Raga mengindar dan kemudian duduk bersandar pada sisi tempat tidur. Gaia terlihat cukup kesal karena apa yang Raga lakukan. “Kalau kamu mencurigai aku, kenapa meminta aku masuk ke kamar ini? Jangan seolah-olah kamu tidak tahu apa-apa dan mempertanyakan semua hal.” Gaia melampiaskan kesalnya tanpa menahan diri. Raga tersenyum melihat apa yang terjadi meski kemudian dengan cepat dia memasang wajah kesal. “Ya aku ingin tahu ceritanya dulu. Kenapa susah banget untuk ngobrol?” Raga kembali membalas Gaia, dia sama sekali tidak ingin mengalah dalam obrolan ini. Laki-laki itu duduk menghadap ke arah Gaia yang kali ini terlihat melemparkan pandangan ke tempat lain untuk menghindari menatap Raga. Raga tersenyum melihat sikap Gaia yang seperti itu, Dia kemudian memegang dua bahu Gaia dan membuat tubuh perempuan itu tegap menghadap ke arahnya. Setelahnya dia menyentuh wajah Gaia untuk dihadapkan pada wajahnya. Mereka berdua saling menatap dalam jarak yang dekat. “Aku tahu, tapi aku ingin mendengarnya langsung. Bukannya kamu juga selalu begitu? Mendengar langsung akan menjadi hal yang penting?” Raga tersenyum lembut masih sambil menatap perempuan yang kali ini juga menetapnya. Tangan Raga sudah turun untuk mengambil tangan Gaia. “Kalau begitu, itu memang seperti yang kamu tahu.” Gaia akhirnya menjawab meski begitu lama berputar dengan kalimatnya. “Apa yang aku tahu? Aku bahkan tidak tahu apa-apa.” Raga masih saja ingin semua terucap dari bibir perempuan yang berada begitu dekat dengannya itu. “Ga... Waktu aku pisah dengan mantanku dulu juga aku menjelaskan kepada kamu seperti apa. Dan setelahnya kita bisa dekat lagi. Tidak ada siapapun, kamu tahu bukan? Jadi jelaskan, ceritakan.” Raga masih menuntut semuanya dari Gaia meski perempuan itu terlihat cukup enggan. Gaia masih diam saja tidak mengatakan apapun, dia memalingkan pandangannya mencari sesuatu di televisi untuk di tonton. Raga kemudian mengambil ponsel pintarnya dan memeriksa. “Monit lagi?” Gaia akhirnya bertanya setelah beberapa lama diam. Raga seolah tidak mendengarkan pertanyaan Gaia dan masih membalas pesan di ponsel pintarnya itu dengan wajah yang sangat riang. Gaia kesal, dia kemudian berdiri dari tempat tidur dan berjalan untuk keluar dari kamar Raga. Dia juga sudah merasa jika cukup lama berada di kamar itu. “Mau keluar?” Raga sudah mencapai Gaia sebelum perempuan itu membuka pintu. Laki-laki itu juga menggeser tubuh Gaia kedinding di belakang pintu masuk. Gaia bersikap biasa saja, perempuan itu tahu jika laki-laki itu tidak suka mencium bibir, jadi Gaia santai menatap Raga yang mendekatkan wajahnya menggoda perempuan itu. “Aku keluar, pasti ada yang mencari.” Gaia berucap perlahan karena dia tidak mau ada orang di luar kamar yang mungkin mendengar. Raga mengangguk tersenyum dan masih menatap Gaia. “Kamu, di kamar sana tidur dengan kedua orang tuamu bukan?” Raga bertanya meski dia sudah tahu. Dan Gaia mengangguk sambil tersenyum. “Kalau begitu nanti malam ke sini saja, aku tidur sendirian. Tempat tidurnya terlalu lebar bukan?” Gaia mengarahkan pandangannya kesamping dan tersenyum sinis. Raga tahu jika perempuan itu seolah membaca apa yang dia inginkan. “Aku tidak akan melakukan sesuatu jika kita berdua tidak menginginkannya.” Raga memberikan alasan yang seolah benar, meski Gaia juga tahu pasti apa yang Raga inginkan. Karena itulah perempuan itu tersenyum sinis lagi sambil memandang wajah Raga. “Pada akhirnya menjadi kita berdua menginginkannya bukan? Kenapa kamu tidak keluar, atau chat siapa untuk menemani kamu malam ini. Bukankah itu lebih mudah?” Kali ini Gaia mendorong laki-laki itu menjauh dari tubuhnya. Gaia menantang Raga dengan semua pertanyaan itu. “Ada kamu, untuk apa aku mencari yang lain?” Raga menjawab seolah Gaia lebih berharga dari yang lain. Seolah Gaia jauh lebih menyenangkan dari perempuan-perempuan yang pernah Raga singgahi malamnya hanya untuk melampiaskan