Bagas, pria yang masih menatap ponselnya itu menarik nafas dalam. Tangannya terus memegangi ponsel yang menyala dengan pesan yang masuk berkali-kali dari Maya. Sampai wajah carmen yang sembab dengan hidung merah dan dengkul di tempeli plester terlihat di layar ponsel. Membuat perasaannya yang sudah tak menentu makin kacau saja.
"Arimbi nakal, Pi. Aku didorong sampai jatuh."
"Sakit banget, Pi."
"Keluar darah banyak."
"Tapi, Arimbi gak mau minta maaf sama aku."
"Arimbi, jahat sama aku, Pi."
Ucapan carmen yang menelponya beberapa saat lalu membuat hatinya gusar. Apalagi ucapan Maya yang tampak sangat tak terima anak mereka disakiti Arimbi yang juga putri Bagas dengan wanita yang sedang berbaring diatas bangsal rumah sakit.
Wanita yang mungkin tak akan lagi bangun karena mati otak.
"Apa yang diajarkan Arum pada putrinya itu?" ucap Bagas pelan mengulang ucapan Maya, yang membuat Bagas s
Lency yang sedang memainkan ponselnya menatap pintu yang bergeser, senyumnya langsung melebar mendapati Marko masuk dengan kantong makanan yang dikenalinya betul. "Buat gue, kan?" "Buat siapa lagi, kalo bukan lo?" jawab Marko menyuruh Lency bergeser dengan tangannya yang bebas. "Perlu bantal gak?" tanya Lency pada Ali yang dengan hati-hati meletakkan gadis kecil dalam gendongannya ke atas sofa. "Gak usahlah, emang ada bantal tambahan?" Tanya Ali lalu duduk setelah menowel pipi kenyal Arimbi yang bahkan tak bergerak dalam tidurnya. "Anggap aja hotel, pules banger sih." ucap lency menatapi Arimbi. Lalu dengan semangat mengambil kotak makanan yang bahkan aromanya sudah membuat perutnya berpesta pora. "Nasinya buat gue, kan?" tanya Lency mengambil sekotak nasi dalam mangkok plastik. "Yang suka makan nasi kan cuma lo disini," ucap Marko masuk k
"Tante, pintunya dibuka ya." ucap Arimbi dari dalam kamar mandi membuat Lency melongokkan kepalanya."Tante disini, nih." ucap Lency membuat Arimbi yang bangun dan ingin pipis mengangguk, karena gadis kecil itu bahkan tak mau dibantu ataupun ditemani hanya ingin ditunggui. "Jangan lupa cebok yang bersih dan cuci tangan pake sabun, ok." perintah Lency pada gadis kecil yang menatapnya lalu mengangguk."Tante gak boleh ngintip, ya." Pinta Arimbi untuk yang ke tiga kali."Ok," jawab lency membiarkan pintu kamar mandi terbuka sedikit lalu menyandarkan tubuhnya pada tembok tepat disamping pintu kamar mandi."Tante masih disitu, kan?""Lucu banget sih, kamu. Malu tapi tetep minta ditungguin," ucap Lency terkikik geli."Tante masih disitu kan?" ulang Arimbi."Iya sayang, nih tangan tante, keliatan kan?" ucap Lency menjulurkan tangannya keda
"Kenapa harus macet sih? Perasaan tadi lancar jaya." Rutuk Marko kesal dan sekali lagi memencet klakson menambah kebisingan jalan yang sudah menjalar bak ular."Kamu tahu, melakukan ini tak akan mengubah apapunkan, Ko?" ucap Ali menyentuh lengan Marko yang menarik dalam nafasnya lalu ia hempaskan kuat-kuat.Pemilik bibir tebal nan seksi itu lalu bersandar pada jok setelah menggenggam tangan Ali yang menunjukan senyum. Tentu bukan senyum yang membuat Marko merasa ngeri dengan rambut berdiri, tapi senyum lembut yang membuatnya sedikit tenang meski hatinya gelisah."Aku tau, Li. biar tambah rame saja. Kamu pikir siapa yang datang?" tanya Marko menoleh pada Ali yang memeluk bantal bergambar karakter aneka permen lolipop berbagai warna yang memenuhi permukaanya.Ali yang mendengar tanya Marko pun langsung menarik dalam nafasnya. Meski pembawaan Ali tenang Marko tahu kekasihnya itu juga merasa was-was."Siapa lag
Suara dentuman musik yang memekakan telinga bersama riuh rendah jeritan dan teriakan dari mulut-mulut yang merasakan dunia hanya milik mereka itu terdengar begitu pecah.Satu-satu, dua tiga, empat, bergerombol dalam gemerlap lampu.Parfum, keringat, asap rokok semua melebur jadi satu.Tawa, canda, seringai, bahasa tubuh yang entah jujur atau pura-pura terdengar dari segala penjuru.Tapi, siapa yang perduli dengan kejujuran saat mereka datang untuk melepas rasa, melepas penat, menyalurkan hasrat.Tidak ada yang perduli kecuali melebur menjadi satu dengan keriuhan dan kebisingan memekakan telinga tapi memabukkan.Mereka bisa menjadi siapa saja, apa saja. Bersikap semaunya. Menahan diri? Disini bukan tempatnya.Namun, gadis itu bersikap tak biasa, hanya berkali-kali menenggak minuman yang sudah menguasai seluruh saraf dan nadinya. Tapi, ia masih saja menuangkan air beralkohol itu dalam gelas yang ser
