Share

11. Kau benar, Arum.

"Anda baik-baik saja pak bagas?" tanya dokter yang masih gagah itu bertanya pada lelaki yang hanya diam membisu pada penjelasannya mengenai kondisi Arum, sampai Bagas menatapnya.

"Ya, Dok. Hanya saja saya jadi merindi- lupakan, Dok." ucap Bagas yang bulu halusnya berdiri membuat dokter Anggodo menatapnya.

"Hanya itu yang bisa saya sampaikan saat ini, saya harap Pak Bagas bersabar dan bisa menerimanya kondisi Bu Arum," ucap Dokter Anggodo membuat Bagas mengangguk. 

Meski jelas terlihat, ia tidak paham mengangguk untuk apa? atau kenapa ia mengangguk?

Lalu menyalami dokter yang memberinya senyum simpati. Pamit.

Bagas, menatap langit yang begitu terik dan menarik nafasnya panjang, ekspresi wajahnya sungguh tak bisa dibaca.

"Arum Wijaya, jika aku tak memilihmu, hidupmu pasti takkan berahir seperti ini," ucap Bagas menutup matanya lagi tapi langsung terbuka dengan cepat melihat sekelebat bayangan wanita yang menggelinding dari tangga begitu cepat tapi lambat disaat yang sama lalu berhenti di atas ubin keras. Dan tangan Bagas mengepal begitu kuat sampai buku-buku jarinya memutih, mengingat ucapan wanita yang menamparnya begitu penuh emosi.

(Jangan berani-berani melibatkan putriku...pernahkah kau mengusap kepalanya begitu lembut... Pernahkah kau memperlakukannya penuh perhatian... Pernahkah...)

"Kau benar Arum, tak sekalipun." Ucap Bagas menarik nafasnya begitu dalam.

"Dan mungkin tak akan pernah."

*

"Snack time!" 

Seru miss eva disambut semangat bocah-bocah berumur 3 tahun begitu senang. Bersemangat sekali setiap kali guru mereka mengatakan dua kalimat itu.

Suara seperti tawon dari bibir-bibir basah dan merah, lucu, berpipi-pipi tembem dan masih kenyal itu terdengar memenuhi ruangan yang dipenuhi gambar dan hiasan warna-warni, ada bermacam gambar bunga dan binatang, balok-balok kayu berbagai bentuk yang warnanya cerah, puzle berpotongan besar yang berserakan diatas meja sedang coba disusun oleh tangan-tangan kecil yang tampak memeras otak kecil mereka yang masih berkembang pesat.

Rak buku berisi cerita anak-anak yang sering diganti mengingat yang memegangnya adalah anak-anak yang belum begitu paham cara merawat benda yang mudah robek, juga sekeranjang mainan baik untuk anak lelaki atau perempuan yang berjumlah 20 perkelas.

"Rapikan meja kalian baru kita makan snack!" seru miss Eva dituruti bocah-bocah yang dengan teratur merapikan meja dan lantai busa. 

Meskipun ada beberapa yang tampak malas begitupun bocah lelaki yang tampak ogah-ogahan merapikan balok kayu yang ia pakai bermain. 

Membuat Arimbi yang sudah meletakkan puzle kedalam almari menatap Rei.

"Rei tak mau makan cookie?" tanya Arimbi membuat Rei memanyunkan bibir.

"Cookie itu buat anak-anak." Jawab Rei Membuat Arimbi memiringkan kepala lalu menatap meja Miss Eva yang berisi kue coklat kering dengan taburan choco chip juga puding mangga yang membuat mata berbinar.

"Aku suka cookie tapi lebih suka lagi makan puding." Ucapan Arimbi membuat Rei menatap makanan yang tadi belum ada dimeja miss Eva.

Rei langsung berdiri meraup balok-balok kayu berbentuk persegi di depannya dibawah tatapan Joe yang selesai merapikan mejanya sendiri.

"Aku juga suka puding." Ucap Rei semangat lalu berjalan meletakkan mainan ketempatnya, sembarangan. Tentu saja, apa yang kau harapkan dari anak nakal yang menggemaskan itu?

"Kita makan puding, Joe." Seru Rei begitu semangat membuat bule kecil yang duduk di ujung meja itu mengangguk. 