nafsu sesaatnya. Seolah semua kembali kepada Gaia dan Gaia. Gaia hanya tersenyum dan mengangguk memukul lengan Raga perlahan untuk menunjukkan kekesalannya. Laki-laki itu hanya tersenyum dengan nakal menatap Gaia. “Gaia tidak pernah bisa digantikan. Kamu terlalu istimewa jika dibandingkan harus mencari kesana kemari. Lagipula aku juga tidak sembarangan memilih teman untuk berada di tempat tidur. Tidak akan mudah untuk melakukannya jika tidak bersama dengan seseorang yang membangkitkan mood, seperti kamu.” Raga benar-benar menggoda Gaia secara langsung. Perempuan itu terbiasa dengan kalimat manis untuk memintanya bersama hanya di ranjang. Raga selalu saja begitu, bagi Gaia mungkin dia terbiasa, dan juga sering membayangkan jika Raga melakukan hal yang sama kepada perempuan lainnya. Tidak ada satupun kalimat dari Raga yang masuk ke hati perempuan itu. Tapi karena itu juga Gaia merasa dia tidak perlu khawatir akan melukai Raga. “Keluargaku mau jalan-jalan dulu, entah pulang larut atau tidak. Bukankah keluargamu juga perlu pergi ke beberapa tempat?” Gaia sekali lagi mencoba untuk menghindar meski sebenarnya dia juga berfikir tidur dengan Raga bukan sebuah ide yang buruk. “Aku balik dulu ke kamar.” Gaia mencoba untuk keluar dari kamar itu lagi, tapi Raga kali ini meraih pinggang Gaia dan mendekatkan bibirnya untuk kemudian adegan selanjutnya adalah dia sudah mengulum lembut bibir Gaia. Perempuan itu sungguh mencoba untuk lepas dengan mencoba memalingkan kepalanya, tapi ketika kepalanya berpaling, Raga justru mendapatkan titik vital pertama dari Gaia. Leher dan belakang telinga. Gaia mengerang perlahan, sedikit menutup matanya meski dia masih berdiri dan Raga mendorongnya ke dinding lagi untuk kemudian mencium bibir perempuan itu, Gaia membalas ciuman itu dan ketika saat itulah Raga bahkan tersenyum, merasa dia sudah bisa memulai ke sebuah gerakan yang lebih intensive. “Mau melakukannya sekarang?” Raga berbisik lembut dan mesra di telinga Gaia. Perempuan itu merasa merinding dan geli tentu saja. Tapi juga sebuah sensasi untuk jauh lebih menggoda Raga terlintas di pikirannya. Gaia mendorong laki-laki itu ke sisi dinding di belakang Raga. Ganti Gaia yang tersenyum dan kemudian mengecup bibir Raga dengan cepat dan berbalik untuk kembali ke ranjang. Raga mendapatkan pinggang Gaia lagi dan menarik dia untuk kemudian memberikan kecupan-kecupan yang cukup dalam di leher dan bagian sensitif lain sambil terus mengarahkan Gaia menuju ke tempat tidur. Dan ketika Gaia bahkan sudah terjatuh di tempat tidur, Dia sudah tidak menggenakan apapun di tubuhnya. Raga juga hanya menggenakan sehelai celana yang kemudian dia lepas setelahnya, Mereka sudah saling memberikan godaan pada tubuh mereka satu sama lain.“Suka?” Sebuah pertanyaan yang sama Raga tanyakan pada perempuan di pelukannya. Seperti sebuah kebiasaan, “Suka, soalnya kamarnya bagus? Lain kali ajak aku di tempat yang seperti ini juga.” Gaia kali ini langsung menjawab dengan santai dan tersenyum memeluk Raga. Mereka berselimut tebal dan tersenyum saling memandang. “Boros.” Raga tertawa dan Gaia juga sama. Laki-laki itu makin memeluk Gaia seolah dia gemas dengan perempuan itu. Gaia juga merasa jika Raga sedikit berbeda kali ini. Tapi Gaia menampik perasaan dan mengira karena tempat yang berbeda merubah suasana hati mereka. “Tapi kamu berbeda, lebih....” Raga tersenyum menatap perempuan itu untuk menggoda tentang apa yang mereka berdua baru saja lakukan. Gaia hanya tersenyum dan kemudian mengganti saluran televisi. Perempuan itu lupa menggenakan kacamatanya ketika keluar kamar kedua orang tuanya. “Jam berapa? Aku gak bawa handphone.” Gaia bertanya kepada Raga yang kemudian dia teringat untuk memeriksa pekerjaan kantor. “H
