"Perkembangannya sangat mencengangkan. Nampaknya, dia sudah bisa kita gunakan untuk bergabung dengan para pasukan."
"Anda benar, Prabu. Kerajaan Majapahit sudah waktunya untuk kita ratakan! Lagipula, Putra sulung Gusti Brawijaya tidak akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Dia lebih memilih untuk mengajarkan ajaran Islam di pulau ini ketimbang membantu ayahnya melindungi kerajaan."
Prabu Girindra menenteng selendangnya. Senyumnya yang tipis mengisyaratkan sebuah tanda setuju dengan perkataan patihnya. Ia memandang lurus seorang wanita yang tengah berlatih pedang. Nampak kumal namun tetap anggun di matanya.
"Malang sekali wanita itu. Ditelantarkan Brawijaya setelah mendapatkan kurungan dan pengasingan." Prabu Girindra berdecak sembari menyunggingkan senyum. "Panggil Zahra setelah ia menyiap
Ribuan prajurit berkumpul di padang lapang. Bersiap dengan kuda dan persenjataan yang telah disiapkan. Begitu pula dengan strategi terbaik yang mereka gunakan. Pasukan pemanah bersembunyi di balik perbukitan. Bersiap menyerang musuh dari kejauhan. Mereka menajamkan pandangan. Berusaha sebaik mungkin untuk meraih kemenangan. Pasukan pedang berjaga di tengah dan di sayap kiri-kanan. Sedang pasukan tombak menghadang dari depan. Lautan manusia tampak memadati lapangan terbuka di tengah hutan."Kau sudah bersiap?""Bahkan aku tidak dapat tidur nyenyak karena menunggu kesempatan ini!""Ya, lelaki yang menjadikanmu kain lap istana akan segera berakhir dengan tragis.""Aku bersumpah untuk membalas perbuatannya!"
Seluruh tubuh Zahra bergetar hebat. Ia seakan tengah berada di ambang pencabutan jiwa. Kepalanya berdenyut nyeri, hingga ia menunduk bertumpu dengan tubuh Brawijaya yang hampir sekarat. Pandangan kabur dan beberapa kali ia sempat melihat para prajurit Daha yang datang secara bergerombol menerobos masuk ke dalam istana.***Aku dimana? Mengapa tidak ada darah, lagi?! Dimana si kurang ajar Raja itu?! Tanganku sudah geram ingin menusuk perutnya dan menghamburkan isi di dalam sana! Tetapi, apa yang sudah terjadi? Ini tidak seperti apa yang baru saja aku alami."Kinara!!!"Seorang anak lelaki keturunan bangsawan keraj
Jika hati memiliki mulut, mungkin saat ini sudah jutaan kata yang yang keluar darinya--melarangku untuk bersikap bodoh. Mengambil keputusan yang begitu aku anggap benar. Jika saja hati memiliki mata yang yang sama dengan milik wajah, mungkin sudah jutaan liter airmata mengalir. Membanjiri tiap lantai yang dipijak. Membuat tanah yang kering menjadi sedikit berair. Tuhan tidak menciptakanku seperti itu. Aku tidak tahu pasti alasannya mengapa. Namun, aku percaya jika ia tidak ingin membuatku remuk dalam satu waktu. Membiarkan yang ia ciptakan di dalam raga ini membantu yang lain untuk bertahan.Sama seperti kata dan wajahnya yang tidak lepas dari pandanganku. Mungkin saat ini aku tidak dapat menangis di hadapannya. Menge
Matahari terbenam diantara ceruk awan. Melahap cahaya terang menggantikan dengan gelapnya malam. Dedaunan saling bergesek dengan suara primata yang sahut menyahut memberitahukan wilayah teritorial nya. Satu persatu cahaya mulai muncul dari jalan setapak. Api dari obor kayu yang dibawa oleh rombongan membawa mereka menuju sebuah pondok kecil di tepi sungai. Gemericik suara air mulai terdengar disambut dengan koloni kunang-kunang yang menghangatkan pandangan."Assalamualaikum, guru!" Seorang perempuan memakai selendang putih yang dililitkan ke kepalanya menunggu seseorang membuka pintu utama pondok tersebut. "Raden Patah! Ini aku, Zahra!"Para pengantar Zahra yang berasal dari pelayan Kapten Bum itu saling menatap.