Meski Joe hanya mengerti puding saja dari kalimat Rei.

Sementara Carmen yang duduk disamping Joe memandang Rei malas.

"Tumben, kamu tak perlu Miss suruh," ucap miss Eva meletakkan snack dimeja Rei yang bersih, karena ia duduk paling pinggir.

"Aku suka puding, Miss," ucap Rei polos tak urung membuat guru galaknya itu menarik nafas. berpikir mungkin ia harus meminta sekolah menyiapkan puding tiap hari. 

"Aku juga suka." Beo bocah lain diikuti beberapa anak yang masih suka meniru keadaan di sekitar mereka.

"Aku suka cookie."

"Aku suka puding dan cookie. Miss Eva, aku boleh minta dua puding?"

"No can't do kid's. Satu anak dapat satu puding dan 3 cookie."

"Miss Eva pelit."

"Iya, pelit."

"Mis Eva pelit...

"One puding and 3 cookie for Joe, like everybody else," ucap Miss Eva tak memperdulikan protes dari mulut-mulut kecil dan imut pada bule kecil yang tampak bingung dengan keriuhan disekitarnya.

"Aku tidak suka cookie, Miss." ucap Carmen yang duduk malas, "kenapa tidak kue yang ada stroberinya, sih? aku tak mau." Tolak Carmen membuat Miss Eva tersenyum.

"Pilih-pilih makanan tidak baik lho, tapi Carmen bisa minta itu pada mama saat pulang nanti. Hari ini, Miss hanya punya cookie dan puding untuk kailan."

"Miss Eva, miskin ya?" ucap Carmen membuat wanita itu menatap bocah yang kadang kosa katanya lebih banyak dari anak seusianya meski kalau pelajaran ia belum pernah dapat nilai B+ keatas.

"Wah, Carmen tau saja, miss belum gajian," ucap Miss Eva membuat beberapa anak yang belum dapat jatah snack menatapnya tak sabar.

"Gajian apa si?"

"Eng...nama permen?"

"Atau buah?"

"Miss, aku mau puding."

"Aku lape, Miss."

"Aku mau cookie-ku, Miss."

"Oh, tunggu sebentar. Carmen makan puding dan cookie dulu, ok," ucap Miss Eva menuju meja lain. Meletakan snack dimeja anak-anak protes yang senyumnya mengembang begitu lebar, ahirnya cookie dan puding mereka datang.

"Arimbi, lagi liat apa?" tanya Rei melihat gadis kecil disampingnya.

"Aku lagi liat nama-nama buah nyari tulisan gajian, a-pel, ang-gur...."

Eja bocah yang memang sudah bisa mengenali huruf dan angka. Hasil ajaran sang mama yang punya banyak waktu luang di rumah.

"Bodoh, gajian itu bukan nama buah, tauk!" ucap Carmen membuat Rei dan Arimbi menatapnya.

"Terus apa, dong?"

"Ng... Nanti aku tanya mami," ucap Carmen ahirnya menyerah, membuat Rei memberinya tatapan mengejek.

"Bilang aja, Carmen gak tau." Ejek Rei terang-terangan membuat Carmen memanggil Miss Eva keras.

"Aku dibully Rei, miss" adu carmen.

"Habiskan makanan kalian dan jangan disisakan," ucap Miss Eva ahirnya setelah melihat dua bocah yang saling menatap tak ramah diantara Joe dan Arimbi yang memakan pudingnya sambil memperhatikan dua teman sekelasnya itu yang tampak suka sekali berantem.

"Week!" ucap Rei menjulurkan lidahnya pada Carmen yang kesal Miss Eva tak menanggapi aduannya. Rei duduk memakan pudingnya dengan senyum sementara Carmen hanya diam tak mau menyentuh snacknya sendiri.

"Miss Eva, nyebelin!" ucap bocah yang pita pinknya berayun lalu menatap Joe yang diam mengunyah cookie.

"Joe, you like cookie's?" tanya carmen pada joe yang mengangguk, "you can eat mine than, I don't like cookie's." Ucap carmen lagi, tapi kali ini Joe menggeleng.

"Itu, punya Carmen," jawab Joe membuat mata Carmen membesar.

"Joe udah bisa ngomong bahasa indonesia, ya?" tanya Arimbi yang duduk di samping Joe cepat, begitupun Rei yang pudingnya sudah tak tersisa.