“Hujan.” Sebuah suara akhirnya terdengar ketika mereka sampai di tempat parkir sebuah area yang dimaksud oleh keluarga mereka berdua. Gaia hanya terdiam dan masih meminum kopinya. Lapar dan juga semakin terasa lelah karena perjalanan juga karena aktivitas dengan Raga tadi. Laki-laki di sampingnya masih menatap jauh ke hujan yang cukup deras. “Gak ada payung, mau lari saja?” Raga menoleh melihat Gaia yang masih menempatkan sedotan pada bibir perempuan itu. Gaia hanya terdiam saja tidak menjawab pertanyaan Raga. Laki-laki itu kemudian memeriksa tempat duduk bagian belakangnya. Tetap saja dia tidak menemukan payung. Tapi ada yang sangat menganggu pikirannya saat itu ketika melihat Gaia lagi. Matanya tertuju pada sesuatu yang ingin dia sentuh dengan bibirnya. Raga meletakkan tangannya di ujung sandaran kursi penumpang di sebelahnya dan dia bergeser sedikit tentu saja. Gaia menoleh karena gerakan Raga itu. Laki-laki dengan kulit sedikit lebih hitam dari Gaia itu tersenyum. “Aku meras
“Kamu suka?” Raga terlihat menatap perempuan yang sedang bersama di kamarnya saat itu. Belum jam tiga sore dan mereka berdua sudah berpelukan tanpa menggenakan apapun. Keringat mengucur deras membuat laki-laki itu mengusapnya dengan berpuluh-puluh lembar tisu. Tapi ada senyum di wajah laki-laki itu dan menahan perempuan yang malu hendak menutupi tubuhnya dengan apapun yang bisa digunakan.“Malu?” Raga kembali bertanya sambil tersenyum memeluk perempuan itu bertelanjang dada. Perempuan itu memeluk Raga dengan sedikit canggung. Dia masih menyisakan sebuah rasa gugup di wajahnya.“Iya lah, sebentar, takut ada yang lihat dari jendela kan.” Gaia terlihat memasang wajah kesal sambil menarik selimut, Raga membantu perempuan itu mengenakan selimut untuk menutup tubuh bagian bawahnya.“Suka?” Raga mengulangi lagi apa yang dia tanyakan di awal seolah dia benar ingin tahu jawaban dari Gaia siang itu. Gaia menatap wajah Raga sebentar dan kemudian melihat ke depan masih bersandar dipelukan laki-la
3 Tahun kemudian.“Wah sampai juga, kita check in dulu.” Gaia bersama dengan adik iparnya langsung turun bersama kedua orang tua Gaia masuk ke sebuah lobby hotel yang cukup besar. Mereka menunggu karena masih banyak orang yang berada di lobby.“Untuk satu malam. Silahkan.” Karyawan mempersilahkan Gaia dan adik iparnya mengikuti instruksi dari reseptionist. Gaia dan adik iparnya mendengarkan penjelasan reseptionist dan kemudian diminta untuk menunggu sekitar 10 menit. Gaia duduk dengan dua keponakanannya di sofa lobby dengan boneka bear yang cukup besar di sana. Kedua keponakanannya bermain-main dan Gaia memeriksa ponsel pintarnya siapa tahu ada pekerjaan yang harus dilakukan.“Mam, Raga?” Adik Gaia membawa masuk seseorang yang tentu saja satu keluarga Gaia mengenalnya. Bukan orang asing meski terlihat cukup asing awalnya. Raga masuk bersama dengan Gama, adik Gaia yang kebetulan tadi sibuk mencari tempat parkir.“Siang Pak, Bu.” Raga menjabat tangan dua orang tua Gama yang tentu saja
“Hujan.” Sebuah suara akhirnya terdengar ketika mereka sampai di tempat parkir sebuah area yang dimaksud oleh keluarga mereka berdua. Gaia hanya terdiam dan masih meminum kopinya. Lapar dan juga semakin terasa lelah karena perjalanan juga karena aktivitas dengan Raga tadi. Laki-laki di sampingnya masih menatap jauh ke hujan yang cukup deras. “Gak ada payung, mau lari saja?” Raga menoleh melihat Gaia yang masih menempatkan sedotan pada bibir perempuan itu. Gaia hanya terdiam saja tidak menjawab pertanyaan Raga. Laki-laki itu kemudian memeriksa tempat duduk bagian belakangnya. Tetap saja dia tidak menemukan payung. Tapi ada yang sangat menganggu pikirannya saat itu ketika melihat Gaia lagi. Matanya tertuju pada sesuatu yang ingin dia sentuh dengan bibirnya. Raga meletakkan tangannya di ujung sandaran kursi penumpang di sebelahnya dan dia bergeser sedikit tentu saja. Gaia menoleh karena gerakan Raga itu. Laki-laki dengan kulit sedikit lebih hitam dari Gaia itu tersenyum. “Aku meras