"Tidak, Zahra!"Seorang lelaki berkulit putih datang dengan beberapa bekas luka hantaman. Ia berusaha mendesak masuk. Matanya tak lepas dari tubuh Zahra yang tergantung di atas penyangga kayu. Suara dengung terdengar meriuhkan hari berkabung itu. Tanpa alas kaki, lelaki yang nampak lebih kurus itu histeris meminta masuk."Biarkan aku menyelamatkan anakku! Dia tidak bersalah! Kalian lah yang telah membunuh negeri ini!"Bumyen--seorang Kapten yang tidak lagi memiliki kuasanya. Keluarga nya telah banyak dihabisi oleh pihak kerajaan yang menginginkan sebuah kekuasaan. Ia dikurung, diminta menutup mulut, dan menghapus segala kenangan dengan tawa dan bahagia.Matanya berembun, perlahan-lahan mulai menitihkan air mata. Kini bola matanya berg
Angin berembus. Awan nampak mulai menghitam. Berkumpul dan mengelilingi langit-langit. Suara gemuruh belum terdengar, mungkin nanti. Biar cuaca sedang tidak cerah Raden Patah tetap berdiri di luar. Menghabiskan separuh waktu sorenya di taman dengan beberapa kumpulan para burung. Ia ingat, bagaimana dulu seekor burung membuatnya bertanya. Apakah saat ini burung itu masih hidup? Pertanyaan kecil itu bersarang di hatinya."Kanda," panggil Sayyidah. Datang dengan perutnya yang sudah besar. Kata dukun bayi beberapa minggu lagi ia akan melahirkan. "Apa masih memikirkan Zahra?""Maafkan Kanda, Dinda." Raden Patah menunduk. Sayyidah mengambil tempat di sebelah suaminya. Ia meletakkan kepalanya di bahu Raden Patah. Berusaha memberikan suaminya kekuatan dari kasih dan sayang. "Kanda sudah sangat berdosa padamu. Mencintai perempuan lain, sedang is
Suara jangkrik mendominasi sebuah ruangan dengan cahaya lilin di dalamnya. Ada wanita yang sedang duduk di tepi jendela. Memandangi hamparan kegelapan di langit-langit. Tidak ada satu pun bintang yang dapat ia lihat. Hanya cahaya obor dari nyala api yang menghiasi area istana di bawa sana. Wanita itu perlahan mengusap ujung mata. Ia emosional hari itu. Seperti ada yang tidak bisa menenangkan hatinya seorang pun."Itu tidak akan bekerja, Zahra. Kau harus memberitahu semua orang tentang kebenaran yang terjadi." Suara dari seseorang menggema di dalam kepalanya. Dia Kinara, jiwa yang terjebak bersama raga yang saat ini disemayami Zahra."Aku tidak ingin bernasib sama sepertimu, Nara. Aku ingin pulang, melanjutkan hidupku seperti orang normal lainnya...." Lirihnya tertahan. Zahra memasukkan kepalanya diantara sela paha yang terangka
Tangan Zahra sudah berubah menjadi biru keunguan. Rupanya cengkraman Raden Patah bukan main kuatnya. Lelaki itu bergegas melepaskan Zahra sesudah menyadari kesalahan yang dia lakukan. Kepalanya tertunduk. Dia menggoyangkan sedikit bola matanya ke arah kanan."Aku minta maaf," katanya, pelan. Raden Patah memberanikan diri menatap Zahra. "Keadaan istana sedang tidak baik. Bukan maksudku untuk tidak menegakkan keadilan karena sebuah hubungan. Namun aku tau mana yang terbaik untukmu. Daripada mati, lebih baik kau menikmati sisa-sisa hidupmu dengan penyesalan." Begitu tegas ia mengatakannya. Tak ada nada keraguan. Bahkan tatapan kasihan.Zahra harus menelan bulat-bulat takdir itu. Ia memperhatikan bola mata Raden Patah yang mungil. Hidung runcingnya tidak lagi manis saat situasi seperti ini. Tubuhnya perlahan menjauh. Apa yang sedang terjadi