Tapi, bule kecil bermata ash itu menggeleng tak begitu paham dengan ucapan cepat gadis kecil  bersemangat disampingnya meski sedikit mengerti.

"Belajar," ucap Joe menunjuk dadanya sendiri, "my mommy said, I have to learn bahasa so I can talk with you all," ucap Joe tapi tetap membuat Arimbi dan Rei tersenyum meski tak tau apa yang diucap teman bule mereka ini.

"Belajar memang menyenangkan, nanti aku minta diajarin mama nulis kalau udah ketemu," ucap Arimbi semangat.

"Joe bisa belajar sama kita juga. Ini meja," ucap Rei menunjuk meja didepannya. "Meja," ulang Rei.

"Table?" tanya Joe pada Rei.

"Iya meja, terus ini kursi," ucap Arimbi menunjuk meja dan kursinya sendiri.

"Kusi?"

"No-no-no, kurrr-siii, kursi," jawab Rei semangat. membuat Joe mengangguk.

"Kurr-si, kursi." Ucap Joe mengikuti. 

Setelahnya tiga bocah menggemaskan itu mengatakan benda-benda dalam ruang kelas dengan ucapan masing-masing.

Tak menyadari Carmen yang jadi diam tampak tak menyukai apa yang terjadi di depannya, meski terlihat sekali gadis kecil yang ternyata memiliki hubungan lain selain "teman sekelas" dengan Arimbi itu tak paham kenapa ia jadi kesal.

Sangat kesal.

*

"Ini, buat Carmen," ucap Arimbi menyodorkan dua permen lolipop pada Carmen yang menatapnya tak senang.

"Rei sama Joe udah aku kasih, ini permen yang dibelikan mama semalem, enak rasanya manis-manis asem, Carmen suka strobery 'kan? aku juga suka." ucap gadis kecil yang berceloteh dengan senyum diwajah.

"Tidak mau!" ucap carmen menampik tangan Arimbi.

"Yah, jatuh" ucap bocah yang lalu duduk dan mengambil permen diatas beton.

"Carmen tidak suka permen, ya?" tanya Arimbi yang kaget Carmen menginjak satu permen yang mau diambilnya.

"Ya, aku tidak suka permen!" ucap carmen membuat gadis kecil didepannya mendongak.

"Tapi jangan diinjak, dong. ini permen dari mama." Ucap Arimbi yang berusaha mendorong kaki Carmen.

"Kamu 'kan, udah kasih ke aku. Terserah aku, dong!" ucap Carmen yang berulang kali menginjak-injak permen dibawah sepatu kecilnya. Membuat Arimbi marah dan menarik kaki Carmen sehingga gadis kecil yang keseimbangannya goyah itu jatuh keatas beton keras.

Beberapa guru yang melihat itu langsung berlari menghampiri gadis kecil berpita pink yang menangis keras mendapati lutut kaki kirinya lecet dan berdarah. Dan tangisnya makin kencang saat orang-orang dewasa itu sudah mendekat.

"Arimbi jahat... Arimbi nakal..." ucap carmen berulang kali dalam isaknya.

"Mami... Mami... Mami...." panggil Carmen dalam gendongan salah satu guru yang berusaha menenangkan bocah kecil yang tangisnya makin keras saja. Sementara gadis kecil satunya hanya diam memegang dua permen dari sang mama kuat-kuat, mendapati tatapan beberapa orang yang sedikit berbeda dari tatapan mereka yang biasanya.

*

Wanita yang berlari begitu turun dari mobilnya tak perduli dengan hak sepatunya yang tinggi, langsung membuka pintu nursery tanpa salam ataupun permisi. Ia langsung melihat anaknya yang masih terisak dalam tidur.

Miss Eva yang awalnya lega anak pengadu yang terus menangis meski sebenarnya hanya mendapat luka lecet kecil yang menimbulkan sedikit kulit arinya terkelupas dan mengeluarkan tanda merah ini berhenti menangis, jantungnya jadi berdebar mendapati tatapan Maya padanya.

"Apa yang kalian kerjakan sampai membuat putriku terluka seperti ini!" seru Maya membuat miss Eva dan seorang dokter saling menatap lalu melihat wanita yang menyentuh wajah sembab Carmen.