"Gue gak akan ngizinin lo nyetir mobil gue, Sera." Ucap gadis yang berdiri tegak saja tak mampu. "Tch! Gue tau dan bukan gue yang akan nyetir, tapi Ardi!" ucap Sera menunjuk pria yang mengangkat bahunya pasrah."Dan lo, boleh tidur sama cowok gue malam ini. Tapi cuman malam ini." Ulang Sera mengacak rambut berombre miliknya. Kesal dan bingung. "Aku gak bilang setuju, Beib." Kata Ardi memasukkan tangannya kesaku celana menatapi Sera yang mendengus makin kesal. "Yakin lo gak mau? gue bisa liat tatapan lo pas jalang mabuk ini mau ngajak lo tidur sama dia," ucap Sera membuat Ardi menggelengkan kepalanya. "Itu tadi, Sera. Kamu gak liat sekacau apa temen kamu sekarang? belum lagi apa yang diucapkannya tadi." balas Ardi menatap Sera yang menarik nafasnya dalam setelah menatap Zizi yang bersandar pada mobil kesayangannya. "Dia mabuk Ardi, for God sake! Or
"PANGGIL POLISI!"Teriakan Marko yang menggema diseluruh ruangan membuat beberapa orang yang sudah penasaran dengan suara ramai mengintip ke dalam. Begitupun seorang petugas rumah sakit yang kebetulan lewat, ia mengangkat ponsel dalam sakunya menelpon entah siapa. Dan tak berapa lama petugas keamanan masuk dalam ruangan yang terlihat menegangkan.Sementara Ali yang begitu kalut bahkan tak tau apa yang terjadi dalam ruangan yang ditinggalkannya dengan Arimbi digendongan dengan darah segar yang terus saja keluar dari kepala Arimbi.Pria itu berteriak seperti orang gila sampai ada dokter yang menyentuh tubuhnya yang begitu tegang lalu melakukan pemeriksaan awal pada gadis kecil yang langsung ditidurkan diatas bangsal.Begitu banyak hal yang terjadi di depan mata Ali, Dokter dan perawat yang bergerak sesuai perintah dan instruksi. Langkah-langkah cepat dengan mulut dan tangan yang bekerja disaat yang sama. Tapi, m
"Kerja bagus, tapi kalian tak perlu melanjutkan kasus ini." Ucap pria yang meski sudah beruban masih tampak gagah dengan badan tinggi tegap, pada dua petugas yang sejak awal memeriksa Sukma."Tapi komandan kasus in-""Anda dengar saya, Pak Anto. Kasus ini sudah selesai." Begitu tegas ucapan pria yang dipanggil komandan itu menatap bawahannya yang lebih memilih menutup mulut, tau percuma bicara."Aku sudah boleh pergi, bukan?" tanya wanita paruh baya yang berdiri sambil mencangklong tasnya dan berjalan begitu saja melewati dua petugas yang sejak dua jam lalu bersamanya itu. Bertanya kalimat-kalimat berulang karena Sukma memilih bungkan dan lebih suka menjawab dengan emosi juga ancaman."Saya harap anda memecat dua orang itu tanpa hormat, Komandan." Ucap Sukma lebih terdengar seperti perintah."Tidak perlu sampai seperti itu, Nyonya Sukma. Tapi, saya akan pastikan hal ini takkan te
"Jadi bodoh seperti kakek dan ibunya, maksudmu? heh!""Mereka tidak bodoh, hanya hati mereka yang terlalu baik.""Apa bedanya itu? Terlalu baik dan bodoh sama saja bagiku. Aku hanya tak ingin anak itu berahir seperti mereka berdua. Bernasib sama seperti kakek dan ibunya. Lalu menjalani hidup dalam kebohongan tanpa tau hidup yang dijalani adalah tipu muslihat," ucap wanita itu membuat Anto menarik nafasnya dalam."Setidaknya Wijaya tidak menyesali cara hidupnya meski dikelilingi manusia-manusia seperti kita. Wijaya hanya terlalu baik dan menganggap kita pun sama baiknya segelap apapun jalan yang kita pilih, sampai ahir hayatnya.""....""Baiklah sudah dini hari sebaiknya kau tidur, aku juga ingin pulang dan istirahat."Anto menatap layar ponselnya yang sudah mati beberapa lama dan menarik nafas dalam sebelum menutup map dan memasukkannya kedalam laci miliknya