“Suka?” Sebuah pertanyaan yang sama Raga tanyakan pada perempuan di pelukannya. Seperti sebuah kebiasaan, “Suka, soalnya kamarnya bagus? Lain kali ajak aku di tempat yang seperti ini juga.” Gaia kali ini langsung menjawab dengan santai dan tersenyum memeluk Raga. Mereka berselimut tebal dan tersenyum saling memandang. “Boros.” Raga tertawa dan Gaia juga sama. Laki-laki itu makin memeluk Gaia seolah dia gemas dengan perempuan itu. Gaia juga merasa jika Raga sedikit berbeda kali ini. Tapi Gaia menampik perasaan dan mengira karena tempat yang berbeda merubah suasana hati mereka. “Tapi kamu berbeda, lebih....” Raga tersenyum menatap perempuan itu untuk menggoda tentang apa yang mereka berdua baru saja lakukan. Gaia hanya tersenyum dan kemudian mengganti saluran televisi. Perempuan itu lupa menggenakan kacamatanya ketika keluar kamar kedua orang tuanya. “Jam berapa? Aku gak bawa handphone.” Gaia bertanya kepada Raga yang kemudian dia teringat untuk memeriksa pekerjaan kantor. “H
Gaia memeluk Raga ketika pertanyaan itu meluncur dari bibir laki-laki yang sungguh dia kenal bertanya bukan karena simpati atau mungkin dia juga memang belum tahu apa-apa. Raga menjauhkan tangan Gaia ketika perempuan itu hendak memeluk.“Jangan melakukan hal yang salah.” Raga mengindar dan kemudian duduk bersandar pada sisi tempat tidur. Gaia terlihat cukup kesal karena apa yang Raga lakukan.“Kalau kamu mencurigai aku, kenapa meminta aku masuk ke kamar ini? Jangan seolah-olah kamu tidak tahu apa-apa dan mempertanyakan semua hal.” Gaia melampiaskan kesalnya tanpa menahan diri. Raga tersenyum melihat apa yang terjadi meski kemudian dengan cepat dia memasang wajah kesal.“Ya aku ingin tahu ceritanya dulu. Kenapa susah banget untuk ngobrol?” Raga kembali membalas Gaia, dia sama sekali tidak ingin mengalah dalam obrolan ini. Laki-laki itu duduk menghadap ke arah Gaia yang kali ini terlihat melemparkan pandangan ke tempat lain untuk menghindari menatap Raga.Raga tersenyum melihat sikap Ga
3 Tahun kemudian.“Wah sampai juga, kita check in dulu.” Gaia bersama dengan adik iparnya langsung turun bersama kedua orang tua Gaia masuk ke sebuah lobby hotel yang cukup besar. Mereka menunggu karena masih banyak orang yang berada di lobby.“Untuk satu malam. Silahkan.” Karyawan mempersilahkan Gaia dan adik iparnya mengikuti instruksi dari reseptionist. Gaia dan adik iparnya mendengarkan penjelasan reseptionist dan kemudian diminta untuk menunggu sekitar 10 menit. Gaia duduk dengan dua keponakanannya di sofa lobby dengan boneka bear yang cukup besar di sana. Kedua keponakanannya bermain-main dan Gaia memeriksa ponsel pintarnya siapa tahu ada pekerjaan yang harus dilakukan.“Mam, Raga?” Adik Gaia membawa masuk seseorang yang tentu saja satu keluarga Gaia mengenalnya. Bukan orang asing meski terlihat cukup asing awalnya. Raga masuk bersama dengan Gama, adik Gaia yang kebetulan tadi sibuk mencari tempat parkir.“Siang Pak, Bu.” Raga menjabat tangan dua orang tua Gama yang tentu saja
“Kamu suka?” Raga terlihat menatap perempuan yang sedang bersama di kamarnya saat itu. Belum jam tiga sore dan mereka berdua sudah berpelukan tanpa menggenakan apapun. Keringat mengucur deras membuat laki-laki itu mengusapnya dengan berpuluh-puluh lembar tisu. Tapi ada senyum di wajah laki-laki itu dan menahan perempuan yang malu hendak menutupi tubuhnya dengan apapun yang bisa digunakan.“Malu?” Raga kembali bertanya sambil tersenyum memeluk perempuan itu bertelanjang dada. Perempuan itu memeluk Raga dengan sedikit canggung. Dia masih menyisakan sebuah rasa gugup di wajahnya.“Iya lah, sebentar, takut ada yang lihat dari jendela kan.” Gaia terlihat memasang wajah kesal sambil menarik selimut, Raga membantu perempuan itu mengenakan selimut untuk menutup tubuh bagian bawahnya.“Suka?” Raga mengulangi lagi apa yang dia tanyakan di awal seolah dia benar ingin tahu jawaban dari Gaia siang itu. Gaia menatap wajah Raga sebentar dan kemudian melihat ke depan masih bersandar dipelukan laki-la