"Maaf, Nyonya, pertengkaran antar anak kecil saat bermain itu sering terjadi," ucap miss Eva mendapat pandangan tajam dari Maya.

"Bagaimana aku bisa menitipkan anakku di tempat yang mewajarkan kekerasan seperti ini!?" ucap Maya, membuat dua orang yang saling pandang itu merasa ucapan Eva disalah artikan oleh wanita angkuh yang emosi itu. Sungguh kombinasi yang tak enak dipandang dan didengar.

"Nyonya Maya, maafkan kami, tapi bukan itu maksud ucapan saya. Maksud saya, anak-anak bertengkar satu sama lain itu hal yang biasa, tapi kami tak mewajarkan pertengkaran sesama murid. Kami akan mencari jalan tengah yang bisa dimengerti anak-anak yang sedang tak akur sesuai usia mereka, Nyonya." Ucap Eva mendapat dengusan meremehkan dari Maya.

"Huh! Dan lihat kini, anakku sampai terluka seperti ini sekarang. Untuk apa aku membayar kalian mahal jika kalian tak becus menjaga anakku!"

"Nyonya Maya, ini sekolah. Tugas kami tak hanya menjaga satu-satu murid tapi juga mengajari mereka ten-"

"CUKUP! Tau begini aku takkan menyekolahkan anakku di sekolah yang katanya berkualitas, kalian pikir berapa banyak biaya yang sudah aku keluarkan hanya untuk sekedar mendaftar masuk, dan ini hasil didikan kalian? sungguh mengecewakan."

"Nyo-"

"Kami sungguh-sungguh minta maaf, Nyonya Maya. Kami janji hal ini tak akan terulang kembali dikemudian hari. Dan saya akan pastikan anak yang melukai Carmen akan mengerti ia telah berbuat salah." Ucap seorang wanita bertubuh tambun masuk, memotong ucapan Eva yang tampak menyesal sudah menghubungi Maya karena Carmen yang tak mau berhenti menangis terus memanggil-manggil maminya.

"Bu Kepala," ucap Miss Eva ingin protes tapi menutup rapat mulutnya mendapati kepala yayasan yang menggelengkan kepala.

"Saya harap begitu, jika perlu keluarkan anak itu." Ucap Maya yang wajahnya masih angkuh.

"Kalau hal itu saya tidak bisa lakukan, Nyonya Maya. Orang tua anak itu mengeluarkan uang yang sama besarnya dengan yang anda keluarkan, bahkan keluarga anak itu donatur tetap diyayasan ini." Ucap kepala yayasan membuat Miss Eva menarik nafasnya malas.  Berpikir, jika orang tua Arimbi tak punya andil besar maka wajar saja jika gadis kecil yang sama sekali tak mau minta maaf itu dikeluarkan.

Guru muda yang masih idealis ini tau sebobrok apa sekolah tempatnya mengajar. Semua diukur dengan uang, tapi setidaknya apa yang diberikan sekolah berbanding lurus dengan fasilitas dan pengajaran yang diberikan pada anak-anak polos yang orang tuanya pasti punya banyak sekali angka nol dalam tabungan mereka.

Sedang ia, meski lulusan dari sekolah ternama masih bingung antara beli makanan di luar atau masak sendiri agar lebih hemat.

"Dunia sungguh adil sekali." bisik miss Eva begitu pelan dan hanya bisa didengarnya sendiri.

"Kalau nyonya mau memindahkan anak nyonya kesekolah lain, saya bisa membantu. Tapi, setidaknya biarkan nak Arimbi yang mau minta maaf mengucapkan maafnya terlebih dahulu."

"A- Apa?" ucap Maya kaget mendengar nama bocah yang lalu masuk masih memegang permen ditangan.

"Kemari, Sayang." Panggil kepala yayasan tak hanya membuat Miss Eva yang bahkan tak bisa memancing sepatah katapun dari gadis kecil yang biasanya penuh senyum dan terbuka itu bicara kenapa ia bisa membuat Carmen terluka. Tapi, juga Maya yang berdiri cepat dari tempatnya duduk memandang tak percaya.

Memandangi gadis kecil yang tiba-tiba membuat mulutnya kelu dan terasa pahit.

*

ps. sepahit apa ya? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status